Rabu, 19 Februari 2014

SDSD

Selama ini aku melihat cewek hanya dari sosok luarnya. Setelah aku tinggal bersama 8 cewek plus satu janda pemilik kost, aku baru menyadari bahwa sosok luar tidak bisa memberi gambaran sepenuhnya mengenai siapa dia sesungguhnya. Pengalaman mengajarkan cewek yang kelihatannya alim, ternyata di balik itu dia ganas di tempat tidur. Perempuan yang sok gengsi dan sangat jaim, di balik itu dia sangat bernafsu. Ada pula yang kulihat mesra banget sama cowoknya dan jauh dari kesan bisa diselingkuhi, ternyata juga suka selingkuh. Kesimpulanku, jangan mudah kagum melihat penampilan seorang wanita betapa cantik dan anggunnya dia.

Mbak Ratih yang semakin akrab denganku kadang-kadang membuatku malu. Dia bisa tiba-tiba duduk di pangkuanku di depan cewek-cewek yang lain. Dia memang paling sering minta diservice. Selalu saja ada alasan agar bisa menyeretku ke kamarnya. Kalau sudah gitu aku tak kuasa menolak. Pada awalnya sih dia minta dipijat, tetapi akhirnya minta ditiban juga.

Satu kali Mbak Ratih menarikku masuk ke kamarnya. Kami duduk di tempat tidur. “Jay, aku punya temen, aku kasihan sekali melihat keadaannya. Umurnya seumuranku, dia pengusaha. Dia sering mengeluh kepalanya pusing sebelah. Kayaknya dia sudah berobat kemana-mana, tapi penyakitnya nggak bisa ilang,” kata Mbak Ratih.

Dia bercerita banyak mengenai temannya itu dan buntutnya dia memintaku untuk mencoba melakukan terapi. “Aku sudah promosiin kamu lho, Jay, katanya dia mau mencoba, kamu mau ya bantu aku dan temenku itu?” pintanya.

Aku berkilah bahwa aku bukan ahli terapi, makanya kalau nanti aku terapi tidak berhasil, mbak Ratih bisa malu.
“Mbak jangan berpromosi kelewatan, mbak, nanti malah malu-maluin,” kataku.

“Udah lah, Jay, aku yakin kamu bisa lah, buktinya di rumah ini semua yang kamu terapi berhasil, kamu berbakat lho, dan kamu bisa kaya dengan hobimu ini,” kata Mbak Ratih sungguh-sungguh.

Setelah ngobrol soal temannya itu, kami keluar kamar. Hari itu adalah hari libur.
Para penghuni kost banyak yang pulang ke rumahnya masing-masing. Yang tinggal mungkin sekitar 2 atau 3 orang, aku kurang pasti.

Situasi agak gerah meenjelang jam 11 siang. Bu Rini menghampiri kami yang sedang duduk menonton TV. Bu Rini memanggilku. Aku beranjak mendekati dia. “Dik, bisa minta tolong nggak beliin makanan, si Ijah tadi pagi pulang kampung, Ibu nggak bisa masak, Atun juga nggak bisa, bisanya cuma bikin indomie,” kata Bu Rini sambil setengah berbisik.

Kami memang kost di situ berikut makan, jadi wajar jika Bu Rini bingung saat ditinggal pergi pembantunya yang biasa menyiapkan makanan. Aku menawarkan option untuk masak saja di rumah, biar aku yang kerjakan.

Bu Rini setengah tidak percaya memandangiku, “Kamu bisa masak juga to?” katanya.

“Ya sedikit-sedikit, bu.
Ayo kita ke dapur, ada bahan makanan apa saja, biar saya oleh jadi lauk hari ini,” kataku.

Kami lalu ke dapur. Kulihat ada sawi, daun bawang, bawang putih, kecap manis, kecap asin, cabe rawit dan telur. “Beres, bu, kita buat ifumi,” kataku.

Bu Rini setengah tidak percaya setengahnya lagi penasaran, ingin tahu apakah aku sungguh-sungguh bisa masak. Aku lalu minta Atun membeli tepung kanji ke warung dekat rumah.

Bu Rini jadi ikut heboh bertanya apa saja yang perlu disiapkan. Dia kuminta menggoreng mi instant hingga seperti kerupuk dan Atun kuminta menyiangi sayur-sayuran yang ada. Bu Rini teringat bahwa di kulkasnya masih ada ayam yang belum diolah. Dia lalu kuminta mengeluarkannya segera dan setelah berkurang dinginnya aku menyayat dagingnya berbentuk kubus.

Setelah semua bahan siap dan aku mencoba-coba mengingat apa lagi yang diperlukan.
Wajan kunaikkan ke atas kompor dengan api maksimal, lalu masuk minyak. Setelah agak panas masuklah bawang putih menyusul potongan ayam diceburkan. Goseng-goseng sedikit lalu kusiram dengan sedikit kecap asin cap ikan.
Bau harum segera menyebar. Dari ruang tengah ada yang berteriak, “Wah, baunya enak, masak apa, bu?”

Sayuran menyusul terjun lalu garam dan bubuk penyedap. Setelah sayuran agak layu air yang sebelumnya kucampur dengan tepung kanji kutuangkan sampai hampir menenggelamkan sayur dan bahan lain di wajan. Aduk sebentar lalu masuklah 3 butir telur ayam. Sambil aku mengaduk masakan, kuminta Atun mengiris cabe rawit bulat-bulat.

Kuah sudah siap, yang mirip cap cai, bedanya jika cap cai tidak pakai telur ini ada pelengkap telur ayam yang diaduk jadi satu di kuahnya. Mi instan yang sudah goreng bu Rini seperti kerupuk lalu ditempatkan di wadah. Mi kering itu lalu kusiramkan. Jadilah sekarang Ifu Mi dadakan.

“Baunya dari tadi udah bikin laper,“ kata Mbak Ratih. Menyusul Juli keluar dari sarangnya dan Niar rupanya dia milih tinggal di sini dari pada nginap di rumah saudaranya.

“Wah, enak banget nih, siapa yang masak, bu?” tanya Juli.

Bu Rini lalu menunjuk aku. “Tuh kokinya, pinter ya?” puji bu Rini.

Dalam sekejap ifu mi yang kubuat sudah ludes. “Gila ini orang, pinter mijet, pinter masak lagi,” kata Mbak Ratih

“Ah aku nggak percaya kalau dia pinter mijet, belum aku buktikan,” kata Niar.

Aku terkesiap. Niar yang jarang kumpul dan jarang bercanda dengan kami, hari itu dia berkomentar. Niar perantau dari Medan. Orang tuanya memang masih tinggal di sana.
Di Jakarta mulanya Niar sekolah sekretaris, setelah lulus dia bekerja di salah satu perusahaan operator telepon selular. Kelihatannya dia memiliki posisi yang lumayan penting, sehingga sering pulang agak malam.

Bu Rini lalu menyambung, “Memang harus dicoba, baru tau rasanya.” Bu Rini tersenyum penuh arti melirikku.

“Aku mau dong, sekarang ya?” kata Niar.

Aku menyarankan agar menunggu beberapa saat sampai makanan selesai dicerna. Kurang enak rasanya jika pijat setelah makan. Aku minta Niar menunggu sebentar.

“Badanku pegal kali, tidur terus-terusan rasanya juga cape, tolonglah aku ya tapi jangan kuat-kuat, aku tidak biasa dipijat sebetulnya tapi mendengar promosi kalian, aku jadi penasaran,” kata Niar.

Niar nggak sabaran dia minta segera aku pijat. Setelah kurasa perutku tidak sesak lagi setelah makan siang tadi akhirnya aku turuti kemauannya. Kami masuk ke kamarnya. Kamarnya ternyata ada AC dan televisi. Dia cukup berduit untuk menyewa kamar yang lux ini. Dinginnya AC dikamar Niar membuat badanku segar.

“Apanya kak yang mau dipijat?” kataku. Aku memanggil dia kakak, karena usia kami terpaut 5 tahun dan dia kelihatan sudah sangat dewasa. Mungkin di kantornya dia terbiasa dengan pembawaan berwibawa.

“Badanku pegal semua, macam mana caranya dipijat?” tanyanya.

Aku menerangkan biasanya yang dipijat mengenakan sarung dan tiduran. Aku menawarkan pijatan dimulai dari kaki lalu ke badan. Niar setuju dan dia lantas berganti mengenakan sarung. Dia mengenakan sarung seperti orang Jawa mengenakan kemben. Jadi payudaranya tertutup sampai ke batas lutut.

Niar mengambil posisi tengkurap. Aku memulai pijatan refleksi di kaki. Pijatan refleksiku sengaja tidak terlalu keras, agar dia merasa nyaman dulu.
Aku lemaskan semua syaraf di telapak kakinya lalu naik ke betis. Setelah semua otot terasa lemas aku mulai memijat pahanya, pantatnya dan badannya. Berhubung masih terhalang sarung aku hanya menekan-nekan tidak terlalu keras. Niar tertidur. Mungkin pengaruh dari makan siang tadi dan juga nikmatnya pijatanku.

Badan Niar cukup besar dan tinggi. Tingginya mungkin sekitar 170 dengan berat badan yang seimbang. Untuk ukuran cewek Indonesia ukuran tubuh Niar termasuk besar dan tinggi. Pahanya ternyata cukup tebal dan pantatnya juga menyembul. Sekitar 30 menit dia kubiarkan tertidur lelap sambil aku pijat kakinya dengan pijatan nyaman.

