Rabu, 19 Februari 2014

HAREM 1

Aku mendapat tempat kos yang istimewa. Kusebut begitu karena selain harganya tidak mahal, rumahnya bagus letaknya tidak di jalan besar, di lingkungan yang tenang dan aku adalah satu-satunya laki-laki di situ. Aku mendapat kamar diatas garasi yang mempunyai akses sendiri. Di bawahku dulu bekas garasi, tetapi sudah diubah lalu disewakan untuk kos.

Aku bisa diterima disitu, karena sebelumnya kenal dengan ibu kost karena bisnis MLM. Dia kebetulan up link ku. Soal ini kalau diceritakan cukup panjang dan kurang menarik pastinya. Namun yang jelas ketika dia membinaku, akhirnya pembicaraan sampai ke masalah kost. Mungkin dia terkesan pada pribadiku sehingga dia menawarkan aku kost saja di tempatnya. Padahal dia selama ini belum pernah menerima kost laki-laki.

Sebagian besar yang indekos disitu adalah anak yang kuliah di akademi sekretaris. Akademi itu memang tidak jauh, jauhnya jika jalan kaki mungkin sekitar sepuluh menit. Sekolah itu sejak lama terkenal di Jakarta Selatan.

Rumah induk mempunyai kamar cukup banyak maka sebagian besar mereka berada di dalam rumah induk. Yang di luar hanya kamarku dan kamar bekas garasi yang dihuni dua cewek. Aku bebas membawa cewekku ke kamar jika hari minggu. Biasanya kami berendam di kamar dari jam sebelas siang sampai jam tiga sore. Ya semua yang seharusnya tidak terjadi, terjadilah. Mungkin kalau diceritakan kurang seru, karena sama pacar sendiri.

Setelah sekitar tiga bulan aku baru mulai mengenal para penghuni kos. Mereka semua ada delapan orang. Diantara mereka tinggalnya di Jakarta ini juga, tapi memang jauh dari sekolah mereka. Mungkin kurang praktis jika pulang pergi dari rumah ke sekolah. Jadinya setiap Sabtu dan Minggu rumah kos itu sepi karena sebagian besar penghuninya pulang ke rumah mereka masing-masing. Yang tinggal hanya anak-anak dari luar kota, ada dari Cirebon, Bandung dan Lampung.

Suatu malam aku lupa hari apa, listrik padam dan hujan turun sangat deras. Aku tidak bisa melakukan apa pun kecuali tiduran. Mata melek sama merem tidak ada bedanya, gelap gulita. Mungkin sudah jam sepuluh malam, tiba-tiba ada yang mengetok kamarku.
“Jay, bukain dong, cepetan,” kayak suara Dewi anak Bandung yang tinggal di kamar di bawahku.

Aku segera membuka pintu, memang benar, Dewi dan Ana datang berkerudung selimut dan bawa bantal segala.
”Jay, aku numpang tidur dong di kamarmu, Kami takut di bawah gelap dan petirnya keras banget.” Kamarku memang cukup luas, Ya sekitar 6 x 5 m dengan satu tempat tidur yang muat dua orang atau kalau dipaksakan juga cukup bertiga.

Aku tidak mungkin bisa menolak mereka, lagian ngapain rezeki gini ditolak. Mereka pun tanpa persetujuan dariku sudah mengambil posisi di tempat tidur. Tempat tidurku berada di pojok di ruangan, jadi bagian kepala dan salah satu sisinya merapat ke dinding. Dewi mengambil posisi ditengah, Ana dipinggir merapat ke tembok aku disisakan tempat di tepi.

