Apakah lingkaran setan ini tidak
akan pernah berakhir? Aku bersumpah iblis incest telah memilih keluargaku
sebagai rumahnya. Semua dimulai dengan saudari perempuanku, ibuku, dan aku.
Orangtuaku bercerai ketika aku
masih anak-anak. Bersama ayah, aku tinggal sebuah peternakan milik kakek. Aku
adalah anak kesayangan ibu. Hampir setiap malam, aku menangis dan memohon kepada
ayah agar mengijinkanku untuk tinggal bersama ibu. Beberapa kali ayah minta
kepada ibu untuk bisa rujuk, tapi ibu selalu menolak, dan akhirnya pada usiaku
yang ke 18, ayah bunuh diri.
Karena aku adalah seorang anak
yang nakal, kakek dan nenek yang sering dibuat pusing oleh tingkah lakuku,
akhirnya bertanya pada ibuku apakah dia bersedia membawaku. Mengingat bahwa aku
adalah anak kesayangannya, ibu langsung setuju untuk merawatku kembali, bahkan
katanya “Dari dulu juga aku sudah meminta agar Doni tinggal bersamaku, sayang
ayahnya bersikeras untuk membawa dia.” kata ibu pada kakek dan nenek.
Aku jarang bisa bertemu dengan
ibu karena dia sibuk mengelola restoran miliknya. Hal ini menyebabkan aku lebih
banyak tinggal dengan kedua saudari perempuanku, yaitu Lena, dia setahun lebih
tua dariku, serta adik perempuanku Marta, yang baru berusia 13 tahun. Kedua
saudara perempuanku itu tampak lebih dewasa dibanding usianya, serta merupakan
duplikat yang sempurna dari ibuku, payudara yang besar, pinggang ramping dan seksi,
pantat yang membulat, rambut hitam, mata coklat, bibir mungil berwarna merah
delima, dan hidung mancung, melengkapi penampilan mereka yang menakjubkan.
Mereka begitu mirip satu sama lain, seakan-akan mereka kembar dua, oh lupa,
kembar tiga dengan ibuku.
Di usiaku yang 18 tahun, hormon
kelelakianku sedang giat-giatnya berproduksi. Sebagai akibatnya, aku secara perlahan
terangsang oleh hampir setiap bagian tubuh wanita yang aku lihat. Sering sekali
aku mengkhayalkan bercumbu dengan wanita. Apalagi aku yang dulunya tidak
terbiasa dikelilingi wanita, kini tinggal dengan tiga orang wanita cantik
sekaligus dengan ulahnya masing-masing.
Saudari perempuanku sering
berjalan di dalam rumah dengan hanya mengenakan celana dalam dan BH saja,
sedang ibuku setiap malam setelah mandi, mengenakan baju tidur yang yang
memperlihatkan sebagian besar bagian tubuhnya. Kalaupun tertutup rapat, baju
yang dikenakannya pasti tipis transparan. Aku belum pernah melihat seorang
wanita yang benar-benar dalam keadaan telanjang bulat, namun untuk beberapa
alasan, aku memiliki keinginan kuat untuk melihat rambut kemaluan wanita lebih
dari bagian tubuh mereka yang lainnya.
Ibuku yang menyadari bahwa aku
mungkin mengalami trauma akibat peristiwa bunuh diri ayahku, mencari cara untuk
menghilangkan apa yang dia percaya sebagai kesedihan terpendam atas kematian
ayah. Karena itu, saat seorang pelanggan restorannya menyarankan agar aku
dikirim untuk ikut kegiatan camping yang dikelola oleh sebuah gereja, maka ibu
langsung setuju, dan mendaftarkan aku sebagai salah seorang pesertanya. Dia pikir ini akan
mengalihkan pikiranku dari bunuh diri ayahku. Aku sendiri sebenarnya enggan
untuk pergi, kalau boleh memilih, maka aku lebih memilih untuk tinggal di rumah,
tapi aku tidak memiliki alasan yang kuat untuk menolaknya.
Akhirnya terpaksa aku ikut juga.
Setelah tiga hari melakukan kegiatan camping, suatu sore aku melihat kesempatan
untuk mengintip para gadis yang sedang mandi. Di luar kamar mandi perempuan,
tepat dibawah jendela, terdapat tangki air seribu liter. Jika aku naik ke atasnya, maka
aku akan bisa mengintip ke dalam kamar mandi perempuan.
Tanpa membuang waktu lagi,
segera aku naik ke atas tangki tersebut, terlihat di dalam ada beberapa orang
gadis. Yang seorang kutaksir usianya sekitar 18 tahunan, yang lainnya adalah
remaja putri dengan usia yang bervariasi sedang mandi dibawah shower. Hampir
sepuluh menit mataku melotot melihat tubuh-tubuh telanjang tersebut, mataku
sempat meneliti seluruh tubuh mereka, terutama pada bagian rambut kemaluannya.
Sungguh suatu pengalaman yang fantastis.
Sayang, rupanya ulahku itu
ketahuan oleh seorang pendeta, yang segera menghubungi ibuku, “Di dalam
kegiatan gereja, tidak ada tempat bagi seorang anak laki-laki seperti anak ibu!”
katanya kepada ibuku, karena itu ibu langsung menjemputku malam itu juga. Aku
yang tidak menyangka bahwa ulahku diketahui seseorang, sangat terkejut saat ibu
datang menjemput, dan aku sangat malu sampai aku tidak bisa berbicara sepanjang
perjalanan pulang. Kedua saudariku yang duduk di kursi belakang cekikikan.
Untungnya, tidak ada satupun yang dikatakan oleh mereka yang bisa menyebabkan
bertambah parahnya penderitaan yang kualami.
Pagi berikutnya, aku bangun
pagi-pagi. Karena merasa kebelet untuk kencing, aku segera pergi ke kamar mandi untuk
buang air kecil. Aku pun segera kencing setelah menutup pintu, yang kulanjutkan
dengan menggosok gigi. Baru saja pasta gigi kutorehkan di atas sikat gigi,
pintu kamar mandi diketuk, lalu terdengar suara Marta, adikku. “Bang, buka
sebentar.” katanya.
Aku segera membuka pintu kamar
mandi dan bertanya, “Ada apa?”
“Boleh aku sekalian ikut mandi?”
tanyanya.
“Boleh saja, tapi aku juga tidak
lama kok, paling cuma butuh satu menit,” kataku.
“Ya sudah, aku mandi sekarang. Aku
juga tidak keberatan kok abang menonton aku mandi.” jawabnya sambil langsung
membuka seluruh bajunya hingga kini dia berdiri telanjang bulat dihadapanku. “Tolong
sabunnya,” pintanya kemudian.
Wajahku terasa panas dan
terlihat merah padam dari pantulan kaca cermin yang ada di kamar mandi,
sementara itu batang penisku langsung tegang kaku menonjol dari balik celana
piyama yang kukenakan.
“Mmm... aku lihat penis abang
besar dan panjang,“ katanya sambil melihat ke arah selangkanganku. “Pernahkah
abang bercinta dengan seorang gadis sebelumnya?” tanyanya lebih lanjut.
“Err, ti-tidak!” kataku sedikit
tergagap, sementara mataku melotot melihat buah dadanya yang sudah tumbuh lebih
besar dari ukuran anak seusianya, besar payudaranya tidak berbeda dengan besar
payudara gadis yang kemarin aku intip.
“Kenapa, bang? Apa abang
tertarik melihat payudaraku? Abang ingin menyentuh payudaraku? Aku tidak
keberatan kok.” kata Marta sedikit acuh tak acuh.
Aku menelan ludah dan berkata, “A-aku
sangat ingin sekali,” kataku dengan suara terputus dan parau. Tanpa membuang
waktu lagi, aku menangkup kedua payudaranya dengan kedua tangan dan meremasinya
lembut. Terasa payudaranya yang tegak menantang tersebut sangat halus dan
kenyal di tanganku, sedang kedua putingnya yang berwarna kemerahan sungguh
menggiurkan, bagaikan sepasang anggur dari surga.
“I-ini sungguh sangat indah dan
mengundang, bolehkah… bolehkah kuhisap?” kataku sambil mengelus sepasang puting
tersebut.
“Hisaplah kalau abang mau!”
jawabnya. Tanpa banyak bicara lagi, kuturunkan mukaku dan kuhisap puting
payudaranya.
“Apakah ini yang abang ingin
lihat ketika abang mengintip melalui jendela kamar mandi di kamp?” tanya Marta
kepadaku saat aku mulai menurunkan mukaku, “Akhh…” desahnya saat aku mulai
menghisap puting tersebut, sementara badannya sedikit menggeliat.
Kunikmati emutanku pada puting
payudaranya, kurasakan badan Marta sedikit gemetaran saat aku mengemut putingnya.
Setelah beberapa lama baru aku menjawab “Ya, tapi yang aku benar-benar sangat
ingin melihat adalah rambut kemaluan perempuan. Aku sangat suka melihat vagina
yang tebal dan tembem seperti punya kamu, Mar... boleh aku menyentuhnya?”
tanyaku.
“Boleh, asal aku juga boleh
menyentuh penis abang,” jawabnya.
Dengan tergopoh-gopoh saking
gembiranya, aku segera memegang vaginanya. Sejenak kuremas mount pubicnya yang
ditumbuhi rambut kemaluan yang halus dan masih jarang, jari-jariku perlahan
menembus sela-sela rambut kemaluannya, dan kuelus belahan vaginanya yang terasa
basah dan hangat.
Tubuh Marta kembali menggeliat,
“Akhh…” desahnya saat jariku mengelus belahan vaginanya, sementara itu air mazi
mulai mengalir dari lubang kencingku, cairan pelicin yang berfungsi untuk
memudahkan penis masuk ke dalam lubang vagina. Jariku mulai mengulir-ulir
tonjolan daging yang berada tepat pada bagian atas bibir vaginanya. Tubuh Marta
kembali menggeliat “Akhh…” desahnya serasa menggetarkan jiwaku.
Lalu jariku mulai mengelus
daerah sekitar lubang vaginanya, sejenak kutekan-tekan daerah disekitar itu, “Apakah
ada yang pernah memasukkan penisnya di sini?” tanyaku pada Marta.
“Pernah, tapi hanya sekali. Saat
itu aku sedang berkencan dengan Toni, dia sangat ingin sekali memasukkan batang
penisnya kesana. Tapi setelah itu aku putus dengannya, sejak itu aku tidak
pernah melakukannya lagi. Tapi aku suka cara abang menyentuhku.” jawabnya
polos.