“Aduh enak kali pijatan kau, Jay, sampai tidur aku,“ katanya tiba-tiba.

“Itu cuma kusuk ecek-ecek, kak,” kataku menjelaskan bahwa pijatanku itu hanya pijatan sederhana saja.

“Jadi rupanya ada pula pijat yang betul-betul, macam mana pula itu, Jay?” katanya sambil tengkurap.

“Kalau kakak mau, aku bisa mendeteksi organ kakak yang mana yang kurang beres,” kataku.

“Ah, cobalah mainkan,” katanya.

Aku mulai menekan simpul-simpul syaraf di telapak kakinya. “Aduh mak, sakit kali itu.” katanya ketika simpul syaraf pencernaannya aku tekan. Aku jelaskan bahwa pencernaannya agak terganggu, dan ini bisa mengarah ke penyakit maag. Simpul lain yang aku tekan menunjukkan bahwa dia sering tidak teratur haidnya. Itu dia akui.

“Bisa tidak kau mainkan biar jadi teratur, biar aku tenang,” katanya nyerocos. Dari kata-katanya terkandung misteri yang seharusnya dia rahasiakan, tapi nyerocos secara tidak disadari. Kata-kata ’biar aku tenang’ aku anggap sebagai satu signal. Tapi aku cuek saja dan seolah-olah tidak mendengar perkataannya yang terakhir.

Aku jadi berniat menyelediki secara diam-diam dan langsung. Seperti sebelumnya, aku mulai memainkan simpul-simpul syaraf erotisnya. Aku mulai garap di bagian permukaan kulit yang terbuka, yaitu, di telapak kaki, di dekat mata kaki lalu di betis dan di belakang lutut. Bagian-bagian itu mendapat pijatan lebih banyak dari titik-titik syaraf lainnya.

“Aduh, enak kali pijatan kau, Jay, badanku jadi panas, bekeringat pula.” katanya.

Aku menyarankan kalau mau lebih enak lagi sebaiknya menggunakan krim agar bisa lebih licin diurut. Dia menyetujui dan memintaku mengambil krim body lotion di meja riasnya.

Aku mengulang lagi mengurut telapak kaki dan betis. Ulasan krim makin keatas menuju bagian pahanya yang tebal. Tanganku menyusur di bawah sarung sampai ke paha bagian atas. Di paha bagian dalam kusentuh titik-titik sensitifnya. Pinggulnya mulai bergerak. Ini sepertinya dia mulai terangsang.

Aku minta izin untuk mengurut punggungnya dengan krim. Dia setuju dan aku mulai mengoleskan krim dari bagian bahu turun sampai ke pinggang. Urutan punggung menimbulkan kenikmatan, karena bagian-bagian yang pegal jika diurut akan menimbulkan kenikmatan. Badannya meliuk-liuk menikmati urutanku yang sesekali juga menimbulkan rasa agak sakit. Ada bagian otot yang kaku jika diurut akan menimbulkan rasa agak sakit, tetapi hanya sebentar.

Dengan gerakan mengurut, sarungnya mulai terdorong ke bawah sampai ke batas pinggang. Niar masih menggunakan BH. Ini karena dia tidak terbiasa dipijat, jadi rasa malunya masih besar. Tanganku mulai merambah makin kebawah sampai ke bagian pantatnya yang montok.

Mulanya aku tekan dan kadang-kadang dengan gerakan memutar di pantatnya. Pijatan seperti itu biasanya akan menimbulkan rangsangan ke alat vitalnya. Dia pun berkomentar bahwa bagian itu enak sekali dipijat. Kuterangkan bahwa akibat terlalu lama duduk, maka bagian pantat ototnya agak kaku.
Aku kembali minta izin untuk mengurut bagian pantat agar otot-ototnya lemas. Dia hanya menjawab, “Mainkanlah.”

Sarungnya sudah tidak berfungsi menutupi tubuhnya, karena sudah berkumpul di pinggang. Body Niar sungguh luar biasa. Meski kulitnya tidak putih, tetapi dari ujung kaki sampai leher kulitnya mulus nyaris tanpa goresan.
Karena tubuhnya tinggi, maka bentuk tubuhnya jadi sangat ideal dengan pinggang mengecil dan pantat besar. Aku belum bisa memastikan payudaranya sebesar apa. Selama ini aku lengah menelaah dada Niar.

Tanganku mulai mengurut bagian pantatnya. Mulanya mengurut dari arah atas menyusup ke celana dalam. Selanjutnya mengurut dari bawah dengan mendorong-dorong daging bongkahan pantatnya.

Diakui ada bagian yang pegal di pantatnya yang rasanya nikmat jika diurut. Dia minta bagian itu berkali-kali diurut. Dorongan urut aku atur tidak selalu searah. Meskipun selalu mengarah ke atas, tetapi titik startnya berubah-ubah sampai ada yang dekat sekali dengan kemaluannya.

Entah dia sadar atau tidak, tetapi aku sudah berkali-kali menyentuh bagian luar belahan kemaluannya. Tanganku bisa merasakan karena bagian itu ditumbuhi-bulu-bulu. Meski kemaluannya sudah terjamah tetapi dia tidak protes, malah cenderung menikmati.

Aku berani menyentuh bagian itu karena yakin Niar sesungguhnya sudah terangsang. Terapi itu cukup lama sampai Niar kadang-kadang terlepas mendesis juga.

Setelah kurasa maksimal merangsang dengan pijatan dari belakang aku minta dia berbalik tidur telentang. Niar menurut saja, pasrah. Sarungnya dibiarkan berkumpul di pinggang.

Baru aku sadari bahwa payudara Niar ternyata cukup besar. Dia menggunakan BH dengan cup model setengah, sehingga gumpalan payudaranya menonjol seperti mau tumpah.

Aku mulai lagi mengurut bagian kaki. Terus sampai ke paha. Paha bagian dalam mendapat terapi yang istimewa. Aku ingin membuatnya gila dengan rangsangan yang kulakukan. Bukan hanya paha yang aku urut tetapi naik menyelusup di bawah celana dalamnya sampai ke bagian atas termasuk gundukan kemaluannya. Aku merasa Niar mencukur sebagian bulu kemaluannya, karena yang terasa berbulu hanya bagian tengah membujur ke atas. Tapi aku tidak berkomentar, karena aku berlagak pemijat prof jadi berperan seolah-olah tidak hirau dengan masalah kemaluan.

Niar kelojotan dengan urutan di sekitar kemaluannya. “Aduh, sedap kali, Jay, pandai kali kau mengurutnya, bisa mati dengan sedap aku kalau kau urut terus begitu, “ katanya sambil bergelinjang dan mulai agak mengerang meski dengan suara tertahan.

Pertahanan rasa malunya sudah jebol, dia tidak perduli lagi dengan tubuhnya yang nyaris telanjang. Kepalanya berkali-kali bergeleng seperti sedang disetubuhi.

Kurasa sudah cukup mengerjai bagian vitalnya. Aku berpindah ke bagian atas. Dimulai dari bahu lalu turun ke dada. “Aduh, enak, Jay. Aku baru percaya sekarang kalau kau pandai mengusuk,” katanya.

Jariku tertahan oleh ketatnya BH sehingga tidak bisa mengurut bagian samping.
Aku sarankan agar dia melonggarkan BHnya, agar kerjaku mengurut tidak terhalang. Dia patuh dan dengan meninggikan dadanya tangan kanannya meraih pengait BH dibelakang. Kaitan terlepas dan kedua payudaranya langsung kembali ke bentuk asalnya.

Buah dadanya yang tadi seolah berkumpul di tengah sehingga menimbulkan efek menyembul dan membentuk lipatan diantara kedua bongkahan, kini melebar sampai tumpah ke samping badannya. BHnya masih menutup putingnya.

Tanganku jadi lebih leluasa mengurut ke samping buah dadanya. Dia sudah tidak perduli lagi buah dadanya disentuh oleh laki-laki. Niar hanya menikmati rangsangan dari pijatanku.

Aku kembali minta izin untuk memijat payudaranya. Seperti wanita-wanita sebelum ini, aku selalu berkilah bahwa pijatan payudara itu selain untuk merangsang otot mengencangkan payudara, juga untuk melancarkan peredaran darah di sekitarnya. Niar percaya dan mengangguk saja. Dia semakin tidak peduli ketika BHnya kusibak sehingga terpampanglah kedua putingnya.

Kedua putingnya tidak terlalu besar berwarna coklat tua. Aku mulai memijat bagian payudaranya sampai menyentuh kedua putingnya. Setiap kali tersentuh putingnya, dia mendesis nikmat.

Gerakan pijatku berlangsung seperti gaya profesional yang dilakukan seolah-olah tanpa nafsu. Padahal di bawah sana sudah ada pemberontakan. Aku melakukan gerakan meremas dari samping kiri dan kanan mengurut ke atas sampai jempol dan jari telunjukku bisa meraih kedua putingnya. Putting itu lalu kupelintir lirih dan ditekan dengan gerakan memutar.

Gerakan memutar dengan tekanan lembut di kedua putingnya merupakan terapi berikutnya. Aku melakukan ini sambil menjelaskan bahwa efek dari pijatan ini adalah untuk merangsang syaraf di sekitar payudara agar berkerja normal. Dengan demikian aliran darah juga akan lancar.

Sambil melakukan itu aku menekan-nekan kedua payudaranya dengan kedua telapak tanganku. Alasanku untuk mencari tahu apakah ada benjolan yang mencurigakan. yang bisa menimbulkan kanker.