Lampu mati kali ini cukup lama sejak hujan deras tadi mungkin sekitar jam delapan. Sampai hampir jam sebelas malam belum juga nyala. Hujan masih terus deras. Untung kamar gelap, sehingga tempat tidurku yang berantakan spreinya tidak kelihatan.
Kamar bujangan mana mungkin rapi, apa lagi aku malas sekali merapikan kamar.
Mereka berdua langsung membujur, aku menempati posisi yang tersisa. Mana mungkin bisa ngantuk, tidur bertiga dengan dua cewek gitu lho, cakep-cakep lagi. Yang kupikirkan apa yang bakal terjadi dan apa pula yang harus terjadi. Apakah aku harus memulai, aku ragu apakah Dewi yang ada di dekatku suka dengan aku. Bagaimana kalau tanganku ditepis, wah malu banget rasanya. Tapi pendapat lain seperti memanas-manasi. Jangan-jangan mereka menunggu inisiatif dariku. Laki-laki kan sepantasnya yang berinisiatif. Aduh bingung aku dengan dua pendapat ini.

Akhirnya aku tidur telentang pasrah menunggu bergulirnya sejarah. Kami tidur berhimpitan, karena tempat tidur kapasitas dua orang ditempati bertiga. Dewi yang mulanya tidur miring membelakangiku, kemudian ganti posisi telentang. Lha aku kan bingung, dimana harus kuletakkan tangan kanan, agar tidak menyentuh Dewi. Tangan kananku yang memang dari tadi lurus ke bawah tidak dihindari jadi ketindih tangan kiri Dewi. Apa boleh buat, pegel terpaksa ditahan biar tidak bergerak. Aku khawatir kalau tanganku bergerak bisa menimbulkan kecurigaan, atau kalau melakukan gerakan menghindar bisa disangka aku jual mahal. Repot deh.
Diam mematung dalam keadaan spaning tentu tidak mudah. Tapi itulah tantanganku di dalam kegelapan. Tangan Dewi kemudian kurasakan mulai meremas tanganku. Aku segera paham bahwa sinyal sudah mulai dinyalakan. Untuk menyambut keramahannya, aku pun membalas meremas tangannya. Hanya sebatas itu saja aku berani bertindak.

Dewi berubah posisi lagi, kali ini miring menghadapku dan dia memelukku ibarat aku ini guling. Ya ampun, tanganku belum sempat berubah posisi dan kejadiannya tangan ini tertindih selangkangannya. Aku harus bagaimana sekarang, karena tanganku menempel dibagian paling vital Dewi, tentu aku tidak berdaya. Kalau jariku begerak sedikit saja, pasti akan memberi kesan meremas memeknya. Aduh aku nggak mau dikesankan orang yang kurang ajar. Tanganku mulai kesemutan, karena aliran darah tertahan akibat ditindih. Apa boleh buat aku harus bertahan sekuat mungkin.

Aku tidak tahu tangan dewi yang sebelah lagi ada dimana, tetapi tangan kanannya ada di atas dadaku. Dia mengelus-elus dadaku dan hidung serta mulutnya dekat sekali dengan telingaku. Sehingga aku bisa jelas memantau hembusan nafasnya. Dari pemindaianku nafasnya mulai tidak teratur, bahkan cenderung rada cepat. Ini kan nafas kalau cewek mulai diliputi nafsu birahi.
Dia menarik kepalaku lebih rapat dan diciuminya pipiku. Dia tempel terus hidungnya ke pipiku. Aku jadi mulai mendidih. Bukan hanya panas karena tubuh kami rapat, tetapi tensi birahiku juga naik. Dimiringkannya kepalaku lalu bibirnya menyusuri wajahku dan pencariannya berhenti ketika menemukan bibirku. Kami jadi berciuman dan panjang sekali rasanya.Sinyal-sinyal yang dihidupkannya mensyaratkan aku harus segera meresponnya. Tangan ku yang tadi tertindih mulai bergerak mencari sasaran.
Gundukan dibalik dasternya tentu saja menjadi sasaran. Aku remas-remas gundukan di selangkangannya. Dewi merespon dengan gerakan pinggulnya menekan-nekan tanganku. Jari yang tadi tertindih mulai mendapat tugas untuk mencari jalan. Perlahan-lahan kutarik keatas dasternya sampai jariku bisa merasakan celana dalamnya. Dewi malah membantu agar kerja jariku lebih mudah menguak penutup.
Aku meremas kambali gundukan yang kini hanya terlindung oleh celana dalam. Tidak ada ruang untuk aku menarik tanganku agar bisa masuk menyusupkan telapak tangan kananku masuk dari celah atas celana dalamnya. Satu-satunya jalan hanya menguak celdamnya dari samping. Jari ku seperti ular mencari sarangnya, jari tengah lebih trampil dari jari lainnya dalam mencari belahan vital Dewi.
Jari tengahku mulai merasakan kehangatan sekaligus kelembaban di balik bulu-bulu keriting yang ternyata sangat lebat. Si jari tengah ternyata sangat trampil dalam pencariannya, karena clitoris Dewi mulai ditemukan. Daging kecil itu sudah mengeras, sehingga mudah mencarinya. Aku segera berkosentrasi pada bagian itu.
Dewi tidak mampu menahan kenikmatan akibat gelitikan jariku di clitorisnya, sehingga walau dia berusaha menahan gerakan, sesekali dia lepas kontrol juga. Masalahnya mungkin rikuhlah karena ada Ana di sebelah yang sedang terbaring. Kan gak enak rasanya bercumbu disamping teman akrabnya tanpa ada komitmen sebelumnya.