Sungguh aku nyaris tidak percaya
adikku yang baru berusia 13 tahun sudah bukan perawan lagi. “Banyak teman
perempuan kamu yang telah melakukannya?” tanyaku lagi dengan suar semakin
parau.
“Tentu, umumnya teman-teman
perempuanku sudah pernah melakukannya meskipun hanya sekali seperti aku” jawab
Marta.
“Kau… kau menyukainya ketika Toni
menyetubuhimu?”
“Yang bisa aku ingat adalah...
rasa sakit saat pertama penisnya masuk, sakit dan perih, tapi itu tidak
berlangsung lama. Toni segera memuncratkan air maninya, membuat vaginaku basah
kuyup oleh cairan kental. Tapi aku sedikit menyukainya, terutama saat batang
penisnya menggesek lubang vaginaku. Apa abang juga ingin memasukkan penis abang
ke sana?” jawab Marta dengan nada polos dan wajah tidak bersalah.
“Tentu… tentu saja, apakah ibu
sudah pergi?” tanyaku tergagap.
“Sudah… ibu sudah pergi ke restaurant,
sedang kak Lena masih tidur, paling bangun juga nanti siang, abang lebih kenal
kebiasaannya.” jawab Marta padaku. Lalu setelah terdiam sejenak, dia
melanjutkan. “Mengapa kita tidak pergi ke kamar abang?” katanya.
Tanpa bicara lagi, segera kubopong
tubuhnya dan kubaringkan di tempat tidurku. Lalu di bawah selimut, kami mulai
saling menjelajahi tubuh masing-masing. Kuremas-remas buah dadanya dengan gemas, sementara
mulut kami tidak henti saling berpagutan, sementara lidah kami saling belit dan
saling menggelitik dengan nikmatnya.
Saat kuturunkan ciumanku ke arah
lehernya, Marta segera menggeliat begitu bagian bawah telinganya kuelus dengan
ujung lidahku, “Aakhhh…” desahnya menikmati aksi yang kulakukan. Lalu ciumanku
terarah semakin ke bawah, menyelusuri bahu dan dadanya, sampai di pangkal
payudaranya yang sebelah kanan. Sejenak aku menatapnya, lalu tanpa buang waktu
lagi segera kukulum puting susunya, sementara sebelah tanganku meremasi buah
dadanya yang lain.
“Akhhh… okhhh…” erang Marta tak
henti-hentinya. “Sekarang, bang... masukkan sekarang! Aku sudah sangat ingin
merasakan batang penis abang yang besar ini dalam vaginaku!” katanya sambil
mengelus dan sedikit meremas batang penisku. Badanku menggeliat ketika
merasakan elusannya. Aku segera menelungkupi tubuhnya, kucoba mendorong batang
penisku ke dalam vaginanya.
“Aww…!!!“ pekik Marta tertahan,
“Bukan disana, rendahkan sedikit tubuh abang.” katanya sambil memegang batang
penisku dan menuntunnya ke dalam lubang yang benar. “Sekarang dorong, bang!”
pintanya padaku.
Dengan sekuat tenaga, aku
mendorong batang penisku, bles…!!! terasa batang penisku mulai masuk seiring
dengan pekik tertahan Marta, “Akhhh…” Terasa dinding vaginanya dengan ketat
menggesek batang penisku. Sekali lagi kutekan pantatku kuat-kuat dan slebb…!!!
batang penisku masuk seluruhnya. Kali ini Marta bukan hanya memekik lirih,
“Akkhhh…” tapi badannya juga menggelinjang kuat.
Selanjutnya naluriku yang mulai
bekerja, tanpa diperintah siapapun, aku segera mengeluar-masukkan batang penisku
dalam lubang vaginanya. Sementara itu, tanganku juga tidak berhenti meremasi
kedua buah dadanya, dan mulutku mengulum bibirnya dengan lidah yang saling
membelit. Ketika aku mengalihkan kulumanku pada puting susunya, terdengar Marta
mendesah, “Akhh… enak, Bang. Gesekan penis abang dalam lubang vaginaku terasa
jauh lebih enak dibandingkan dulu dengan Toni.” katanya.
Aku semakin memacu pompaanku
pada vaginanya, karena ini baru kali pertama aku menyetubuhi perempuan, aku
tidak dapat bertahan terlalu lama, segera kurasakan kegelian yang nikmat pada
batang penisku. Seharusnya aku menahan diri, tapi aku justru semakin mempercepat pompaanku
pada Marta.
Tak lama kemudian pompaanku
semakin tidak terkendali. “Akhh… a-aku … okh!” ceracauku dan, crutt… crutt… kurasakan
air mani muncrat dari dalam batang penisku.
Seiring dengan itu, Marta justru
memutar-mutar pantatnya dengan cepat, kepalanya tertengadah dengan bibir
digigitnya keras-keras. “Okhhh…” lalu dengan diiringi keluhan panjang, dia
memeluk tubuhku erat-erat. Kami mencapai puncak kenikmatan secara hampir
bersama-sama.
Sejenak kami terdiam kaku dalam
posisi tersebut, lalu akhirnya aku menggulingkan tubuhku disisinya, setelah
batang penisku yang mengerut lepas dari lubang vaginanya. “Waw... nikmat
sekali, baru kali ini aku merasakan kenikmatan seperti itu. Ini barangkali yang
dinamakan orgasme yang, Bang?” bisik Marta di telingaku. Aku hanya terdiam tanpa mampu
menjawab.
“Dengan Toni, aku tidak
merasakan seperti ini. Ini bahkan lebih nikmat dibanding kalau aku masturbasi.”
celotehnya kepadaku. “Pantas banyak pria dan wanita yang menikah, rupanya
bersetubuh merupakan hal yang ternikmat di dunia ini.” lanjutnya sambil
meremas-remas kembali batang penisku, “ini ternyata yang jadi penyebabnya.”
katanya lagi sambil tetap meremas-remas penisku. Tak lama kemudian penisku
mulai tegak kembali dengan gagah beraninya.
“Waw... bang, dia kembali
berdiri!” cetus Marta sambil cekikikan. Aku tidak menjawab, tapi aku langsung
menggumulinya kembali, sehingga cekikikan Marta berubah menjadi lenguhan nikmat.
“Akhh… abang nakal, mempermainkan klitorisku terus!” desahnya padaku. Kurasakan
dari lubang vaginanya kembali mengalirkan air nikmat yang membuatnya kembali
basah, setelah aku mempermainkan kelentitnya beberapa lama.
Segera kunaiki tubuhnya kembali,
kali ini tanpa dituntun lagi aku langsung memasukkan batang penisku pada liang
vaginanya, “Awww…” pekiknya saat batang penisku masuk kembali ke dalam
vaginanya. “Perlahan sedikit, bang. Jangan terburu nafsu.” pintanya sambil menggigit
telingaku pelan.
“Hemmm…” hanya itu jawabku
padanya, lalu tanpa banyak bicara lagi aku segera mengayunkan pantatku, memompa
vaginanya. Kali ini aku bisa bertahan dalam waktu yang cukup lama, mungkin
karena sebelumnya aku sudah memuncratkan air maniku, maka aku tidak segera
muncrat kembali.
Rintih dan erang Marta berpadu
dengan lenguhku, “akh… okh… bang… akh…”
“Ehm... ugh...” aku semakin
mempercepat pompaanku, kami tidak mempedulikan tubuh kami yang sudah
bermandikan keringat, bahkan di wajah Marta kulihat keringat sebesar biji
jagung mengembun di kening dan ujung hidungnya.
Semakin cepat dan semakin cepat
aku mendayung, semakin cepat juga kurasakan pantat Marta bergoyang mengimbangi
desakanku, sampai akhirnya, “Bangggg…” serunya dan matanya terbalik ke atas
dengan kepala tertengadah, kurasakan tangannya mencengkram pantatku sampai kuku
jarinya melukaiku
“Okhhh…” erang Marta dengan
tubuh mengejang kaku. Aku yang tidak bisa bergerak karena himpitan tangannya
yang merangkul erat pantatku, terpaksa harus berdiam diri, hanya mulutku yang
mengulum puting susunya, kuemut, kuelus dengan ujung lidah diselingi dengan
gigitan pelan.
Saat kurasakan tubuhnya melemas,
dan dekapan tangannya di pantatku mengendor, aku segera memacu kembali pantatku
untuk bergerak naik turun di atas tubuhnya. Marta untuk beberapa lama masih
berdiam diri dengan lemasnya, tapi kemudian pantatnya mulai bergoyang kembali
melayani desakanku.
Kembali terulang paduan rintih
nikmat dan erang Marta dengan lenguhanku, “Akh… okh… bang… akh…”
“Ehm... ugh...” kupercepat dan
semakin kupercepat pompaanku, keringat bercucuran dari tubuhku dan tubuh Marta,
kami betul-betul mandi keringat. Sampai akhirnya, kembali kurasakan rasa geli yang nikmat menjalar di batang
penisku.
“Mar… aku… aku…” kataku terputus-putus
karena desakan nafsu. Tapi meskipun aku tidak mengatakan dengan jelas apa yang
kumaksud, tampaknya Marta bisa menangkap maksudku, itu terlihat dari jawabannya.
“Aku juga, bang… mau… okh…”
katanya sambil mengguncangkan pantatnya keras-keras. Tak lama kemudian aku
tidak lagi mampu menahan desakan di batang penisku.
Marta kembali mendekap pantatku
erat-erat, didorongnya pantatnya ke atas sambil mengguncangkan pantatnya ke
kiri dan ke kanan dengan keras, “Bangggg… akkkkkhhhhh…” erangnya.
Seiring dengan itu, aku
merasakan pijatan yang ketat dan nikmat sekali di batang penisku. Diiringi
lenguhku yang semakin keras, “Ugh… ehmmm…” aku memuncratkan air maniku untuk yang
kedua kali.
Setelah berdiam beberapa lama,
kami akhirnya pulih kembali dan sepanjang pagi itu, aku dan Marta bersetubuh
berulang kali, sampai sprei yang menutupi tempat tidurku basah oleh paduan
ceceran air nikmat kami serta keringat yang mengucur dari tubuh kami. Marta
kemudian mengganti spreiku dengan yang baru dan membawa yang lama ke mesin
cuci.
Sejak saat itu aku selalu
bersetubuh dengan Marta setiap hari. Sedikitnya aku menyetubuhinya sekali di
pagi hari, tapi seringnya aku menyetubuhinya beberapa kali dalam sehari, bahkan
kadang malam hari pun kami bersetubuh juga jika keadaan memungkinkan.