Niar entah percaya entah tidak, tetapi dia mendesis sambil mengeleng-gelengkan kepalanya. “Aduh, mau mati aku rasanya,” katanya tiba-tiba.

“Kenapa, kak?” tanyaku pura-pura terkejut lalu berhenti memijat.

“Paten kali pijatan kau ini, aduh mak,” katanya melenguh.

Kutinggalkan bagian payudara, aku turun ke bagian perut. Bagian perut karena merupakan bagian yang rawan bagi wanita, aku tidak berani gegabah.
Hanya pijatan halus dan mengurut menaikkan bagian dalam perut yang agak turun.

“Kakak ini beser ya?” kataku.

“Apa itu beser?” tanyanya.

Aku terangkan bahwa beser itu adalah sering kencing, tiap sebentar kebelet pipis melulu. Itu dia benarkan. Aku katakan bahwa itu adalah akibat kandung kencingnya tertekan jadi kapasitasnya tidak bisa menampung air seni secara maksimal. Aku berusaha memperbaiki posisinya.

“Kak, bagian bawahnya mau dipijat jugakah?” tanyaku.

“Apa sebabnya perlu dipijat?” katanya dengan logat Medan.

Di situ ada urat dan syaraf yang kalau kejepit akibatnya wanita bisa mandul. Ini aku ngarang aja. Padahal dibalik itu aku ingin megang kemaluannya. Yah berdalih lah biar kelihatannya tidak memalukan.

“Boleh-bolehlah,” katanya.

Tanganku mulai menelusur ke bagian bawah mengurut ke bawah celdam. Aku bergerak dari bagian pinggir lalu ke arah tengah. Mulanya celdamnya masih menutupi segitiga kemaluannya. Namun karena gerakan tanganku celana itu melorot juga ke bawah, sehingga terpampanglah bukit pubis dengan jembut rapi tercukur.

Urutan tanganku tidak sampai menyelusup ke belahan kemaluannya, tetapi kedua pinggirnya sudah berkali-kali tertekan kedua jariku. Niar sudah tidak sungkan-sungkan lagi melenguh dan mendesis. Tampaknya dia sudah tidak peduli lagi dengan harus menahan malu karena terangsang. Telapak tanganku menekan bagian luar kenaluannya dan melakukan pijatan dengan mengurut dari bagian pantat sampai ke atas. Jari tengahku walau tidak sampai terpelsest masuk ke belahan kemaluannya tetapi bisa merasakan ada cairan diantara belahan itu.

“Aduh, Jay, lama-lama bisa aku terkam kau, Jay,”

“Kenapa, Kak?“ kataku belagak bodoh.

“Kau bikin aku gila,” katanya.

“Kakak baru gila sebentar sudah sombong. Aku dari dulu gila tak pernah sombong,” kataku mencandai dia yang sedang terombang-ambing dengan nafsunya.

Niar mungkin tidak bisa menyimak kata-kataku lagi, karena dia heboh dengan erangan dan desisannya. Aku makin dalam menggarap kemaluannya. Jari tengahku perlahan-lahan terbenamkan ke belahan kemalauannya dengan gerakan menyapu dari bawah ke atas. Gerakan ini berkali-kali sampai aku bisa merasakan clitorisnya menegang.

Setelah rasanya dia hampir memuncak.
Aku berhenti melakukan pijatan dan aku katakan “Sudah selesai, kak.” Aku duduk disamping badannya yang terbujur telanjang.

“Aduh, kau menyiksaku, bisa aku bunuh kau nanti,” katanya.

“Semua sudah aku pijat, kak, apalagi kak?” kataku lugu.

Ditariknya badanku sehingga aku menindih badannya.
Niar lalu mencium wajahku lalu bibirku. Aku terus terang belum siap menerima serangan, sehinggga ketika mulutku dibekap oleh mulutnya aku megap-megap. Niar buas sekali menyerangku. Dia gulingkan badanku sehingga aku ditindihnya.

“Kak, sabar, kak. Kakak tenang dulu, “ kataku membalikkan badannya.

“Ah, kau bikin aku gila,” katanya.

“Masih ada lagi terapi, kak, tapi ini terapi khusus, hanya untuk yang sangat membutuhkan,” kataku.

“Apa pula itu?” katanya tidak sabar.

“Sekarang kakak tenang dulu biar aku bantu agak rileks. Kakak lemaskan badan kakak ya,” kataku.

Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Niar menuruti semua perintahku. Sarungnya kulepas, BHnya kusingkirkan. Bantal kuselipkan di bawah pantatnya. Lalu kedua kakinya kutekuk. Aku merangkak diantara kedua kakinya lalu dengan bersetumpu siku aku mendekatkan mulut ke kemaluan Niar.

Sebagai penjilat yang sudah banyak mendapat penghargaan, aku memulai usapan lidahku menyapu bibir luar kemaluan Niar. Selanjutnya dengan bantuan kedua tanganku aku membelah kemaluannya sehingga tepampanglah kemaluan dengan warna merah ditengahnya dan bibir luar yang berwarna agak ungu. Lidahku mulai menyapu sekitar lubang vagina dari arah bawah sampai ke atas.

Usapan lidahku membuat Niar menggelinjang. Setelah kurasa cukup ujung lidah mulai mengarah ke puncak pertemuan bibir dalam di bagian atas.
Di lipatan atas itu ada sebentuk bintil mencuat, berwarna merah mengkilat. Yang tertutup lipatan bibir dalam. Dengan bantuan kedua tanganku ku kuak lipatan yang menghalangi bintil itu sehingga terekspos bebas. Setelah kupastikan clitoris Niar kutemukan aku membekapkan mulut ke bagian atas kemaluan Niar. Lidahku langsung berputar mengitari sekitar clitoris.

Mendapat terapi lidah ini, Niar menggelinjang.
Lidahku bergerak kanan-kiri dibagian atas. Pada awalnya aku menjaga agar bagian lidah ini tidak sampai menyentuh ujung clitorisnya. Kemudian secara bertahap dan pelan bagian bawah lidahku mulai menyentuh clitoris. Aku merasa gerakan ini menimbulkan dampak clitorisnya makin menegang. Aku mengubah gerakan lidah dari bawah keatas menyapu seluruh bagian clitoris.

Setiap kali lidahku menyentuh ujung clitoris, Niar menggelinjang. Bagian ujung clitoris pada awal rangsangan mungkin masih dirasa terlalu geli dan ngilu jika disentuh langsung. Oleh karena itu aku belum melakukan pemusatan jilatan di ujung clitorisnya.

Aku mengubah sapuan lidah ke bagian bawah letak clitorisnya. Ujung lidah kuusahakan mengeras sehingga bisa mendeteksi pangkal clitoris. Bagian pangkal itulah yang kemudian menjadi sasaran jilatan maut.

Niar sudah mendesis, melenguh nggak karuan, bahkan kadang-kadang berbicara, tapi aku tidak jelas mendengar dan pastinya juga tidak bisa menjawab. Aku mencoba menjilat ujung clitorisnya untuk memastikan apakah rasa geli dan ngilunya sudah berkurang. Memang rupanya rasa geli berubah jadi rasa nikmat. Niar makin liar ketika jilatan lidahku fokus ke ujung ke ujung clitorisnya dengan gerakan kiri–kanan.

Niar makin gila dan tangannya mulai ikut mengatur irama gerakan lidahku sambil meremas rambutku.
Sesaat kemudian tangannya tidak bergerak, Dia diam seperti sedang berkosentrasi. Tidak lama kemudian dia mengerang panjang sambil menekan kepalaku ke kemaluannya dan kedua pahanya menjepit.

Lidahku kutekan ke clitorisnya dan diam tanpa gerakan. Aku hanya merasakan denyutan pada clitorisnya seperti denyutan penis ketika mencapai orgasme. Niar memang mencapai orgasme. Setelah denyutan orgasme mereda, kulepas mulutku dari kemaluannya dan aku duduk diantara kedua pahanya dengan posisi bersimpuh.

Jari tengah tangan kanan mendapat tugas berikutnya. Dengan posisi telapak tangan menghadap keatas, jari tengah perlahan-lahan menerobos ke dalam. Tujuannya adalah mencari G-spot. Dengan rabaan halus aku segera menemukan G-spot. Bagian itu sudah seperti membengkak bentuknya kira-kira seperti bulatan uang logam 100 perak, tapi lebih kecil sedikit. Jaringan lunak itu perlahan-lahan aku usap dengan gerakan halus sekali.

Awalnya Niar tidak menampakkan reaksi, tetapi setelah 5 atau 10 kali usapan dia mulai menggelinjang dan mendesis. Sambil terus mengusap G-spotnya untuk mempercepat orgasmenya, jempol kiriku ditugaskan mengusap clitoris yang sudah kembali menegang. Niar mengerang-erang lalu berdesis lalu mengerang lagi. Dia tidak karuan bingung merasakan kehebatan rangsangan yang menerbangkan dirinya.
Dalam waktu tidak terlalu lama kedua tangan Niar meremas sprei dan menariknya sambil menggigit bibir bawahnya dia mengerang panjang sekali. Pada saat itu, lalu ku kuak belahan vaginanya selebar mungkin. Dari lubang kcingnya yang berada dibawah clitorisnya menyemprotlah cairan tapi tidak terlalu banyak. Cairan itu agak cair, tetapi lebih kental dari urine. Mungkin sekitar 5 kali, pancaran itu menyembur lalu hanya meleleh.