Ibuku yang melihat Marta sudah menjadi gadis remaja menjelang dewasa
mengijinkan Marta memakai alat kontrasepsi, karena ibu tahu bahwa banyak remaja
yang sudah melakukan hubungan seksual pada masa kini. Dengan demikian aku tidak pernah
memakai kondom saat aku bersetubuh dengan Marta.
Ibu tidak pernah tahu bahwa yang
selama ini selalu menyetubuhi Marta bukanlah teman atau pun pacarnya, tapi aku,
kakak laki-lakinya. Sering sekali Marta mengatakan, “Aku ingin berkuda tanpa
pelana,” katanya padaku sebagai isyarat bahwa dia minta disetubuhi.
“Kau terlalu banyak membaca
novel seksual.” kataku padanya suatu hari, karena Marta sering sekali meminta
posisi yang aneh-aneh saat bersetubuh. Tapi aku sungguh sangat mencintai Marta
terutama keahliannya dalam melayaniku bersetubuh.
***
Apartemen yang kami tinggali
berada di tingkat dua sebuah gedung apartemen yang tingkat pertamanya digunakan
untuk lahan bisnis. Tepat di bawah kami adalah toko yang menjual barang-barang
dari kulit, seperti tas, jaket, sepatu dan barang-barang lainnya. Di malam hari,
cahaya lampu jalan yang temaram sampai juga ke dalam kamar-kamar kami. Pada
saat-saat tertentu di malam hari, sering saya mencium bau kulit dari toko di bawah
dan saya cukup menyukai baunya, sedangkan suara kereta api juga terkadang
terdengar sayup-sayup melintasi rel kereta yang berjarak kurang lebih 500
meteran.
Tata letak apartemen yang kami
tinggali melebar, dengan kamarku dan kamar saudari perempuanku berada di sayap
utara, bagian tengah terdiri dari ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan dan
dapur, sedang sayap selatan terdiri dari kamar ibuku. Di kedua ujung sayap juga
terdapat kamar mandi.
Sedangkan pintu masuk ke dalam
apartemen juga ada dua, yaitu yang satu dari ruang lobby, ini merupakan pintu
utama dan terhubung pada jalan raya di depan apartemen kami, disana terdapat
lift dan tangga yang menghubungkan setiap tingkat dari gedung apartemen,
menggunakan jalan ini kita akan sampai pada pintu ruang tamu apartemen kami.
Pintu kedua adalah menggunakan tangga
darurat yang berada di samping apartemen kami serta terhubung pada gang di samping
gedung apartemen. Jika kita menggunakan jalan ini, kita akan sampai pada pintu darurat yang
terletak di dalam dapur. Dapur itu sendiri berada dekat dengan sayap selatan,
sehingga begitu kita keluar dari dapur, kita akan keluar pada lorong depan
kamar ibuku.
Tata ruang yang seperti ini juga
memberi kebebasan pada ibuku saat dia berkencan dengan beberapa orang
relasinya. Aku tahu persis bahwa ibuku terkadang memberi pelayanan seksual
kepada relasi-relasinya tersebut, baik dengan tujuan memperlancar usahanya,
maupun sekedar kencan biasa untuk kesenangannya. Pada umumnya relasi tersebut
telah memiliki keluarga sendiri.
Saya ingat salah seorang teman
kencan ibu adalah seorang salesman mobil bekas dengan istri dan dua anak yang
berusia remaja. Aku tidak tahu apa yang membuat ibu tertarik padanya, mengingat
meskipun ibuku menikah di usia muda dan telah memiliki tiga orang anak dari
hasil pernikahannya dengan ayahku, tapi ibuku adalah seorang wanita cantik yang
awet muda, dengan bentuk tubuh yang masih tetap menggiurkan bagi laki-laki,
bahkan aku yakin jika ibu mau, ibu masih mungkin mendapatkan jodoh seorang
perjaka. Itu terlihat jelas dari cara kaum lelaki memandangnya, apabila ibu
keluar rumah.
Aku ingat saat pertama kali aku
melihat ibuku telanjang, kejadian itu setelah kurang lebih satu bulan sejak aku
dan Marta berhubungan seksual. Suatu hari seperti biasa aku kuliah dan pulang
lebih awal dari biasanya, rupanya keluargaku termasuk ibuku menyangka bahwa aku
yang biasanya sampai ke rumah jam 10 malam, masih belum lagi akan pulang,
karena hari baru menunjukkan pukul 7 malam. Hal itu terbukti kemudian dari
tidak tertutupnya pintu kamar ibuku, meskipun aku heran kenapa ibu tidak
memperhitungkan kedua saudariku. Saat itu karena malas memutar ke depan yang
jaraknya lebih jauh, aku masuk melalui pintu darurat yang biasanya merupakan
tugasku untuk menguncinya.
Setelah aku masuk dan keluar
dari dapur, kulihat pintu kamar ibuku terbuka, dan terdengar bunyi yang tak
asing lagi, suara decit batang penis yang keluar masuk di lubang vagina serta
suara kepala ranjang yang mengenai dinding berulang-ulang. Penasaran, aku
langsung mengintip ke dalam, meskipun saat itu lampu di kamar dipadamkan, tapi
cahaya lampu jalanan mampu menerangi kamar ibuku melalui jendela kamar,
walaupun temaram.
Disana kulihat ibuku tengah
bersenggama dengan si Salesman mobil bekas, saat itu mereka tengah pindah
posisi dari posisi misionaris menjadi posisi doggy style. Dan aku baru tahu apa
yang menarik dari diri si Salesman tadi, rupanya penisnya besar dan panjang,
melebihi ukuran normal. Aku melihat batang penisnya keluar masuk vagina ibuku
dari arah belakang, mereka bersetubuh dengan serunya, sementara ibuku berulang-ulang
merintih nikmat, berpadu dengan geraman si Salesman yang juga merasakan
kenikmatan gesekan penisnya dengan dinding vagina ibuku.
“Okhhh… Herry… akhh…” rintih
ibuku sambil memanggil si Salesman. Kulihat ibuku menggoyangkan pantatnya
secara bervariasi, kadang didorong ke belakang menyongsong batang penis Herry
yang tengah didorong ke depan, kadang bergoyang ke kiri dan ke kanan secara
mendadak. Membuat Herry menggeram tak henti-hentinya. “Hemmm… ughh…”
“Kocok lebih keras, Herr…
akhhh…” pinta ibuku pada Herry, yang segera menjawabnya dengan memompa ibuku
lebih cepat lagi.
“Okhh… Lin… Linda… lubang
vaginamu sangat seret dan nikmat, uugh…” ceracau Herry pada ibuku. Mereka tetap
memacu birahi mereka tanpa mempedulikan keringat yang membanjiri tubuh Herry
dan menetes pada pantat ibuku.
Lalu dengan sebuah geraman yang
keras, “Hemmm… ehm…” tiba-tiba tubuh Herry menggigil, ditancapkannya batang
kemaluannya dalam-dalam di lubang vagina ibuku, tubuhnya sejenak mengejang,
sedangkan ibuku kalang kabut menggoyang-goyangkan pantatnya dengan keras.
“Akhh… sialan kau, Herr… aku
hampir sampai, kau duluan keluar, uhh… dulu kau mampu membuat aku orgasme dua
kali, sekarang kau cuma mampu sekali.” keluh ibuku setengah memekik karena
kecewa. Sementara batang kemaluan Herry mulai mengerut dengan cepat dan
akhirnya keluar sendiri dari lubang vagina ibuku.
Rupanya meskipun ibuku telah
menggoyang pantatnya kalang kabut, tapi puncak kenikmatan bersetubuh yang kedua
tidak dapat diraihnya. “Maafkan aku, Lin… habis makin lama, goyanganmu makin
yahud saja, aku benar-benar tidak tahan menerimanya.” jawab Herry meminta maaf
sambil merayu ibuku.
Aku sadar ibuku pasti segera
keluar dari kamar, maka aku segera menyelinap ke belakang pintu dapur yang
sedikit terbuka bekas aku masuk tadi. Dari celah pintu yang terbuka, segera
kulihat ibuku keluar dari kamar dengan telanjang bulat, sementara wajahnya
masih menunjukkan raut kecewa, sedang tangan kanannya ditangkupkan pada
selangkangannya lewat celah pantatnya untuk mencegah air mani Herry berceceran
di lantai.
Kulihat payudara ibuku yang
besar berayun dari kiri ke kanan, sementara mount pubicnya tampak melentung ke depan,
dengan rambut kemaluan yang lebat menutupinya. Kupandangi tubuh mulus ibuku
sambil menelan ludah, paha bulat panjang, pinggang yang ramping, pantat besar
membulat, dan buah dada yang besar, ditambah dengan wajah yang cantik. Lelaki
mana yang tidak akan tergiur untuk memilikinya.
Saat itu juga aku sadar, bahwa
aku sangat ingin menyetubuhinya, terbayang dalam benakku, kalau ibu bisa
menyukai Herry si Salesman hanya karena batang penisnya yang lebih besar dan
panjang dari ukuran normal laki-laki, maka ibuku pasti akan menyukai aku yang juga
memiliki batang penis tidak kalah besar dan panjangnya dari Herry.
Ibuku rupanya langsung mandi,
karena kudengar suara guyuran shower dari balik pintu kamar mandi tersebut,
sementara Herry yang telah mengenakan pakaiannya, kemudian keluar dari kamar
ibuku. Diketuknya pintu kamar mandi, “Lin… aku pulang ya.” katanya.
“He-eh,” jawab ibuku pendek,
rupanya dia masih kecewa.
Herry segera keluar dari
apartemen kami lewat ruang tamu, aku sendiri segera pergi keluar dengan
menggunakan tangga darurat. Di bawah, kulihat beberapa temanku yang tinggal di
apartemen yang sama, bergerombol di halaman. Rupanya mereka merencanakan main
bilyard. Aku ikut dengan mereka main bilyard, tapi hanya satu game setelah itu
aku pulang ke apartemen kami.
Kali ini aku pulang lewat jalan
depan, sengaja kubuat beberapa suara yang cukup berisik, agar ibuku tahu aku
telah pulang. Sambil bernyanyi dengan suara sumbang, aku mengunci pintu keluar
dari ruang tamu. Lalu aku beranjak masuk ke ruang keluarga. Disana kulihat
ibuku tengah duduk menonton TV di sofa dengan mengenakan daster yang tipis
transparan, mempertontonkan keindahan tubuhnya.
“Malam, Ma, ada acara yang
menarik untuk ditonton?” tanyaku pada ibuku.