Niar tergeletak lemah. “Aduh gila, aku belum pernah mencapai nikmat kayak gini, pandai kali kau memainkan perempuan, Jay, “ kata Niar dengan suara lemah. “Sini, Jay, aku ingin memeluk kau,” katanya sambil menarik tanganku dan aku dipeluknya erat sekali.

Kulemaskan badanku dan kuikuti kemauannya. Terasa kemaluannya ditekankannya ke pahaku lekat sekali lalu digerak-gerakkannya. Aku masih berpakaian lengkap pada saat itu.

“Lemas kali badanku, Jay, aku rasa ngantuk kali,” katanya.

Dia lalu meregangkan pelukannya dan aku pun bangkit. Badannya telanjang bulat telentang. Niar sudah mulai mendengkur. Kasihan dia maka kucari selimut dan kututupi tubuhnya. Niar tertidur pulas dengan air muka berseri-seri.
***
Aku tidak menyangka ketika awal aku indekos di rumah ini bakal mengalami kejadian yang mencengangkan. Jika kuceritakan kepada siapa pun pasti, pasti tidak akan ada yang percaya. Tapi meskipun keinginan bercerita pengalaman ini sangat menggelitik hatiku, aku tetap berusaha menyimpan rapat-rapat rahasia ini.

Aku tidak pernah menghayalkan apalagi berencana untuk mencicipi para penghuni kos ini. Tapi sejarah sudah menetapkan alur hidupku, aku hanya mengalir saja kemana arah yang sebaiknya aku tuju. Sulit rasanya mempercayai, bahwa 8 cewek penghuni kos ini semua sudah pernah aku tiduri. Bukan itu saja Ibu kosnya yang janda dan tampilan berwibawa dan sangat menjaga kesopanan ternyata paling rajin mengundangku ke kamarnya.

Aku menjadi orang yang sangat penting di rumah itu. Kemampuanku terapi pijat refleksi, bisa memasak dan menjadi tong penampung curhat banyak menjadi tumpuan penghuni kos.

Semua hobiku itu tak kusangka memberi penghasilan yang lumayan. Aku tidak lagi perlu membayar uang kos. Aku tidak tahu bagaimana duduk perkara sebenarnya, apakah ibu kos yang menolak pembayaran uang kos itu karena memang ia tidak mau dibayar, atau karena sewa kostku ada yang membayari.
Setiap kali aku mau bayar, si Ibu kost selalu bilang, “Nggak usah, dik, semua membutuhkan adik di sini,”

Aku selalu menolak jika diberi uang setelah aku memijat cewek-cewek penghuni kost ini.
Aku memang hanya ingin membantu, toh aku juga mendapat kenikmatan dari mereka.

Pernah satu kali, Mbak Ratih menanyakan no rekening bankku, katanya dia tidak punya tabungan di bank itu dan ada temannya mau transfer uang untuk dia melalui rekening bankku karena kebetulan bank temennya sama dengan bank tempatku menabung. Meski kemudian uang yang ditransfer itu sudah kuberikan kepada Mbak Ratih, tetapi di hari-hari berikutnya tabunganku terus bertambah. Nilai yang masuk setiap bulan bukan kecil. Menurut ukuranku yang masih kuliah, jumlah uang itu sangat besar.

Mungkin setelah aku lulus kuliah, aku nggak bakal bisa menerima gaji sebesar uang yang masuk setiap bulan ke rekeningku. Aku tak kuasa membendung masuknya uang ke rekeningku itu, aku pun tak cukup kuat punya niat untuk melakukan investigasi. Aku jadi teringat pepatah orang Batak . “Sakit meminta tak diberi, tetapi lebih sakit memberi tapi tak diterima.”

Dari pada aku sok nggak butuh dan bisa menyakitkan hati orang, lebih baik aku nikmati saja yang terjadi pada hidupku.
Manis atau pahit kalau kita enjoy, pasti nikmat-nikmat aja.

Bukan hanya tabungan yang terus membengkak, rokok pun sekarang aku tidak pernah beli. Kadang-kadang ada saja yang memberiku oleh-oleh. Bentuknya bermacam-macam, ada T-shirt, ada celana jeans, sepatu. Ah, banyaklah. Yang bikin aku nggak enak hati Ibu kos memaksa agar kamarku dipasang AC.

Cewek-cewek di sini, jika di luar mereka semua punya pacar, kecuali ibu kost. Soal dia, aku kurang tahu persis. Tetapi ketika mereka di rumah ini semua merapat mendekatiku.

Kami bergaul akrab satu sama lain, semua dekat dan semua saling mengerti. Tidak ada rasa cemburu diantara mereka. Misalnya aku sedang masuk ke kamar A, yang lainnya bisa menerima. Tidak ada jadwal khusus yang diatur, kapan aku ke kamar A, kapan ke kamar B dan seterusnya. Semuanya berjalan secara alamiah, siapa yang paling membutuhkan, dialah yang menggendongku. Kalau aku periksa catatan rahasiaku, memang jadwal dateku dengan mereka tidak sama, ada yang dalam sebulan sampai 8 kali, tetapi ada yang cuma sekali. Namun itupun bisa berubah di bulan lainnya, yang bulan lalu dia mendapat jatah 8 kali, bulan berikutnya ternyata bisa cuma sekali. Aneh juga ya.

Sebelumnya aku mau bercerita bagaimana akhirnya Juli bisa kugarap. Bagi pembaca yang mengikuti cerita ini sejak awal mudah-mudahan masih mengingat siapa-siapa saja teman satu kostku.

Aku bisa menggarap Juli adalah gara-gara Kristin sahabat dekatnya. Mereka sama-sama berdarah Cina. Mereka bukan sekampung, sebab Juli adalah Cina Padang. Mungkin karena mereka satu angkatan waktu sekolah, sehingga karena itu jadi akrab.

Kristin suatu kali manarik tanganku untuk berpisah dengan teman-teman lain. Dia ingin menyampaikan sesuatu. “Eh, ini rahasia, tapi gue harus sampaikan ke lu, karena mungkin lu bisa bantu, “ kata Kristin membuka pembicaraan.

“Gini, Jay, aku kasihan ama Juli, dia itu ternyata nafsu sexnya kuat, tapi sangat pemalu. Jadi gini, Jay, dia sering bermasturbasi karena sulit mengendalikan nafsunya.“ kata Kristin.

Aku diam saja tidak memberi reaksi dan menanya apa pun. Aku memberi kesempatan kepada Kristin untuk menuntaskan ceritanya. Sebab aku menduga, Kristin sudah bersusah payah sebelum ini menyusun kata-kata untuk mengungkapkan ini kepadaku.

“Dia sampai sering nangis sendiri karena tidak tahan menahan gejolak nafsunya. Padahal dia kan belum pernah pacaran, jadi kayak nggak ada penyaluran, gitulah, Jay,” katanya.

“Lho, cowok yang suka ngantar dia itu apa bukan pacarnya?” tanyaku.

“Cowok yang mana? Itu kan supir kantornya, ngawur aja lu,” jawab Kristin.

“Jadi aku harus menolong bagaimana, masak mendadak tiba-tiba aku ajak, Jul maen yuk,” tanyaku sambil bercanda.

“Lu gila, orangnya susah diajak serius nih, becanda melulu. Udahlah, pokoknya lu harus cari jalan bagaimana caranya supaya dia juga merasa tertolong dan tidak sungkan,” kata Kristin.

Juli menurutku tidak jelek, tetapi tubuhnya yang tambun itu membuatnya kurang diminati cowok. Andai saja beratnya bisa dikurangi 20 kg saja, Juli bakal menjadi cewek idaman.

Setelah pembicaraan rahasia itu, aku segera mencari bahan bacaan yang berkaitan dengan pengurangan berat tubuh melalui pijat refleksi. Penelusuran itu membawaku sampai kepada hipnotherapy. Melalui cara ini juga bisa membantu menguruskan badan.

Ilmu ini kurasa penting. Aku kemudian mengikuti kursus hipnotherapy. Masalah biaya aku tidak pusing, karena tabunganku memadai. Namun aku merahasiakan bahwa aku mulai mendalami hipnotherapy. Jadi tak satu pun tahu aku mempunyai aktifitas baru mendalami hipnotis.

Setelah merasa aku mulai bisa menguasainya meskipun belum canggih benar, aku mengontak Kristin. “Bagaimana kalau aku mencoba menterapi penurunan berat badan. Ini ilmu baru yang belum pernah aku praktekkan. Tapi kalau Juli tidak keberatan dan mau jadi kelinci percobaan aku akan coba ke dia,” kataku.

“Nah, ini cocok,“ kata Kristin bersemangat. “Eh, tapi soal nafsunya itu gimana, apa bisa diterapi juga?” katanya kemudian penuh ragu.

“Ah, itu sih gak perlu diterapi, biar aku saja yang nampung,” kataku sambil senyum-senyum.

“Ah, lu emang gila, apa nggak takut gempor, emang lu payah, becanda mulu, sekali-kali serius napa?” kata Kristin.

Kristin tidak sabar ingin segera menyampaikan kabar baik itu kepada Juli.
Dia bergegas ke kamar Juli. Tidak kusadari berapa lama mereka berdua berunding. Yang jelas malam itu tinggal aku sendiri yang berada di ruang tengah menonton pertandingan bola.

“Jay,” aku mendengar suaru lirih, ternyata asalnya dari Kristin. Dia mendekat dan berkata setengah berbisik, “Juli mau diterapi untuk kurus, kalau pun nggak berhasil nggak pa-pa. Dia siap jadi kelinci percobaan lu, “ kata Kristin. “Eh, tapi jangan disinggung-singgung soal nafsu sexnya ya, itu dia minta dirahasiakan sekali, awas lu,” tambahnya.