“Tidak ada acara yang
benar-benar menarik untuk ditonton.” jawabnya sambil meraih sebungkus rokok
Dunhill Light. Diambilnya rokok sebatang dan dinyalakannya, sambil menghembuskan
hisapannya yang pertama, ibuku menepuk-nepuk sofa di sampingnya, menyuruhku
duduk disana.
“Rokok?” tawarnya padaku sambil
menyodorkan bungkus rokok Dunhill Lightnya.
“Tentu,” jawabku sambil duduk di
sampingnya dan mengambil sebatang rokok. Saat menyulut rokok, diam-diam aku
merasa aneh, karena aku ingat saat pertama aku datang kemari setelah ayahku
bunuh diri, aku pernah ketahuan olehnya sedang merokok di tangga, dan ibuku
saat itu memarahiku sambil berceramah tidak baik seorang pemuda merokok,
meskipun dia sendiri perokok.
“Don, Mama sudah berpikir
tentang kamu,” katanya memulai percakapan sambil matanya tetap terarah pada TV,
meskipun aku tidak yakin dia bisa menikmati tontonannya.
“Memangnya kenapa, Mam?” tanyaku
sambil melirik ibuku dan menghembuskan asap rokok.
“Itu, tentang insiden di acara
kamp gereja.” katanya perlahan sambil berpaling padaku.
“Mam, aku sangat menyesal atas
kejadian itu. Aku tahu aku telah membuat malu mama dan keluarga kita. Aku tidak
tahu harus berkata apa, yang jelas aku hanya ingin tahu bagaimana tubuh
gadis-gadis jika tidak memakai baju. Itu saja, tidak ada maksud lain.” jawabku mencoba
menjelaskan posisiku.
“Kamu memang laki-laki normal,
karena itu wajar jika kamu punya rasa penasaran tentang bagaimana sih tubuh
wanita jika tidak mengenakan baju, mama tidak terlalu menyalahkanmu…” mama
terhenti sejenak lalu lanjutnya sambil memandang TV kembali. “Don, kamu tahu
bahwa dari dulu kamu adalah anak kesayangan mama. Tapi karena sudah terlalu
lama kamu tidak tinggal dengan mama, maka terkadang sekarang ini sulit bagi
mama untuk menganggapmu sebagai anak mama, bukankah ini suatu hal yang logis? Bisakah
kamu memahami apa yang mama maksudkan?”
“Sedikit kurasa.” jawabku yang
sebenarnya masih kebingungan.
“Karena itu, mama sekarang akan
bersikap berbeda kepadamu dari sikap mama yang sebelumnya, karena mama akan
berbuat lebih jujur, sesuai dengan apa yang mama rasakan, bahwa kamu rasanya
bukan anak mama, meskipun mama tetap sangat mencintaimu.” kata mama kepadaku,
“Kamu bisa menerima itu bukan?” lanjutnya padaku.
Sekali lagi, meskipun aku masih
kebingungan, aku menganggukkan kepalaku.
Mama mengulurkan tangan untuk
mematikan rokoknya, lalu mama bergeser merapat padaku, sambil tangannya meraih
tanganku serta meletakkannya di buah dadanya. Buah dada mama jauh lebih besar
dari buah dada Marta yang masih tumbuh, dan aku ingat aureolesnya juga lebih
besar dan berwarna coklat.
Ibuku berdiri dan menarikku
sampai aku berlutut di depannya, dibukanya baju daster tipis yang menerawang
itu, sehingga dia berdiri telanjang di depanku. Segera kenanganku kembali pada
saat dia keluar dari kamarnya dengan tangan menangkup vaginanya lewat celah
pantat, serta payudaranya yang bergoyang saat dia bergegas berjalan ke kamar
mandi. Batang penisku segera mengacung tegak kaku seakan ingin menjebol celana
yang tengah kupakai.
“Peluk mama, Nak! Raba, elus dan
remas seluruh tubuh mama sesuka hatimu!” pintanya padaku.
Bibir dan tenggorokkanku terasa
kering, dengan menelan ludah aku menuruti permintaannya. Aku memeluknya dengan
erat, sementara tanganku mengelus pinggangnya yang ramping, pantat dan
pinggulnya yang membulat, lalu perlahan kucium lehernya yang wangi, serta
kujilati daun telinganya sampai dengan lubang telinganya. Ciuman dan jilatanku
kembali beralih pada lehernya, “Akhh…” desah ibuku di telingaku.
Sejenak muka kami merenggang,
kami saling bertatapan sejenak, lalu entah siapa yang memulai, tapi bibir kami
akhirnya saling melekat dalam suatu ciuman yang nikmat. Kukulum bibirnya dengan
gemas, sementara tanganku meremas payudaranya yang besar, “Ookh… betapa kenyal
dan halusnya payudara ibuku.” batinku.
“Oh, ya… begitu caranya, itu
terasa begitu nikmat. Ehm, mari kita ke kamar mama, Don! Dan buka seluruh
pakaianmu.” kata ibuku kepadaku setelah kuluman bibir kami terlepas.
“Bagaimana dengan
saudari-saudariku?” tanyaku dengan suara gemetar karena dorongan nafsu.
“Tenang, tadi siang mereka
datang ke restaurant untuk pamit kepada mama bahwa mereka malam ini akan
menginap di rumah teman-temannya. Ini adalah kesempatan bagi kita untuk saling
mengenal lebih intim, dengan cara yang berbeda dari biasanya.” jawab ibuku.
Baru kini aku mengerti, kenapa ibu sedemikian lalainya tidak menutup pintu
kamarnya saat tadi bersetubuh dengan Herry, rupanya ibu sudah tahu
saudari-saudariku tidak ada, dan aku pasti belum pulang.
Aku nyaris tidak percaya dengan
apa yang kualami, aku ingat betapa aku sangat ingin menidurinya hanya dua jam
lalu, saat aku memergokinya bersetubuh dengan Herry. Sekarang dia mengundangku
ke kamarnya di mana dia baru saja menghibur orang lain, sepertinya semua keinginanku
yang tadi segera akan terlaksana.
Dengan segera aku membopong
tubuh ibuku yang telanjang bulat. Sambil berjalan ke kamarnya, mulutku kembali
mengulum puting susunya yang telah menegak, seakan menantang untuk diemut.
Sesampainya di kamar, kulihat
tempat tidur ibuku masih berantakan. Meskipun ibuku telah merapikan seprainya,
aroma persetubuhannya tadi masih tercium di udara, dan itu membuat gairahku
bertambah dua kali lipat, dan batang penisku di dalam celana berdenyut-denyut
kencang. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah ibuku menyadari hal itu?
Kuturunkan ibuku, sampai dia
terbaring di atas ranjang dalam keadaan telanjang bulat. Seperti tengah
menggodaku, kedua kakinya segera dikangkangkan, memperlihatkan secara jelas belahan
vaginanya di bawah cahaya lampu kamar. Kulihat rambut kemaluan ibuku yang
lebat, dan bibir vaginanya yang setengah terbuka, dan secuil daging tampak
mengintip tepat pada bagian atas bibir vaginanya.
Segera kulepaskan seluruh
bajuku, dan aku segera berbaring disampingnya, “Wow… rupanya anak mama memiliki
batang penis yang luar biasa, ughhh… begitu indah, sangat besar dan panjang,
dengan otot yang kuat!” pekik ibuku saat melihat batang penisku, sambil
mengangkat sedikit kepalanya memandang penisku.
Ibu segera memiringkan tubuhnya,
dan dia mendekapku erat-erat dengan tubuh telanjangnya. Kain spreinya terasa
masih basah dan lengket saat dia memelukku dengan kuat.
Hal itu semakin merangsang aku, karena mengingatkan akan batang penis Herry yang menerobos lubang vagina ibuku dari belakang, dan aku nyaris tidak sabar untuk memasukkan batang penisku ke lubang yang sama.
“Cium aku, Nak!” pinta ibuku
sambil perlahan mengelus batang penisku. Sedikit tergelinjang karena elusannya,
aku segera mencium bibirnya yang mungil, kukulum bibirnya dengan penuh nafsu,
kurasakan lidah ibuku menujah gigiku dan perlahan mengelusnya dengan ujung
lidahnya.
Segera kukejutkan ibuku dengan
lidahku yang kujulurkan langsung ke dalam mulutnya, “Mmmmhhh…” lenguh ibuku
sambil membalas perbuatanku dengan menghisap lidahku. Kami berciuman dengan
penuh gairah, lidah kami saling elus dan saling belit, membuat gairah kami
melambung ke atas awan.
“Hmmm... mmm…” dengusan kami
saling bersahutan, sementara nafas kami menjadi tersengal, bukan saja karena
pernafasan kami sedikit terhalang oleh ciuman kami yang sangat lama, tapi juga
karena nafsu yang semakin memuncak dan menggelora.
“Kamu tampaknya sudah sangat
berpengalaman, apakah kamu pernah meniduri perempuan sebelum ini?” tanya ibuku
padaku setelah pagutan bibir kami terlepas.
Aku sempat panik sejenak, aku
khawatir mama mengetahui aktifitasku selama sebulan ini meniduri Marta, adikku,
tapi segera kuingat satu-satunya bukti adalah kain spreiku yang selalu dicuci
Marta setiap habis bersetubuh, karena mencucikan baju dan lainnya memang
tugasnya. Jadi tidak mungkin dapat ditemukan bukti. Dan hal ini menenangkanku.
“Tidak, aku hanya pernah mencium
beberapa orang gadis itu saja, selebihnya aku melihatnya di film porno yang
kutonton beramai-ramai dengan temanku.” jawabku berbohong.
Ibuku menatapku dengan lekat,
seakan ingin meneliti apa aku bohong atau tidak. Aku balas menatapnya sambil
menenangkan diri. “Jadi kamu masih perjaka?” tanya ibu sambil tersenyum.
“Kecuali mama menganggap onani berarti
kehilangan keperjakaan, maka aku memang masih perjaka.“ kembali aku berbohong.
“Doni, Doni, kamu memang anak
baik, mama pikir kini saatnya kamu merasakan pengalaman pertamamu. Kemari
anakku sayang, biar mama tunjukkan sesuatu.” lanjut mama sambil tersenyum
senang.
Aku tergelinjang kegelian, geli
yang sangat nikmat saat ibuku menjilati telingaku. “Aaghh…” erangku tak
tertahankan. Lalu ibu menciumi leherku dan menggigitnya dengan gigitan mesra,
kembali aku tergelinjang.
“Nah, kamu dapat berbangga
kepada kawan-kawanmu bahwa seorang perempuan telah memberimu gigitan cinta,
tapi awas jangan mengatakan mama yang melakukannya.” bisik ibuku di telingaku.