“Ok, bos, siap melaksanakan tugas,” jawabku sambil berdiri.

“Sekarang bisa?” tanya Kristin lagi.

“Siap,” kataku.

Diambilnya remote TV lalu dimatikan dan aku digelandang masuk ke kamar Juli. Di kamar itu Juli sedang bengong duduk di tempat tidur. “Apakah dia berharap juga bahwa malam ini aku memulai terapinya?” kataku bertanya dalam hati.

Aku duduk dikursi berhadapan dengan Juli. Aku katakan bahwa terapi menguruskan badan ini belum tentu berhasil. Soalnya aku belum pernah melakukakannya dan disamping itu harus ada kerjasama dengan yang diterapi. Juli mengangguk-angguk dan bisa memahami. Kristin yang duduk di samping Juli mendesak temannya agar menuruti apa yang kuminta, maksudnya menuruti apa yang kunasehati.

Juli mengaku beratnya 85 kg, tinggi 160 cm, umur 24 tahun. Idealnya dia harus menurunkan 25 sampai 30 kg. Ini bukan pekerjaan ringan pikirku. Namun kalau aku berhasil ini adalah investasi besar.

Aku meminta Juli terbuka denganku, maksudnya mengenai pola hidupnya dan pola makannya. Ini akan sangat membantu aku menemukan cara terbaik dan aman menurunkan berat badannya. Dia mengaku suka ngemil. Memang makannya tidak banyak. Porsinya sedikit, tetapi sulit menahan selera melihat jajanan.

Di samping itu, dia hobby makanan yang berlemak, bersantan dan minum manis serta kue coklat. Olahraga sama sekali tidak pernah, karena dia cepat capek dan nafasnya sesak. Dia mengaku mungkin dia punya penyakit asma.

“Okelah, coba saya chek up dulu,” kataku.

Aku memintanya tidur telentang. Juli mengenakan celana piyama. Seharusnya piyama longgar, tetapi di tubuh Juli jadi ketat, terutama di pahanya. Aku mulai menekan-nekan simpul syaraf di telapak kakinya.
Ketika simpul syaraf pencernaannya aku tekan, Juli menjerit. Pantaslah, dia harus sering makan. Sebab kalau tidak perutnya akan terasa perih. Aku jelaskan soal itu, dia membenarkan.
“Tuh kan gue bilang apa, Jay ini ngerti lho, udahlah lu percaya aja ama dia gak usah banyak bantah,” kata Kristin mencecar temannya. Juli yang dicecar begitu hanya meringis saja, sebab dia sedang menahan rasa sakit.
“Udah, gue tinggal, gue ngantuk, lu pokoknya bereslah ama Jay,” kata Kristin lalu beranjak dan meninggalkan kami berdua.

Aku mencoba menekan syaraf-syaraf yang bisa berakibat mengurangi selera makannya. Syaraf-syaraf itu jika ditekan kata Juli sakit sekali. Simpul syaraf seperti ini memang tidak bisa dilemaskan dalam satu kali terapi. Juli mau mengerti jika terapi ini harus berulang-ulang.

Aku mencoba menekan semua simpul syaraf yang memberi dampak menurunkan bobot itu. Semua titik tersebut jika ditekan sedikit saja, Juli sudah menjerit kesakitan. Hampir satu jam aku menelusuri semua syaraf langsing itu, sampai Juli badannya basah kuyup karena keringat akibat menahan sakit.

“Bagaimana, Jul, semua yang ditekan sakit, apa kamu kuat diteruskan?” tanyaku.

“Biarin deh aku tahan, yang penting aku bisa kurus, “ katanya bersemangat.

Aku lalu menyarankan agar dia berganti mengenakan daster saja, sebab semua bajunya sudah basah berkeringat. Tapi akan lebih baik kalau mengenakan sarung saja sebab selain tidak terlalu gerah, juga memudahkan aku menyentuh simpul-simpul syaraf.
Kali ini aku serius, bukan mau ngerjain Juli. Kasihan juga sih.

Juli menurut dia bangkit. Aku lalu menyarankan dia agar ke kamar mandi dulu untuk pipis. Lebih baik pipis sekarang daripada nanti ditengah-tengah terapi kebelet pipis. Aku juga ingin merokok dulu di luar sebentar. Juli setuju dan aku keluar lalu mengasapi ruangan. Setelah sebatang rokok putih habis tidak lama kemudian Juli memanggilku.

Juli mengenakan sarung yang diikatkan di dadanya. Aku terperangah juga, badannya putih sekali dan semuanya serba besar. Payudaranya besar dan pantatnya juga besar. Setelah menyiapkan semua perlengkapan termasuk body lotion aku memulai terapi dengan menyuruhnya tidur telungkup.
Aku kembali mengulang menekan simpul-simpul syaraf tadi. Namun sekarang dengan bantuan cream aku jadi lebih lancar mengurut bagian-bagian simpul syaraf di seputar kakinya. Menurut Juli sekarang tidak lagi merasa terlalu sakit seperti pertama tadi. Aku jelaskan bahwa jika diurut, maka penekanan simpul syaraf tidak terfokus pada satu titik, jadi yang dirasa adalah sakitnya tidak seberapa.

Dari tidak ada niat sampai muncul sifat iseng dan ingin tahu. Dua hal terakhir ini adalah kelemahanku, terutama suka iseng. Jadinya seperti biasa simpul syaraf erotis aku senggol-senggol juga. Rupanya terhadap Juli simpul itu cepat sekali menimbulkan reaksi. Dia jadi gelisah.

Kubiarkan dia tersiksa dengan kegelisahannya. Paling tidak membantu aku untuk menyingkap sarungnya agar aku bisa meraih bagian-bagian yang tersembunyi. Dia pasrah saja ketika sarungnya aku singkap keatas. Aku memerlukannya karena akan mencapai bagian paha. Luar biasa besar pahanya dan putih bersih. Sambil mengurut aku mengagumi kebesaran itu.
Urut dan penekanan simpul syaraf aku atur selang-seling. Jika dia kesakitan berikutnya aku urut bagian yang nyaman dan menggairahkan.
Saat dia mulai syur aku tekan lagi bagian yang sakit. Juli kemudian mengaku bingung merasakan pijatanku.
“Sebentar enak, sebentar sakit, bisa nggak dipijet biar enak terus?“ kata Juli.

“Nanti lama-lama yang sakit jadi terasa enak, tenang aja, tapi sorry nih aku terpaksa menyingkap sarung sampai begini, kamu keberatan apa enggak?”

Dia langsung menyambut cepat bahwa dia tidak keberatan yang penting bagi dia terapiku lekas berhasil.”Ibaratnya aku harus telanjang pun aku turuti, Jay,” kata Juli.

Aku langsung menjawab, “Ya kalau nggak keberatan telanjang aja, aku jadi lebih gampang, nggak ngraba-raba di dalam sarung,“ kataku dengan nada yang kutenang-tenangkan.

“Dibuka semuanya Jay?” tanyanya minta konfirmasi.

“Kalau nggak keberatan, terserahlah,”

“Ya udah, demi kesehatan dan menghargai pertolongan kamu aku ikut saja,” katanya sambil berdiri dan meloloskan sarung, lalu BH dan celana dalamnya dengan posisi membelakangiku. “Tapi jangan diketawain ya, badanku gemuk,”

“Dari dulu udah tau kamu gemuk, masak sekarang mau ngetawain, udahlah kamu anggap aja aku nggak ada dan yang mijet ini mesin,” kataku berusaha membangkitkan percaya dirinya.

Namun di dalam hatiku terkagum-kagum dengan gumpalan lemak yang begitu banyak di seluruh tubuhnya. Aku bertanya sendiri, apa bisa lemak-lemak itu nanti meleleh. Kalau bisa hebat juga aku.

“Aku belum pernah meniduri cewek gemuk, kira-kira rasanya bagaimana ya. Empuk kali. Ah jadi pengen nih,” kataku dalam hati.

Aku mulai menggarap lebih banyak simpul syaraf erotis dari pada syaraf yang melangsingkan. Toh dia juga sudah tersiksa kesakitan dari tadi, jadi perlu diberi terapi nikmat.

Memang benar kata Kristin, nafsunya mudah sekali dibangkitkan. Belum setengah perjalanan dia sudah mengaduh-aduh keenakan dan kegatelan. Aku jadi makin tergoda dengan rintihannya.
“Aaaaaduuuuh, Jaaayyy...” Ini bukan rintihan sakit, tapi nikmat. Bokongnya yang gempal mulai aku garap. Di situ banyak sekali syaraf-syaraf erotis berada. Lalu aku turun lagi menekan beberapa bagian di paha sebelah dalam dekat sekali dengan kemaluannya. Berhubung pahanya besar sekali aku minta dia merenggangkan kakinya. Kakinya sudah merenggang cukup jauh, tetapi tetap saja kedua belah pahanya masih rapat. Aku terpaksa menyelipkan tanganku untuk meraih titik yang perlu disentuh.

Karena begitu gempalnya aku kurang menyadari jika suatu saat tanganku sudah menyentuh bibir kemaluannya. Aku terkejut sendiri menyadari tanganku sudah mencapai bagian vital, padahal sesungguhnya aku belum mau sampai di situ.

Kuakhiri menyentuh daerah sensitif, berpindah ke pinggang lalu naik ke bahu dan tengkuk. Punggungnya ketika aku tekan terasa tebal sekali lemak di situ. Senang betul aku memainkan lemak-lemak di situ Setelah bahu kedua tanganku menyelusup ke ketiaknya dan melakukan pijatan badannya bagian samping. Bagian pinggir buah dadanya jadi teraba juga. Bagian buah dadanya melebar ke samping karena bagian depannya tertekan.

Setelah selesai bagian belakang aku minta dia berbalik. Pemandangan makin indah. Dibagian atas bergumpal susu yang besar di bawahnya perut yang berlipat kebawah lagi segitiga, tapi rambutnya cuma sedikit dan membujur ke bawah sepasang paha putih yang besar sekali.

Aku berusaha tenang dan seolah-olah tidak melihat apa-apa. Padahal sedang terkagum-kagum menyaksikan bongkahan lemak bergumpal dimana-mana dan putih bersih.

Aku kembali mengurut dari ujung kaki terus naik keatas sampai ke pangkal paha. Juli merintih sampai seperti sedang menangis. Aku berusaha menyimak apakah dia benar menangis atau sekedar merintih.
Ternyata dia merintih sambil menangis.

Aku tanyakan kenapa menangis, apa menyesal atau karena apa. Aku sempat menghentikan pijatan untuk memastikan keadaan.

“Aduh, Jay, aku nggak tau kenapa aku begini. Aku rasanya seperti disiksa oleh keinginanku sendiri,” dia tidak meneruskan kata-katanya. Aku mengerti apa yang dimaui sebenarnya.

Dengan gaya cool aku menenangkan dia. “Sudah, Yul, kamu tenang saja, pokoknya kita harus bisa merahasiakan semua yang terjadi di kamar ini. Aku paham apa yang ada di dalam tubuhmu, sabar sebentar ya biar aku tuntaskan terapi ini. Kamu kalau mau berteriak atau apa pun lepas aja, jangan ditahan ya, nanti dada kamu jadi sesak,” kataku.

“Aduh, Jay, terima kasih, kamu ternyata sangat pengertian. Sorry ya, Jay, jangan ketawain aku ya kalau aku bersuara atau bertingkah aneh,” katanya mengiba.

Aku jadi kasihan.
Kusarankan agar dia menutup mukanya dengan bantal saja agar suaranya tidak terlalu terdengar sampai ke luar kamar. Dia segera menuruti saranku. Meski tertutup bantal rintihannya masih juga terdengar, tetapi tidak terlalu keras.

Aku memijat kedua paayudaranya. Dia makin merintih. Apalagi ketika tersentuh kedua putingnya yang berwarna merah jambu. Putingnya tidak terlalu besar sehingga bentuknya sangat menggairahkan.

Perutnya yang penuh lemak agak sulit mengurutnya.Aku hanya menggosok-gosok saja. Pijatanku turun ke bawah dan mulai menggarap sekitar kemaluannya. Juli tidak hanya memberi ruang dengan merenggangkan kakinya tetapi kakinya ditekuk dan dibukanya selebar mungkin. Meski sudah begitu besar celah yang dia buka, tetapi belahan kemaluannya belum terbuka juga karena di situ juga bergumpal lemak menutupi celah itu.

Aku menggosok kemaluannya perlahan-lahan sambil menyelipkan jari tengahku menerobos masuk ke dalam belahan yang ternyata sudah sangat basah. Pijatan di kemaluan itu kulakukan tanpa minta izin lagi ke pemiliknya.
Aku tekan sebentar clitorisnya. Dia menggelinjang dan suaranya terdengar agak keras mengerang di bawah bantal.

Selesai sudah semua terapi pijatanku. Aku lalu berbisik di telinganya. “Jul, pijatannya sudah selesai, boleh aku bantu biar kamu lega.”

Juli hanya menangguk lemah, lalu kembali menutup bantal ke wajahnya. Aku membuka semua pakaianku kecuali celana dalam. Terapi selanjutnya adalah mengoral vaginanya.

Tinggi juga faktor kesulitan yang kuhadapi untuk mengoral kemaluan Juli. Lemak yang berlebihan menghalangiku untuk mencapai bagian clitorisnya. Aku harus mengatur posisi agar masih bisa bernafas sambil mengoral. Juli tersengal-sengal menikmati oralku. Seluruh bagian mulutku sampai ke dagu basah kuyup oleh cairan Juli. Dia cepat sekali mencapai orgasme. Bukan rintihan atau erangan yang kudengar, tetapi suara seperti menangis. Kubiarkan saja dia mengekspresikan kenikmatannya.
Selanjutnya aku berusaha merangsang G-spotnya, Dengan gerakan hati-hati aku memasukkan jari tengahku ke dalam liang vaginanya. Terasa sekali sempit. Di dalam vagina juga banyak gumpalan lemak, sehingga agak sulit mencari mana tonjolan G-spot. Aku hanya mencoba membaca reaksinya ketika bagian dalam kujamah. Sampai aku yakin menemukan bagian yang tepat, aku bertahan di titik itu dengan elusan yang lembut.

Hanya sebentar saja dia sudah meronta-ronta ketika orgasmenya kembali datang. Vaginanya banjir seperti ngompol. Sprei di bawahnya basah kuyup. Setelah orgasmenya mereda aku menindihnya dengan sebelumnya aku melepas celana dalamku. Kami berdua telanjang bertindih-tindihan. Aku menggesek-gesekkan batang penisku di luar belahan kemaluannya. Juli menyambutnya dengan menggoyang-goyangkan pinggulnya.

“Aduh, Jay, nikmat sekali, Jay. Aku belum pernah begini. Terusin aja, Jay, masukkan! Aku sudah tidak perawan lagi kok.“ bisiknya.

Aku mengerahkan ujung penisku ke gerbang vaginanya. Meski licin, tetapi aku berkali-kali gagal memasukkan kepala penisku. Aku mengubah posisi dengan duduk bersimpuh dan menselaraskan letak kepala penis dengan lubangnya. Aku terpaksa menguak lebar kemaluannya untuk memastikan dimana letak mulut vagina Juli.

Setelah jelas baru aku dorong pelan-pelan. Bagian kepala sudah berhasil terbenam, tetapi untuk maju masih agak sulit. Juli merintih sakit katanya. Aku berusaha menyabarkannya agar dia menahan sebentar saja rasa sakit itu. Batang kutekan lagi sampai hampir setengah tertelan kemaluan Juli.

Dengan posisi setengah aku mulai memaju mundurkan penisku sampai Juli merasa tidak sakit lagi. Setelah dia merasa nyaman dan mendesah-desah, kutekan lagi perlahan lahan sampai seluruhnya ambles ke dalam vaginanya. Meski banyak lemak di dalamnya aku merasa vagina Juli masih sempit, maklum lubang ini belum pernah dikunjungi penis.

Juli merintih sambil berucap betapa enaknya vaginanya terasa terganjal dan hangat. Aku melakukan gerakan mengedut-kedutkan penisku beberapa kali. Juli semakin mengerang merasakan nikmatnya kekerasan penisku yang mengganjal di dalam liangnya.

Setelah yakin semua batang terbenam di dalam aku kembali rebah menindih tubuh Juli. Kedua putingnya kuhisap bergantian, sambil penisku tetap menancap di dalam liang vaginanya. Aku terus melakukan gerakan mengedut sambil menciumi kedua putingnya. Juli terangsang hebat dan dia berteriak, “Jay, aku nyampe,“
Sementara dia berogasme, bibirnya aku lumat dan kuhisap dengan gerakan yang ganas. Dia semakin bernafsu dan orgasmenya berlangsung cukup lama. Aku tidak tahu pasti orgasme jenis apa yang dia rasakan.

Setelah reda dia berkomentar bahwa baru kali ini dia merasa nikmat yang luar biasa. Semua pening dan sesak di dadanya menjadi plong. Matanya terasa ngantuk dan lemes. Aku tidak memberi kesempatan dia tertidur. Segera aku pompa dengan gerakan 8 kali hunjaman dangkal dan sekali dalam.
Kosentrasiku menghitung hunjaman ini menganggu konsentrasi menikmati vaginanya. Mungkin ini menyebabkan aku jadi bisa bertahan lama.
Juli tidak jadi jatuh tertidur, dia kembali mendesah, mengerang dan kepalanya digeleng-gelengkan.
“Aduh, Jay, aku lemas banget, tapi nikmat sekali. Aduh, Jay, aku nyeraaahh,” katanya. Sementara aku terus memompanya.

Efek dari pijataan ku tadi berakibat dia mudah sekali mencapai orgasme. Aku sudah tidak lagi memperhatikan sudah berapa kali dia mencapai orgasme. Padahal permainan baru berlangsung 15 menit. Aku terus memompa sampai dia tidak mampu lagi bereaksi karena kelelahan yang amat sangat. Aku berkosentrasi sampai ketika akan meledak buru-buru aku cabut dan ditumpahkan ke perut Juli. Juli hanya membuka mata sebentar lalu jatuh tertidur. Di bagian akhir, tampaknya dia sudah setengah tidur.

Seperti biasa aku segera menutup selimut ke seluruh tubuhnya dan aku kembali berpakaian. Dengan langkah berjingkat ku tinggalkan kamar Juli.
Aku mendapat pengalaman baru lagi merasakan lemak tebal.

***
Dua hari setelah itu aku digamit Kristin. Dia berbisik, “Juli berterima kasih sekali sama lu, katanya terapinya luar biasa. Dia juga senang karena selera makannya jadi kurang banget,”

Sedang kami berdua tiba-tiba muncul Juli.
“Jay, beratku turun sekilo, kayaknya terapimu mulai menunjukkan hasil.” katanya.