Lidahnya menyusur kebawah,
diciuminya dadaku sambil terus dijilatnya, saat sampai pada puting susuku,
tiba-tiba diemutnya sambil ujung lidahnya menggelitik ujungnya, “Akhh… Mam…”
tak tertahankan, aku kembali mengerang kenikmatan. Ibuku beralih melakukan hal
yang sama pada puting yang satunya lagi, kembali aku menggeliat sambil mendesah,
“Aakhh…”
Sementara ibuku melakukan
aksinya, tanganku tidak tinggal diam, kuremas-remas kedua buah dadanya dengan
nikmatnya. Ketika jilatan ibuku sampai di perut, aku segera sadar, dia ingin
membuatku mengalami orgasme dengan mulutnya, karena itu aku segera menahan
kepalanya sambil berkata. “Mam, posisi tubuh mama jangan begitu. Aku pernah
melihatnya di film, ini seharusnya ada di mulutku!” kataku sambil mengusap
selangkangannya.
“Kau benar, itu posisi
sixtynine” jawab ibuku, “Tapi itu kita lakukan nanti, sekarang mama ingin
membuatmu merasakan kepuasan terlebih dahulu.” jawab mama sambil melanjutkan
aksinya. Lidahnya kembali menjilati perut bawahku, sampai pangkal paha, lalu
dia menjilati kantung pelirku, dan menghisapnya.
Terasa agak ngilu tapi nikmat
saat ibuku mempermainkan buah pelirku, lalu lidahnya menjilat makin ke atas,
kini batang penisku yang dijilatnya, sampai aku mengeluarkan air mazi yang
cukup banyak, dan hup! mulut ibuku tiba-tiba mengulum kepala penisku, sambil
menghisap air mazi yang meleleh keluar, “Aakhhh…” kembali desahku tak dapak
kutahan.
Kini mama selain menghisap
batang penisku, lidahnya juga bermain-main di lubang kencingku, mataku
terbeliak merasakan kenikmatan itu, “Aakhh… mama… okh... nikmat sekali…”
ceracauku sambil meremas-remas rambutnya.
Ibuku mulai menaik turunkan
mulutnya untuk mengocok batang penisku, saat mulutnya turun, selalu dibarengi
dengan hisapannya pada batang kemaluanku, serta jilatan lidahnya pada kepala
penisku. Aku benar-benar tidak tahan lagi, hasrat yang telah muncul sejak aku
melihat ibuku bersetubuh, dan telah kutahan sedemikian lama, membuatku dengan
cepat merasakan rasa geli yang nikmat pada penisku.
Segera kujambak rambut di kepalanya
dan kupegang kepalanya agar mengulum batang penisku lebih dalam, dan “Akhhh… okhhhh...
mam… akuu… okhhh!!!” dengan erangan yang keras, aku memuncratkan air maniku di
dalam mulutnya.
Ibuku tetap mengulum batang
penisku, kini gerakannya searah, dari pangkal ke kepala penis, sambil terus
menghisap dan menelan seluruh air maniku, tanpa tersisa. Badanku kejang
beberapa saat, lalu ketika semprotan air maniku berakhir, tak terasa tubuh
melemas.
“Gimana, nikmat?” tanya ibuku
sambil melap mulutnya dengan tisue.
“Wow… hebat sekali, mam, jauh
lebih nikmat daripada onani.” jawabku.
“Nah ingat-ingatlah, mulai kini
mama melarang kamu onani. Kalau kamu ingin, mama akan membantu memuaskan kamu,
Don.” lanjut ibuku sambil mencium bibirku.
“Mam, bolehkah aku menciumi
seluruh tubuhmu?” tanyaku setelah bibir kami terpisah.
“Tentu… tentu… Doni boleh
melakukannya, bahkan mama akan mengajari Doni bagaimana caranya memuaskan
wanita.” jawab ibuku sambil tersenyum dan berbaring telentang di sebelahku.
Aku mulai dari menciumi dahinya,
lalu menjalar mengarah ke bawah, mata, hidung, pipi, dan akhirnya kukulum bibir
ibuku, cukup lama aku mengulumnya sambil lidah kami saling hisap dan saling
belit. Lalu kutiru gerakannya dengan menjilati lubang telinganya, “Aaughh… kamu
pintar, sayang!” desah ibuku sambil menggeliat kegelian saat lidahku
menggelitik lubang telinganya.
Kugigit pelan daun telinganya,
lalu kujilati belakang telinganya, jilatanku kemudian menjalar pada leher dan
kuduknya, kubalas gigitan ibuku dengan memberinya cupangan yang besar di lehernya.
“Ssst… jangan, Don, nanti banyak yang akan memperhatikan mama.” cegah ibuku
sambil tubuhnya menggelinjang karena cupanganku. Tapi aku tidak
mempedulikannya, aku terus mencupangnya sampai akhirnya ibuku menyerah dan
membiarkan aku mencupangnya.
Lidahku kemudian menjalar pada
bahunya, lalu dengan suatu gerakan pasti, kubuka ketiak ibuku dan kujilati
ketiaknya yang tidak berbulu karena rajin ke salon. “Ssttt… hess…” desis ibuku
kegelian karena ulahku. Kini lidahku menjalar di dadanya. Dengan sebuah tangan,
kuremas buah dada kirinya, sedangkan mulutku kini mengulum buah dadanya yang
kanan, perlahan tapi pasti, akhirnya kuemut puting susunya yang telah tegak
menantang. Aku mengemut sambil mengelus-elus kepala puting itu dengan ujung
lidahku. Puas dengan yang kanan, emutanku berganti pada puting yang kiri,
sementara tanganku meremas dan mempermainkan buah dadanya yang kanan.
Lalu lidahku menjilati perutnya,
semakin ke bawah dan tampaklah sekarang vaginanya terpampang tepat di depan
mataku. Aku tertegun sejenak memandang vagina ibuku, vagina itu lebih besar
dibanding punya Marta, dengan rambut kemaluan yang lebih lebat juga. Kugerakkan
tanganku untuk membuat kaki ibuku lebih terkangkang.
Terlihat klitorisnya juga lebih
besar dan lebih menonjol dibandingkan Marta, sementara bibir vaginanya tampak
sedikit menggelambir. Kusingkapkan bibir vaginanya dengan jariku sehingga
bagian dalam vaginanya yang berwarna merah kecoklatan muncul, terlihat cairan
pelicin mulai muncul dari lobang vaginanya.
“Apa yang sedang kau lihat,
sayang? Ini namanya klitoris dan merupakan pusat kenikmatan wanita, semua wanita
akan segera mengalami orgasme jika itu dimainkan dengan benar.” kata ibuku
sambil jari telunjuk kanannya menunjuk seupil daging yang berada tepat di atas
bibir vaginanya.
Tanpa membuang waktu lagi
kujulurkan lidahku dan kujilat sepanjang vaginanya. “Aakkhhhh... okhhh…” erang
ibuku penuh nikmat. Selama beberapa saat kulakukan hal itu, sebelum dengan
tiba-tiba kukulum cepat klitorisnya. Ibuku menggelinjang dengan hebat sambil
mengerang lebih keras “Aaaakkkhhhh… okhhhhh… akkkkhhhh...” erang nikmatnya
terasa menggetarkan jiwaku.
Kulihat tangan ibuku
meremas-remas kain sprei dengan kuatnya, sementara kakinya mulai
menyepak-nyepak tempat tidur. Aksiku kini berubah, kujilat sekali dari atas ke bawah,
lalu lidahku kujulurkan masuk dalam lobang vaginanya, terasa cairan pelicin ibu
sedikit asin rasanya.
Aku kembali mengulum
klitorisnya, sementara dua jariku kumasukkan ke dalam lobang vaginanya. Baru
juga dua kali jari-jariku menggelitik bagian dalam vaginanya, pantat ibuku
tiba-tiba terangkat ke atas, sedangkan kedua tangannya menekan kepalaku ke arah
selangkangannya, “Aaaakkkhhhh… okhhhh…” dengan erangan yang keras, puncak
kenikmatan seksual ibuku diraihnya.
Lalu saat tubuhnya melemas, aku
segera menelungkupinya, dan kumasukkan batang penisku ke dalam lubang
vaginanya, blesss!!! penisku masuk seluruhnya yang langsung disambut dengan
emutan dinding vaginanya. Dari posisi klitorisnya yang menonjol, aku tahu aku
harus lebih banyak melakukan gesekan agar klitorisnya juga lebih banyak
tergesek rambut kemaluanku. Dan aku melakukannya.
Tubuh ibuku yang mula-mula masih
lemas dan membiarkan aku memompanya, perlahan berubah, kini dia memberi respon
dengan menggoyangkan pantatnya ke kiri dan ke kanan, mengimbangi desakanku. “Aakhhh…
okhh… kamu pintar sekali, Don… okhhh!!!” ceracau ibuku ketika dia mulai
mengimbangi pompaanku. Aku sendiri hanya bisa mendengus-dengus karena
nikmatnya, ternyata dinding vagina ibuku masih ketat meskipun dia sudah berusia
40 tahun.
“Aaaakkkhhh… okkhhh…” desahan
ibuku berpadu dengan lenguhanku.
“Uughhh… ukhhh...” kupercepat
pompaanku, lalu kurasakan ibuku mulai memutar-mutar pantatnya, aku segera
merubah cara memompaku dengan memompa sambil memutar-mutar pantatku berlawanan
arah dengan putarannya.
“Akhhhh… okkhhhh…” desah kami
semakin keras.
Tidak berapa lama kemudian,
tiba-tiba tubuh ibuku mengejang sambil menaikkan pantatnya tinggi-tinggi.
“Doniiiii… okhh… akh… mama... akhh… keluarghh…” ceracaunya sambil menekan
pantatku dengan kedua tangannya. Kubiarkan ibuku menikmati orgasmenya, sampai
akhirnya tubuhnya melemas sedangkan matanya terpejam.
Kucium bibirnya sekilas lalu aku
segera memompanya lagi. Ibuku masih belum menunjukkan reaksi, tapi aku tetap
memompanya perlahan untuk membangkitkan kembali gairahnya. Dan harapanku terlaksana
beberapa menit kemudian, kurasakan ibuku mulai merespon pompaanku.
“Linda sayang, aku ingin kamu menungging.” bisikku di telinganya.
Ibuku yang sejak tadi memejamkan matanya, tiba-tiba membuka matanya, “Huss…Doni
mulai kurang ajar ya sama mama?” katanya sambil mencubit pelan pinggangku.
“Kenapa, Lin… bukankah kamu tidak bisa menganggap aku anakmu, maka
akupun tidak bisa menganggapmu ibuku, bahkan kini aku sudah menyetubuhimu, maka
kamu sekarang sudah jadi istriku, Linda saying!” jawabku.
“Uh… kamu ada-ada saja, tapi… emmm, Doni boleh memanggilku Linda saat
kita bersetubuh, atau hanya ada kita berdua. Tapi kalau ada orang lain, Doni
tetap harus memanggilku mama, mengerti?” katanya sambil tetap memutar-mutar
pantatnya. Ketika dilihatnya aku mengangguk, ibuku tersenyum dan mencium
bibirku, “Ayo kalau kamu ingin posisi doggystyle,” katanya kemdian.
Aku menghentikan pompaanku, lalu kami berganti posisi dan kembali
kumasukkan batang kemaluanku ke dalam lobang vagina ibuku, dalam posisi ini
kemutan dinding vagina ibuku terasa lebih ketat, pantas Herry segera menyerah.
Tapi tidak dengan aku, aku telah bertekad untuk memuaskan ibuku sampai dia
bertekuk lutut pada diriku, karena aku berniat menghilangkan kebiasaannya
bersetubuh dengan lelaki lain. Aku bertekad sejak sekarang hanya aku yang boleh
menyetubuhinya.
Kulakukan segala cara untuk membuatnya cepat menggapai orgasmenya,
sementara aku sendiri harus bertahan sekuat tenaga agar tidak muncrat lebih
dahulu. Pengalamanku dengan Marta banyak membantuku, kuulurkan sebelah tanganku
untuk meraih klitorisnya, dan mengulir-ulirnya. Ibuku hanya bertahan beberapa
menit sampai akhirnya dia mencapai orgasmenya yang kedua.
“Akhhh… okhhh…” erangnya dengan keras sebelum tubuhnya mengejang kaku,
kembali kubiarkan ibuku sampai tubuhnya lemas kembali, lalu segera kuminta
padanya agar berbaring terlentang kembali. “Okhhh… kamu hebat sekali, Don!”
katanya dengan suara lemah, sambil membaringkan tubuhnya yang masih lemas.
Tanpa banyak bicara lagi, aku segera memompanya, lagi dan lagi sampai
akhirnya akupu tidak dapat bertahan lebih lama, “Ughhh, Linda…aku tidak tahan
lagi!” kataku kepada ibuku.
“Tahan sebentar, sayang, aku juga mau sampai.” jawabnya sambil
mengguncang-guncangkan pantatnya dengan dahsyat. Aku kini berdiam diri, berusaha
keras agar bisa merasakan orgasme secara bersamaan.
Dan ketika tangan ibuku kembali
mencengkram pantat dengan kerasnya, akupun memucratkan air maniku yang kedua
kalinya malam itu, bersamaan dengan orgasme kelima ibuku karena ulahku.
“Lin, akhhh…”
“Doniiii... okhhh…”
Erang kami bersamaan saat puncak
kenikmatan persetubuhan kami raih secara bersama. Tubuh kami mengejang dengan
kuatnya, lalu perlahan melemas dan aku ambruk di atas tubuh ibuku. Sejenak kami
terdiam merasakan sisa-sisa kenikmatan. Setelah beberapa saat, baru aku
mengangkat kepalaku menatap wajah cantik ibuku. Seulas senyum tampak di bibir
ibuku ketika mata kami bertemu pandang.
Kucium bibirnya lembut, lalu
kupandangi kembali wajahnya yang cantik. “Mama tidak mengira kau begitu
hebatnya, untuk membuat kamu mengeluarkan air mani kedua kalinya, harus mama
bayar dengan empat kali orgasme. Tahukah kamu, hal seperti ini baru kali ini
mama alami.” katanya dengan suara lirih setengah mengambang.
“Sebenarnya mama hampir tidak
percaya kalau Doni masih perjaka, karena apa yang tadi Doni lakukan sulit
dikerjakan oleh orang yang sangat berpengalaman sekalipun, tapi mama terpaksa
percaya, karena hanya perjaka yang langsung bisa tegang lagi setelah
memuncratkan air maninya.” lanjutnya dengan suara tetap lirih, tapi kurasakan
tangannya meraba batang kemaluanku yang memang menegang lagi.
Aku hanya tersenyum sambil
kembali memasukkan batang penisku ke dalam lubang vaginanya, “Uughh… kamu
memang luar biasa, Doni sayangku!” kata ibuku saat batang penisku masuk kembali
ke dalam vaginanya.
“Linda sayang, mulai kini Doni
tidak mengijinkan kamu berhubungan seks dengan laki-laki lain, hanya aku yang
boleh menyetubuhimu. Doni minta kamu tinggalkan kebiasaan membawa laki-laki ke dalam
kamar ini, baik dengan alasan bisnis maupun hanya sekedar memenuhi hasrat
seksualmu. Doni akan setia memuaskanmu kapan pun juga, sehingga kamu tidak
memerlukan siapapun lagi, berjanjilah padaku sekarang.” kataku kepada ibuku.
“Darimana kamu tahu aku suka
membawa laki-laki ke kamar ini?” tanya ibuku dengan kening berkerut.
“Aku, Lena dan Marta tidak buta,
Lindaku sayang, karena itu kuminta kamu berjanji padaku untuk tidak bersetubuh
dengan siapapun juga kecuali denganku.” kataku sambil mulai memaju mundurkan
pantatku, tapi mataku tetap memandang mata ibuku.
Mata ibuku sedikit meredup saat
dirasakannya gesekan batang penisku di lubang vaginanya, “Aku berjanji sayang,
asal Doni juga berjanji selalu siap menyetubuhiku kapan saja.” katanya sambil
mulai menggoyangkan pantatnya lagi.
Malam itu aku menyetubuhinya
sebanyak tiga kali, dan membuat ibuku mengalami orgasme tak kurang dari sebelas
kali. Sejak saat itu Linda, ibuku, tidak pernah lagi menerima tamu laki-laki,
dan aku harus membagi waktuku untuk meyetubuhi dua orang perempuan sekaligus,
Linda, Ibuku dan Marta, adikku.
Aku dan ibuku sering mandi
bersama dan aku menyabuni sekujur tubuhnya, termasuk payudaranya yang besar dan
rambut kemaluannya yang lebat dan hitam, serta vaginanya. Pada saat seperti itu
selalu ibuku menghisap batang kemaluanku, tapi aku tidak pernah lagi
mengijinkannya menghisap air maniku, tapi saat dia memberiku blowjob, setiap
kali pula aku memasturbasinya, sampai dia orgasme. Dan setiap kali aku menuntaskan
permainan di kamar mandi dengan persetubuhan yang mengasyikan. Berbagai macam
gaya kami lakukan, mulai dari ibuku bersandar di dinding kamar mandi sambil
mengangkat sebelah kakinya dan aku berdiri memompanya, atau dia berdiri sambil
nungging sementara aku memompanya dari belakang, sampai dia duduk di pinggir
bak mandi sementara aku memompanya dari depan.
Tapi saat-saat yang paling
kusukai adalah ketika ibuku dengan telanjang bulat menyelinap ke tempat
tidurku. Kadang di siang hari jika kami ada yang terangsang, selalu saling
menghubungi, lalu janjian bertemu di sebuah motel dan kami bercinta
habis-habisan di kamar motel.
Bertahun kami melakukannya,
sampai akhirnya Lena menyandang gelar sarjana dan menikah dengan teman
kuliahnya, mereka pindah ke kota lain yang jauh karena suaminya bekerja disana.
Sedang Marta adikku setamat SMA, dia menikah karena hamil oleh ulahku, suaminya
adalah laki-laki yang dijebaknya untuk menyetubuhinya, lalu dia harus
bertanggung jawab untuk kehamilan yang disebabkan ulahku.
Ibuku sendiri senang Marta cepat
menikah, karena dengan demikian hanya tinggal kami berdua yang ada di rumah,
apalagi Marta juga dibawa suaminya pindah ke kota yang cukup jauh, kami makin
bebas bertindak seperti suami istri di apartemen kami, meskipun sebetulnya kami
adalah ibu dan anak. Saat aku meraih gelar sarjanaku setahun setelah Marta
menikah, aku tidak bekerja tapi mengurus restauran milik ibuku atau istriku.
Aku lulus jadi sarjana pada usia
23 tahun, sedangkan ibuku berusia 42 tahun, tapi sampai saat itu ibuku masih
belum menopause, justru saat kami berpikir ibuku tidak mungkin punya anak lagi,
ibuku hamil oleh ulahku tanpa bisa mencari kambing hitam, dan hanya berselisih
satu minggu kemudian aku menerima berita Lena juga tengah hamil.
Meskipun aku mencegahnya, tapi
pada bulan kedelapan kehamilannya, Lena datang sendiri tanpa didampingi
suaminya yang mendapat tugas keluar negeri selama enam bulan. Lena pulang
dengan maksud untuk melahirkan di kota kami. Betapa terkejutnya Lena saat dia
melihat ibuku juga sedang hamil.
Tanpa sepengetahuan ibuku, Lena
sempat bertanya ibu hamil oleh siapa padaku, yang kujawab dengan mengangkat
bahu. Lena tidak lagi bertanya, meskipun dari pembicaraan dia kemudian, aku
tahu Lena sedang menduga-duga siapa diantara laki-laki yang dulu sering
mengunjungi ibuku, yang membuatnya hamil.
Usia kandungan ibuku dengan usia
kandungan Lena hanya berselisih dua minggu. Meskipun selama dia tinggal, Lena
tidak melihat laki-laki datang ke apartemen kami, tapi itu adalah suatu hal
yang wajar karena hamil tuanya ibuku.
Lalu sebuah kecelakaan terjadi,
Lena jatuh di tangga darurat yang menyebabkan dia dilarikan ke rumah sakit. Dua
minggu Lena dirawat, Lena memang selamat, tapi bayinya meninggal. Lena menangis
meraung-raung karena kehilangan bayinya, sulit bagi dia mempertanggungjawabkan
kehilangan tersebut kepada suaminya yang sangat mendambakan anak.
Lena sangat khawatir diceraikan
suaminya karena anaknya meninggal, karena itu dia sampai saat ini tidak memberi
kabar apapun pada suaminya tentang meninggalnya anak yang dikandungnya. Lalu
aku berunding dengan ibuku, akhirnya ibuku setuju untuk memberikan bayi yang
dikandungnya kepada Lena. Aku bertugas
untuk membuat kenal lahir anakku, yang kupalsukan atas nama Lena
dan suaminya.