Aku mengingatkan agar dia jangan terlalu bersemangat menurunkan berat badan. Sebab jika turun terlalu drastis, kurang baik terhadap kesehatan. Aku menyarankan agar dia berusaha jalan lebih jauh dari biasanya dan kalau bisa hindari naik lift atau eskalator. Dengan begitu badannya tetap kencang meski bobotnya berkurang.

Selain terapi pijat refleksi, aku melakukan kombinasi dengan hypnotherapy. Aku menanamkan sugesti ke dalam alam bawah sadarnya untuk tidak berselera kepada makanan manis, berlemak dan coklat. Kebiasaan makannya aku ubah dengan lebih menyukai sayur dan buah-buahan. Sugesti itu terus-menerus aku tanamkan ke dalam benak Juli, sampai dia sendiri merasa perubahan selera makannya karena kesadaran akan mencapai bentuk dan berat badan yang ideal. Aku juga berterima kasih kepada Juli, tetapi di dalam hati. Berkat tantangan yang dia berikan aku bisa menguasai hypnotherapy.

Singkat cerita, 6 bulan kemudian Juli sudah mencapai berat yang ideal yaitu 55 kg. Tampilan Juli makin cantik dan hebatnya payudara dan pantatnya tetap bertahan gempal tidak ikut susut. Juli menjadi seksi sekali.

Di balik keberhasilannya menurunkan berat badan, aku yang jadi megap-megap. Setiap kali mengetahui jadwalku kosong, Juli langsung minta jatah. Padahal katanya dia sudah punya pacar. Tapi dia mengaku susah melupakanku.
“Aku kecanduan kamu, Jay,” katanya.

Keberhasilanku menurunkan berat badan Juli segera tersebar ke seluruh jaringan cewek-cewek ini. Aku di baiat sebagai terapis paling ampuh. Padahal, keberhasilan Juli menurunkan berat badan antara lain karena dia hampir setiap hari kelelahan karena nafsu sexnya yang mendorong dia selalu minta disetubuhi.
***
Setelah keberhasilanku menurunkan berat badan Juli, Mbak Ratih dan Bu Rini juga minta diturunkan kegemukannya. Kelebihan berat mereka berdua tidak terlalu parah, mungkin hanya perlu turun 5 sampai 10 kg.

Sudah tiga orang berhasil kuterapi jadi kurus dan berisi. Aku tidak menyangka kemampuanku ini kelak akan menerbangkan aku ke banyak tempat dan menjadi dambaan banyak ibu-ibu dan perawan gemuk.

Aku tidak mampu mengurus sendiri begitu banyak permintaan terapi. Bu Rini kuminta menjadi managerku. Dia lah yang mengatur waktu bahkan menentukan biaya terapinya. Kami berdua yang tadinya banyak berharap mendapat penghasilan dari MLM, sekarang sudah kami tinggalkan.

Informasi dari mulut ke mulut ternyata cepat sekali merebak. Aku akhirnya kewalahan menghadapi begitu banyaknya order yang masuk. Aku minta Bu Rini membatasi orderan. Dia bingung bagaimana caranya menyeleksi, semua butuh dan semua perlu dibantu. Aku lalu minta dia menetapkan tarif yang tinggi agar tidak banyak orang mampu mengorderku. Tapi aku minta dia juga menyeleksi atau bahkan mencari mereka yang perlu benar-benar dibantu.
Terhadap mereka ini kutekankan kepada Bu Rini jangan minta bayaran apa pun.

Melalui teknik penyeleksian ini aku jadi banyak bertemu wanita-wanita tingkat atas. Aku kagum atas berlimpahnya uang mereka. Jika mereka minta diterapi, selalu menyewa kamar hotel bintang 5. Mulanya aku agak minder juga menghadapi mereka, karena penampilan yang wah dan wangi serta kelengkapan yang serba mahal.

Dengan kemampuan uang yang begitu besar, kadang-kadang permintaan mereka rada aneh. Sebagai contoh ada yang minta lubang vaginanya disempitkan atau bibir vaginanya dibuat berwarna pink atau mengecilkan puting susu.

Terhadap mereka yang kurang mampu, mereka umumnya sangat menurut dan patuh pada semua nasihatku. Aku berharap bantuanku kepada mereka bisa lebih mencerahkan jalan hidupnya ke depan. Umumnya yang minta diterapi baik dari kalangan kaya, maupun dari kalangan kurang mampu adalah keluhan kegemukan.

Bedanya, kalangan berduit banyak sekali permintaannya. Kadang-kadang jika aku kesal, aku mainkan penekanan syaraf erotisnya. Mereka kelojotan minta digauli. Pada titik ini aku berlagak bodoh dan pura-pura tidak memahaminya. Aku selalalu menyudahi terapi dengan mengatakan, “Bu atau Mbak, terapinya sudah selesai,”

“Mas, bisa nggak aku diservice sekalian? Kepalaku pusing jadinya nih,”

“Apanya yang diservice bu/mbak?”

“Aduh, tolonglah, dik, nanti aku kasih tip tambahan deh,” kata mereka.

Jika sudah mereka mengiba-iba, aku baru keluarkan jurus penuntasan. Biasanya tip yang diberikan kepadaku jauh lebih besar dari tarif resmi yang harus mereka bayar.
Tips ini tentu saja 100 persen masuk ke kantongku.
Aku jadi makin berduit, tetapi aku tetap berusaha hidup bersahaja. Masalahnya aku belum siap memasuki dunia glamour. Kalau mau sebetulnya aku cukup mampu membeli mobil baru, beli apartemen. Tapi jika itu kuturuti aku harus mengubah pola hidupku yang belum tentu aku mampu menjalaninya.
“Begini saja udah enjoy, uang banyak, hidup dikelilingi bidadari yang setiap saat siap dilayani dan melayani,” batinku.

***
Aku hanya ingin berbagi cerita pengalaman yang unik-unik saja yang aku temukaan dari pasienku. Salah satunya adalah Ibu Dina. Dia adalah pengusaha wanita terkenal dan mungkin termasuk jajaran konglomerat. Saking menjaga rahasia, dia harus menyewa 2 kamar di hotel bintang 5 dengan kamar yang memiliki conneting door. Kalau sudah begini Bu Rini lah yang berperan mengatur terapi rahasia itu, sehingga hanya aku, bu Rini dan Bu Dina saja yang tahu soal terapi ini.

Bu Rini awalnya memiliki tubuh yang terlalu gemuk. Dia ingin tampil seperti badan gadis remaja atau katakanlah gadis 20 tahunan. Padahal usianya sudah hampir mencapai 50. Karena kekuatan uang maka meski gemuk dia tetap berpenampilan cantik dan mahal.

“Dik, aku sudah bosan kemana-mana untuk nurunin berat badanku ini, tapi selalu tidak berhasil. Kalaupun berhasil, tidak bisa lama bertahan, aku malah tambah gemuk. Gimana ya, dik, solusinya?” kata Bu Dina.

Aku jelaskan bahwa soal menunrunkan berat badan itu tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada terapis, tetapi harus ada kerjasama dengan yang diterapi. Bahkan Ibu Dina harus lebih banyak berperan dari pada saya yang menerapi.
“Saya hanya memberi arah saja, bu, ibu yang harus mengikuti jalan itu. Kalau ibu tidak nurut, ya pasti tidak akan berhasil,” kataku.

“Oh, gitu toh, dik? Tapi kan saya udah makan obat, masak yo saya harus susah payah nahan selera makan segala sih. Saya kan suka ada acara dinner, makannya itu enak-enak dan mahal, rasanya sayang kalu nggak dicoba,” katanya.

“Saya tidak menjanjikan terapi saya bakal berhasil bu, tetapi saya coba, kalau cocok mungkin bisa berhasil. Biasanya saya tidak mengharuskan pasien saya mengubah 180 derajat pola makan mereka, tetapi hanya mengurangi saja porsi dari yang sebelumnya. Bagaimana bu apa mau dicoba,” tanyaku dengan nada merendah.

“Kamu ini masih muda kok bisa punya keahlian gini toh, dik? Katanya udah banyak yang berhasil, makanya aku penasaran,” katanya.

Seperti biasa, aku meminta dia mengenakan sarung dan kusarankan agar melepas BH juga. Badan Bu Dina sangat mulus, putih dan gemuk Aku mulai melakukan ritual. Semua simpul syaraf yang berhubungan dengan selera makan aku garap. Simpul-simpul itu tidak sampai 30 menit sebetulnya sudah tuntas. Selebihnya aku hanya melakukan chek up lalu memberi pijatan nyaman. Dia sudah merasa membayar mahal, jika aku hanya menggarapnya 30 menit rasanya tidak pantas.

Selama kelebihan waktu itu aku juga iseng menekan syaraf-syaraf erotisnya. Dalam hal ini kurasa keahlianku sudah sangat mahir. Baru sekitar 15 menit syaraf erotis kumainkan, Bu Dina sudah mulai merintih. “Dik, pijetanmu kok enak banget to, dik?” katanya.

“Bu, maaf ya, bu, kelihatannya ibu jarang disambangi nih,” kataku memancing reaksinya.

“Disambangi apa toh, dik?” tanyanya dengan nada heran.

“Ah, ibu masak nggak paham? Maksud saya, disambangi ama bapak,” kataku.

“Lho, kamu kok bisa tahu rahasia sampai kesitu to?
Tapi emang benar kok, dik, bapak itu kan diabet, jadi ya agak susah. Apa kamu bisa terapi diabet juga to, dik?” tanya Bu Dina.

Aku terus terang belum pernah mencoba terapi orang diabet, tetapi penyakit itu menurut pengetahuanku tidak bisa disembuhkan, hanya bisa dikendalikan.
“Maaf ya, bu, ini dampaknya dari kurang disambangi, jadi ibu ini termasuk suka mudah marah, emosinya rada cepat meluap,” kataku datar.

Dia membenarkan, bahkan dia malah nyerocos, dalam soal sepele saja kadang-kadang marahnya bisa meledak-ledak. Susah mengendalikan emosi marah, katanya. Dia tanya apa yang begituan bisa dikendalikan.

Saya katakan ini adalah ibarat asap, apinya adalah soal disambangi tadi. Jadi ada perasaan yang terpendam bertahun-tahun dan lama-lama tidak menyadari, padahal perasaan kecewa itu tetap ada di dalam.

Ibu Dina rupanya termasuk istri yang setia dan tidak pernah punya keberanian untuk bermain mata dengan laki-laki lain. Untuk terapi ini saja dia membuat pengamanan berlapis-lapis agar jangan sampai diketahui orang. Maklumlah dia sendiri termasuk orang punya nama, suaminya juga terkenal.

Aku jadi penasaran ingin membuat Bu Dina kelojotan. Apakah dalam kondisi di puncak rangsangan dia masih mampu bertahan. Bagaimana sih kuatnya benteng pertahanannya . Aku memainkan syaraf syaraf sensual. Stimulasi terus-menerus aku garap, tanpa menyentuh bagian-bagian alat vital.

“Aduh, dik, aku kayaknya udah nggak kuat lagi nih, dik,” katanya.

Aku lalu berhenti memijat dan bertanya apa pijetnya cukup sekian aja. Bu Dina langsung membantah bahwa bukan itu yang dia maksud, katanya kepalanya mau pecah menahan rasa yang nggak karuan. Aku lalu menawarkan untuk memijat kepalanya. Padahal aku tahu itu tidak akan menyembuhkan bahkan mungkin bisa tambah menggila. Dia memberi kesempatan aku memijat kepalanya. Bukan tambah selesai, tetapi malah tambah menggila. Bu Dina tanpa dia sadari merebahkan badannya ke badanku yang sedang memijat kepalanya dari depan.
Dia memelukku erat sekali sambil kepalanya di guselkan ke dadaku. Dia menarik kepalaku dan diciuminya wajahku lalu bibirku disedot dan diciuminya ganas sekali. Kepalaku lalu didorong ke arah dadanya. Aku segera paham bahwa payudaranya minta disedot. Payudara Bu Dina masih cukup montok dengan pentil yang agak besar.

Bu Dina menggeliat-geliat menikmati cumbuanku. Aku lalu mengoralnya sampai dia orgasme bahkan aku membawanya juga G Spot O. Namun Bu Dina masih ingin dilanjutkan dan dia membuka celanaku lalu mengoralku sebentar kemudian dia minta aku menyetubuhinya. Aku menggenjotnya, sampai dia mencapai O , tapi dia masih minta aku melanjutkan permainan sampai dia kembali mendapat O. Badanku merasa lelah dan aku mulai berkosentrasi untuk mencapai O. Menjelang aku O Bu Dina rupanya juga hampir nyampe.
Aku sengaja melepas ledakan ejakulasiku di dalam vagina bu Dina. Dia memelukku erat sekali dan diciuminya wajahku.

“Saya puas, dik, biar aku nggak berhasil jadi kurus tapi kamu harus mau melakukan terapi lagi,“ kata Bu Dina.

Bu Dina adalah pelangganku yang menjadi ketergantungan kepadaku. Dia selalu minta diterapi setiap 2 minggu sekali. Pernah juga aku dimintanya menyusul ke Singapura. Aku diperamnya disana selama 3 malam.

Berat Bu Dina berhasil juga turun hampir 15 kg dalam 6 bulan. Terapi yang aku lakukan adalah kombinasi pijatan dan hipnotis. Tidak hanya soal mengurangi selera makannya, tetapi juga emosinya sekarang lebih terkendali.
“Dik, aku sudah bisa menahan marah, sejak kamu terapi aku kok jadi penyabar ya, dik?” katanya.

Aku memujinya. Dia kupuji karena mau bekerjasama untuk memperbaiki sifatnya yang negatif. Aku juga menenamkan ke dalam benaknya bahwa marah itu adalah perbuatan sia-sia. Aku selalu memberi tantangan kepadanya untuk mengembangkan kreatifitas. Maksudnya jika timbul rasa marahnya kepada seseorang, maka dia harus mencari cara atau jalan atau kata-kata agar orang yang seharusnya dimarahi karena kesalahannya bisa menyadari dan memperbaiki diri .
“Bu Dina pasti bisa mencari cara lain dari marah,” kataku.

“Iya, dik, bahkan ada karyawanku yang harusnya aku marahin malah aku kasih uang dan kuajak bicara baik-baik, akhirnya dia sekarang jarang berbuat kesalahan, malah loyal sekali kepadaku,” katanya.

Aku membatin, sumber penyebab kemarahannya sudah cair, yakni keinginan sexnya yang selama ini bertumpuk sudah lenyap, karena aku menjadi pelanggan servicenya. Selain itu sugesti yang aku tanamkan di dalam alam bawah sadarnya membantu dia berfikir positif dan kreatif.

Ada lagi pelangganku yang minta aku melakukan terapi di motel-motel. Dia selalu minta janji ketemu di pusat-pusat perbelanjaan. Dari situ dia minta aku membawanya ke motel hanya berdua saja.

Pelangganku yang kupanggil dengan nama Bu Monik ini awalnya juga minta tubuhnya dirampingkan, tetapi kemudian berkelanjutan minta diservice lengkap. Dia juga pengusaha kaya yang nafsu sexnya tidak mampu diimbangi suaminya. Kalau kuturuti dia maunya aku melakukan terapi setiap minggu.

Tak terasa, sudah 2 tahun aku malang melintang di dunia terapi .
Relasiku di kalangan atas, terutama para wanita cukup lumayan. Tidak hanya pengusaha, tetapi juga politisi selebriti dan ibu pejabat. Ada juga ibu yang mempunyai jabatan penting di kalangan TNI dan Polri.

Jujur saja, aku tidak merasa cukup mampu menjadi terapis. Aku juga sebenarnya kurang yakin bahwa titik-titik simpul syaraf yang ditekan bisa manjur menyembuhkan berbagai penyakit. Kuperhatikan simpul-simpul syaraf itu hanya membantu usaha penyembuhan. Penyembuhan sepenuhnya sebetulnya adalah pada diri orang itu. Jika dia mengubah pola hidupnya maka keberhasilannya untuk sembuh lebih besar. Namun jika dia tetap dengan pola hidupnya yang lama, maka penyakit yang dikeluhkannya akan tetap menggerogotinya. Teori ini tidak bisa diterapkan juga kepada semua orang dan semua penyakit. Akan tetapi sebagian besar memang begitu.

Kesibukanku melayani pelanggan membuatku jadi jenuh. Aku berkeinginan suatu saat bisa berkeliling Eropa untuk berlibur. Pada dasarnya aku senang berkelana. Namun menjelajah Eropa jika hanya menikmati dari balik jendela rasanya kurang puas. Maksudku di balik jendela itu adalah dari balik jendela hotel, taxi, bus, kereta api dan seterusnya. Artinya aku tidak terlibat dengan kehidupan sehari-hari di tempat yang kukunjungi. Untuk bisa begitu paling tidak aku harus bisa berkomunikasi dengan bahasa setempat.

Keinginan itulah yang mendorong aku mengambil kursus bahasa Perancis, Jerman dan Spanyol sambil memperdalam pengetahuan bahasa Inggris. Setahun kurasa cukup untuk menguasai sekedar bahasa sehari-hari bahasa-bahasa besar dunia itu.

Awalnya aku ingin berkelana sendiri ke Belanda, Prancis, Jerman dan Spanyol. Namun ketika aku bercerita sambil melakukan terapi kepada beberapa pelangganku, mereka malah mau ikut. Jadinya ada 5 orang emak-emak kaya raya yang mau ikut berkelana. Mereka malah membiayai semua kebutuhanku. Apalagi mereka akhirnya tahu bahwa aku lumayan ngerti bahasa negara-negara yang akan kami kunjungi.

Berkelana selama 2 minggu ke 4 negara pada musim panas kemudian memang terwujud. Aku jadi tour leader, dan memang aku yang mengatur kemana saja tujuan wisata kami. Aku syaratkan kepada ibu-ibu pesertaku agar tidak berbelanja oleh-oleh kecuali mau dipakai langsung. Aku tidak mau perjalananku terhambat gara-gara soal barang bawaan yang terlalu banyak. Ibu-ibu kalau tidak dibendung, nafsu belanjanya kadang-kadang lebih besar dari nafsu sexnya.

Selama kami tour, kami berenam sudah seperti remaja lagi. Tidak hanya aku harus bergantian setiap malam tidur dikamar mereka, Tetapi sering juga kami ngumpul berenam lalu melakukan orgy party. Ibu-ibu itu selalu menempati suite room, jadi kamarnya lebih lega. Terbang pun kami selalu di kelas satu.

Aku rasa soal ini kalau diceritakan bisa terlalu panjang. Namun lain kalilah kuungkap kehidupan 2 minggu kami sambil berkeliling Eropa. 

0 komentar:

Posting Komentar