Bayi yang dilahirkan ibuku adalah bayi perempuan, aku beri dia nama
Ninda, kependekkan dari namaku dan nama ibuku, meskipun yang kemudian memberi
nama seolah-olah ibuku, tapi sebetulnya akulah yang memberi nama dan ibuku
hanya menyetujuinya.
Bayi itu langsung diurus Lena sejak dilahirkan, hampir sebulan setengah
setelah melahirkan, aku dan ibuku mulai tidak tahan untuk berhubungan seks,
apalagi kami sebelumnya terbiasa bebas dirumah, tapi kini terhalang oleh adanya
Lena yang nyaris tidak pernah meninggalkan rumah. Bahkan malam hari pun aku dan
ibuku sulit menyelinap justru karena Ninda sering menangis di malam hari
mencari air susu. Akhirnya kami menemukan akal, ibuku kembali mengurus
restaurantnya, sedangkan aku tinggal dirumah. Jika aku pergi pamit pada Lena mau ngobyek, maka sebenarnya aku janjian dengan ibu
untuk pergi ke motel.
Suatu hari setelah ibuku pergi ke restaurant, aku duduk di sofa ruang
tengah, lalu Lena sambil membawa Ninda datang padaku, dia hanya mengenakan
daster tipis, yang kancing baju atasnya terbuka. Lena
duduk disampingku sambil mengeluh, “Uh... kenapa air susuku tidak mau muncul
juga, bagaimana kalau suamiku bertanya kenapa aku tidak menyusui sendiri bayi
ini?” katanya sambil mengeluarkan buah dadanya dan menyodorkan putingnya pada
mulut Ninda.
Ninda memang mencoba mengemutnya tapi sebentar kemudian melepaskannya
karena tidak ada air susu yang mengalir, “Bagaimana ini?” keluh Lena kebingungan. Aku sendiri terpaku melotot menatap
buah dada Lena yang montok, tidak kalah oleh
ibuku besarnya, hanya aerolanya saja yang lebih kecil, dan putingnya lebih
merah ketimbang punya ibuku..
Lena yang sadar dengan ulahku, kemudian memasukkan buah dadanya,
“Doniii… belum sembuh juga penyakitmu mengintip perempuan!” katanya, jelas Lena terkenang ulahku waktu di kamp gereja itu. “Don,
boleh aku tanya kenapa kamu belum menikah juga?” tanyanya dengan suara lembut
ketika melihat aku tersipu malu.
“A-aku tidak pernah punya keberanian untuk mendekati wanita.” jawabku
berbohong, sementara iblis telah memberikan rancangan bagiku untuk bisa
meniduri Lena.
“Kenapa, bukankah kamu laki-laki normal?” tanyanya lagi.
Aku pura-pura menunduk sedih. “Entahlah,
Len, kalau aku melihat wanita sering nafsuku bangkit, tapi saat aku
mendekatinya, aku tidak mampu.” jawabku dengan suara diparau-paraukan.
“Kamu pernah konsultasi pada dokter atau psikiater?” tanyanya lagi.
Aku mengangguk. “kata dokter, aku normal-normal saja, sedangkan kata psikiater
ada sesuatu yang memblok alam bawah sadarku, sehingga aku tidak mampu,
seharusnya aku berlatih berhubungan seks dengan seorang wanita, tapi kemana aku
harus mencari wanita seperti itu?” cetusku pada Lena.
Lena terdiam beberapa lama, aku juga mendiamkannya sambil tetap
mengekspresikan muka orang yang sedang putus asa. Setelah keheningan yang
mencekam akhirnya Lena angkat bicara, “Ka-kamu…
mau berlatih denganku?” tanyanya dengan suara ragu.
Kuangkat mukaku, kupasang ekspresi tidak percaya dan harapan, “Su-sungguh
kamu mau berlatih denganku?” tanyaku.
Dengan wajah memerah, Lena mengangguk,
“Kamu telah membantuku membujuk ibu untuk memberikan anaknya padaku, kini
giliranku membantu kamu.” katanya dengan suara lirih.
Meskipun hatiku terlonjak kegirangan, tapi aku hanya menatapnya dengan
pandangan penuh harapan. “Tapi bagaimana caranya?” tanyaku sambil menatapnya.
Lena tersenyum dengan muka merah
sambil berkata, “Ikut aku ke kamar,” pintanya sambil melangkah ke kamarnya.
Sesampainya di kamar, ditidurkannya Ninda di boks tempat tidur bayi, “Buka
seluruh bajumu.” pintanya padaku sambil membuka bajunya, lalu branya, hingga
kini tubuh montoknya hanya tinggal dibalut celana dalam, buah dada Lena
ternyata lebih besar dari punya Marta, meskipun lebih kecil dari Linda, ibuku.
Hanya aerolanya saja yang sama besarnya dengan milik ibuku.
Kuikuti perbuatannya dengan melepas semua bajuku kecuali celana dalamku.
“Buka semuanya!” pintanya padaku. Kali ini kulepas celana dalamku sehingga
batang penisku tegak mengacung dengan gagah beraninya. “Woow… Don, batang
penismu luar biasa besarnya… apa gak salah dengan omonganmu, kok aku lihat dia
bisa berdiri dengan sempurna?” katanya sambil memperhatikan batang penisku.
Aku segera sadar dengan peran yang tengah kujalani, “Iya, dari dulu juga
selalu tegak, tapi pas mau dimasukin layu lagi.” kataku dengan nada sengaja
kubuat antara kesal dan sedih.
“Ehmm… kini aku mengerti, mungkin ada yang salah dengan caramu,
kemarilah berbaring di sampingku.” katanya sambil mendahului berbaring.
“Kamu curang menyuruh aku membuka semua, tapi kamu sendiri masih memakai
celana dalam.” kataku sambil berbaring di sampingnya.
Lena sejenak kulihat ragu, “Baiklah, aku akan melepas celana dalamku, tapi
kamu harus berjanji untuk tidak memasukkan batang besarmu ke dalam vaginaku,
kita hanya akan saling menggesekkannya saja.” katanya kemudian sambil melepas
celana dalamnya setelah melihat aku mengangguk.
“Boleh aku melihatnya?” tanyaku sambil bangkit duduk.
Lena kembali ragu tapi kemudian dia menganggukkan kepalanya, “Ok, kamu bisa
melihatnya, dan kamu memang harus mempelajarinya.” katanya sambil duduk dengan
kaki terkangkang. Lalu Lena mulai menyebutkan seluruh bagian dari vaginanya,
sambil menunjuknya “Dan ini lubang vagina tempat dimana batang penis masuk
kalau dua orang sedang bersetubuh, tapi kita tidak akan melakukan itu, kita
hanya akan menggesekkannya saja agar kamu bisa berlatih.” katanya mengakhiri
ceramahnya sambil kembali membaringkan tubuhnya lagi.
“Kini peluk dan cumbu aku!” pintanya padaku. Aku yang telah sangat
terangsang karena melihat bagian dalam vaginanya yang memerah, segera
menelungkupinya, kupeluk tubuhnya sementara bibirku langsung menyerbu bibirnya,
kukulum sejenak lalu kujulurkan lidahku ke dalam mulutnya.
“Hufhh...” desahnya ketika
menerima serbuanku. “Kamu rupanya sudah sangat berpengalaman dalam berciuman.”
katanya dengan nafas sedikit terengah akibat serbuanku.
“Berciuman sih sudah kulakukan sejak kamu belum menikah, sayang aku
tidak bisa menuntaskannya.” kataku sambil mencumbu leher dan telinganya.
Lena menggeliat sambil mendesah. “Aakhh… perlahan sedikit.” pintanya. Tapi
aku yang sudah kadung bernafsu tidak menghiraukannya, mulut dan lidahku
berpindah-pindah tempat operasi, mulai dari bibir, leher, buah dada, dan
putingnya selalu menjadi incaranku, kukulum, kuemut dan kujilat secara
berganti-ganti, sementara sebelah tanganku meremasi buah dadanya sedangkan
batang penisku kugesek-gesekkan pada belahan vaginanya.
Lena mulai menggelinjangkan tubuhnya, erang yang tadinya ditahan-tahan, kini
terlepas tanpa bisa disembunyikan lagi. “Aakhh… okhhh…” erangnya berulang-ulang.
Sementara pantatnya mulai bergoyang-goyang mengimbangi desakan batang penisku.
Sengaja kupergencar lagi seranganku dengan tujuan saat aku memasukkan batang
penisku, dia tidak mampu lagi menolaknya.
“Aaakhh… aaakkkhhh...” erangnya saat kepala penisku menyundul-nyundul
klitorisnya, sementara kakinya mulai menyepak-nyepak tempat tidur. Dari batang
penisku, kutahu vagina Lena sudah sangat
basah. “Ber-berhenti, Don…” katanya terpatah-patah dengan suara lemah disela
desahnya, memintaku untuk menghentikan aksiku. Aku sadar itu adalah sisa
kesadarannya akan tujuan kami melakukan ini, tapi ini justru merupakan aba-aba
bagiku untuk segera memasukkan batang penisku ke dalam lubang vaginanya.
Dengan ancang-ancang penuh, aku mengincar lubang vaginanya, dan ”Ughhh!!!”
lenguhku saat kepala batang penisku menembus lubang vaginanya, blesss!!! batang
penisku amblas sebatas kepalanya.
“Doniii… jangannnn…” pekik Lena dengan
mata terbelak lebar, sementara pantatnya berguncang dengan hebatnya untuk
mengeluarkan batang penisku, sedangkan tangannya mencoba menolak tubuhku, tapi
tenaganya sangat lemah.
Aku yang sudah menduga hal itu segera mempererat pelukanku dan himpitan
pantatku ke selangkangannya, bahkan pada saat-saat demikian kucoba untuk
memasukkan batang penisku lebih dalam. Meskipun agak susah karena rontaannya,
tapi akhirnya aku mendapat kesempatan untuk menghentakkan batang penisku
sekuatnya ke dalam lubang vaginanya.
“Ughh…” lenguhku saat menusukkan batang penisku sekuatnya, kurasakan
betapa ketatnya himpitan dinding lubang vagina Lena,
dan blesss!!! seluruh batang penisku amblas.
“Aawww…” pekik Lena saat batang penisku
amblas seluruhnya. Sejenak kami terdiam lalu pecahlah isak Lena.
“K-kamu… kamu jahat, Don... kamu memasukkannya!” katanya disela isaknya.
“Maafkan aku, Len, aku sungguh tidak bisa menahan keinginanku untuk
merasakan bagaimana rasanya memasukkan penisku ke dalam lubang vagina perempuan.”
kataku sambil membelai rambutnya.
“K-kini… kini kamu sudah sembuh, cepat cabut penismu!” pinta Lena sambil memandangku.
Aku menggelengkan kepala, “Tidak, aku sudah kadung memasukkannya, aku
kini ingin merasakan bagaimana rasanya bersetubuh.” kataku sambil mulai memaju
mundurkan pantatku. Kulihat Lena mencoba untuk memberontak, tapi rontaannya
lemah dan tidak bertenaga. Setelah nyata tidak berhasil, Lena
mencoba melawanku dengan cara halus, tubuhnya kaku seperti batang pisang, tidak
merespon pompaanku, sementara bibirnya digigitnya dengan keras.
Aku semakin tertantang untuk menaklukkan Lena, kukeluarkan semua kemampuan
dan pengalamanku untuk membuatnya menyerah, akhirnya setelah lima menit
berusaha, kulihat sebuah kepasrahan muncul dari sorot matanya, mata itu pelan
menyayu dan akhirnya terpejam, sementara bibirnya terbuka mengeluarkan desah
nikmat yang sejak tadi ditahannya. “Ooooookkkkkhhhhh…” lalu pantatnya mulai
bergoyang melayani pompaanku, mulanya pelan tapi makin lama makin cepat.
Kurang dari dua menit sejak dia merespon, tubuh Lena
tiba-tiba mengejang. ”Aakhhh… Donniiii… okhh…” erangnya sambil merangkul
tubuhku erat-erat, aku tahu Lena sudah
mencapai orgasme. Kubiarkan sejenak, setelah terasa tubuhnya melemas, segera
kupompa lagi.
Luar biasa, kurang dari semenit kemudian, pantatnya mulai bergoyang
lagi, “Ssssstttt… shhh…” desisnya bagai orang yang kepedasan.
“Nikmat, sayang?” kataku sambil
mencium bibirnya sekilas, matanya yang sejak tadi terpejam kini terbuka, mata
kami bertemu pandang dan perlahan matanya mengejap sekali sambil bibirnya
menyunggingkan senyum, dan mata itu kembali tertutup dengan muka semakin
memerah. Aku tahu Lena telah mengiyakan pertanyaanku. Dan aku melanjutkan
pompaanku.
Lena kembali mencapai orgasmenya
tidak lama kemudian, kali ini dia menjerit kecil sambil menggigit bahuku saat
tubuhnya mengejang. Aku yang ingin membuktikan penguasaanku terhadap Lena
berbisik padanya setelah tubuhnya kembali melemas. “Kini kamu yang diatas
menunggangi aku ya?” kataku sambil membalikan tubuh kami. Sejenak kemaluan kami
terpisah.
Lena berpindah posisi dan
mengangkangiku setelah sebelumnya dia meraih tissue dan membersihkan vaginanya
yang becek. Tak lama kemudia dia menunggangiku, dengan posisi ini, Lena lah
yang banyak bergerak dan memegang kendali persetubuhan. Hanya terkadang aku
menaikkan pantatku menyongsong pantatnya yang turun sehingga batang kemaluanku
amblas makin dalam di lubang vaginanya, sedangkan kedua tanganku aktif
meremas-remas payudaranya.
Lena benar-benar bagaikan orang
yang kesetanan memacu tubuhku, keringatnya menganak sungai dan menetes di tubuhku,
kadang badannya ditengkurapkan menindih badanku, kadang dia duduk tegak. Dan
yang paling menyenangkan adalah saat dia menurunkan pantatnya sambil melakukan
gerakan memutar, serasa batang penisku dipilin-pilin oleh dinding lubang
vaginanya, kurasakan rasa geli mulai timbul dibatang penisku.
“Len, aku sebentar lagi mau
muncrat nih.” kataku pada Lena.
“A-aku juga mau sebentar lagi,
barengan aja.” katanya disela dengus nafasnya.
Kucoba bertahan, tapi saat Lena
semakin tidak terkendali, akhirnya aku muncrat juga. “Ughhh… Lena…” kataku sambil
menahan pantatnya agar rapat dengan selangkanganku dan, crett… crett… air maniku
menyembur deras.
Pada saat yang bersamaan,
kulihat Lena menengadahkan wajahnya memandang langit-langit kamar, tubuhnya
mengejang. “Oouhggg… akkhhh…” erangnya dengan keras. Rupanya kami mencapai
puncak kenikmatan bersetubuh secara bersamaan.
Sejenak kami terdiam dalam
posisi itu, lalu tubuh Lena yang melemas ambruk menimpa tubuhku, kupeluk
tubuhnya erat-erat sambil meresapi sisa-sisa kenikmatan yang baru saja kami
raih.
Hampir seperempat jam kami
berdiam diri dengan posisi seperti itu, batang penisku yang sudah mengerut
akhirnya lepas dari lubang vaginanya. “Kamu bohong kan dengan penyakitmu?”
tuding Lena dengan suara lirih sambil masih tetap menindihku.
Aku tidak menjawab, sementara
Lena melanjutkan kata-katanya. “Tapi aku tidak marah kepadamu, kamu baru saja
memberi pengalaman terindah dan ternikmat selama hidupku. Abang yang menjadi
suamiku belum pernah mampu melakukannya seperti ini, paling skornya hanya 1-1,
bahkan kadang aku tidak mendapat orgasme saat besetubuh dengannya. Tapi kini
skornya 3-1, suatu hal yang tidak pernah kuimpikan, tapi kini jadi kenyataan.”
katanya masih dengan suara lirih sambil menggulingkan badannya hingga kini kami
berbaring berdampingan.
Kubalikan badanku hingga kini
aku menghadap padanya yang masih tetap berbaring, pelan kucium bibirnya, dan
kami berpagutan erat. “Syukurlah kalau kamu tidak marah, habis kamu sih
merangsangku, jadi terpaksa aku melakukannya.” kataku sambil mengelus-elus pinggangnya.
“Len, kamu masih mampu?” tanyaku kemudian.
Lena memandangku dengan
pandangan bertanya, kupegang tangannya dan kubimbing ke penisku. “Aww… kamu
sudah berdiri lagi?” tanyanya dengan takjub. “Se-sebentar, beri aku waktu untuk
memulihkan kondisiku barang seperempat jam, lalu kita lakukan lagi.” katanya
dengan muka memerah saat tanganku mulai mengelus-elus belahan vaginanya.
Dan kami kembali bersetubuh
lagi, puncak demi puncak kenikmatan kupersembahkan pada Lena, hari itu aku tiga
kali memuncratkan airmaniku, sementara Lena tidak kurang dari sembilan kali
meraih orgasmenya.
Sejak saat itu sampai Lena
kembali kepada suaminya, aku selalu melayani dua orang perempuan dalam sehari.
Kenikmatan birahi yang kami reguk seakan akan tidak ada puasnya. Menjelang
kepulangannya, Lena sempat bertanya padaklu dengan pandangan menyelidik. “Doni,
sebenarnya Ninda anak mama dengan siapa? Aku telah lama memikirkannya,
laki-laki seperti kamu berkumpul berdua dengan mama, rasanya tidak mungkin
tidak terjadi sesuatu. Ninda bukankah itu kependekan namamu dan nama mama? Benar
bukan Ninda adalah anak mama dari kamu?” tanyanya.
Aku tidak menjawab
pertanyaannya, aku hanya tersenyum sambil mencium sekilas bibirnya. Dan aku
hanya bisa nyengir saat pamit Lena merangkul aku dan ibuku, sehingga kami
bertiga saling berangkulan erat, dan Lena berkata padaku dengan didengar ibuku,
“Jaga istrimu baik-baik yah… adikku yang nakal!” katanya sambil mencium pipiku,
lalu pada ibuku dia berkata “Tolong jaga satu-satunya adik laki-lakiku ya, iparku
yang cantik!” katanya sambil mencium pipi ibuku.
Lalu sambil berbalik dia berkata,
“Terima kasih kalian telah memberikan anak kalian padaku, sehingga suamiku
menjadi sangat bahagia. Aku janji akan merawatnya seperti aku merawat anak
kandungku sendiri.” katanya sambil mengedipkan sebelah matanya pada kami, aku
dan ibuku. Dan tanpa memberi kesempatan lagi, Lena segera melangkah keluar.
“Da-darimana Lena tahu hubungan
kita?” tanya ibuku dengan muka bingung meskipun matanya masih menatap pintu
yang barusan digunakan Lena.
“Sudahlah, Lin, tak usah kita
pikirkan. Yang penting Lena tidak marah, bahkan dari kata-katanya, tampaknya
dia justru merestui hubungan kita, dan yang lebih penting lagi, kini kita
tinggal berdua sehingga kita bebas seperti semula melakukan apa saja.” kataku
sambil membopong tubuh ibuku dan membawanya ke kamar tidurnya yang sebenarnya
merupakan kamar tidur kami.
“Ughh… dasar kamu yang tidak ada
puasnya.” kata ibuku sambil menggigit pelan telingaku, “Cepat kamu setubuhi aku
dan puaskan aku berkali-kali, anak kurang ajar yang doyan menyetubuhi ibunya
sendiri.” bisiknya lagi di telingaku.
***
Waktu berjalan dengan cepat, Sepuluh tahun sejak ibuku melahirkan
anakku, kudengar Lena bercerai dengan
suaminya, dan setahun kemudian dia menikah lagi dengan seorang pria yang
sepuluh tahun lebih muda dari usianya. Aku sendiri tidak pernah menikah secara
resmi, buat apa, toh ada ibuku yang sekaligus juga menjadi istriku.
Tapi empat tahun kemudian, atau lima
belas tahun sejak melahirkan Ninda, ibuku meninggal dalam kecelakaan jalan
raya, saat dia baru keluar dari sebuah mall. Sejak saat itu aku hidup sendiri
dan menyepi.
Tapi itu tidak lama, lima bulan setelah ibuku meninggal, aku mendapat
telephone dari Lena, dia bertanya maukah aku merawat Ninda, karena suaminya
yang sekarang tampaknya menaksir Ninda, sementara sikap Ninda sendiri terlalu
gampangan. Karenanya Lena khawatir kalau suaminya menjalin hubungan gelap dengan
Ninda.
“Dia membutuhkan figur yang kuat
dan bisa mendidiknya, suatu hal yang tidak sanggup kuberikan” katanya padaku.
Aku segera menyetujuinya untuk
menerima Ninda di rumahku, karena sebenarnyalah dia adalah putriku
satu-satunya. Tanpa sadar bahwa aku telah membuka babak baru dalam kehidupan
incest seksualku.
0 komentar:
Posting Komentar