Dewi makin erat memelukku dan aku makin intensif memainkan jariku di clitorisnya. Aku tidak bisa memperkirakan berapa lama jariku bermain di clitoris Dewi. Dia akhirnya mengejang dan ditekankannya badannya ke kakiku, sambil kurasa gerakan kontraksi di sekujur kemaluannya. Dia mencapai kepuasan. Dia lalu melemas dan aku segera menarik tanganku dari tindihannya dan kuposisikan memelukkan dengan menyelinap di bawah lehernya. Tangan kananku berada dibagian belakang badannya yang miring menghadapku.

Dewi sudah jatuh tertidur. Dia mendengkur halus dekat sekali dengan telingaku. Aku jadi serba sulit, barangku jadi terabaikan, padahal sudah siap diluncurkan. Tapi mau diluncurkan bagaimana, sebab situasinya sangat tidak memungkinkan.

Listrik belum juga nyala, hujan masih deras. Wah kalau gini situasinya bakal sampai besok pagi listrik akan padam. Dalam keadaan tanpa harapan aku berusaha menidurkan diri dan menyabarkan hasratku yang cenggur (ngaceng nganggur).

Nah lho, tanganku ada yang meremas dibelakang punggung Dewi, tangan siapa lagi kalau bukan Ana. Dia tidak hanya meremas, tapi juga mencium dan bahkan menjilati jari-jariku. Aduh mak, jari-jariku kan tadi bekas terkena cairan si Dewi, pasti punya aroma khas. Tapi Ana rasanya menikmati sekali jari-jariku. Dicium dan dilomot-lomotnya jariku. Aku yang tadinya kosentrasi menuju ngantuk, jadi siuman lagi.
Tangan kulemaskan mengikuti arah yang dimaui Ana. Dia membimbing tanganku mengusap-usapkan tanganku ke wajahnya, lehernya dan ke dadanya lalu ke teteknya dari luar daster. Diberi peluang menangkap tetek, tentunya segera kurespon dengan gerakan meremas. Tangan Ana ikut membantu tanganku meremas teteknya. Tebal benar tetek Ana ini. Baru kusadari sekarang kalau tetek Ana cukup besar. Kelak kalau keadaan sudah terang aku jadi ingin menegaskan berapa besar sih tetek Ana. Sebelum ini aku tidak pernah memperhatikan tetek Ana.

Tanganku lalu dibimbing lagi menelusup ke balik daster dan langsung dibalik BHnya. Memang terasa benar besarnya. Cengkeraman tanganku terasa kurang besar terhadap tetek Ana. Kuremas-remas tetek Ana dari sebelah ke sebelah. Tugasku berikutnya adalah mencari tombol-tombol di kedua tetek itu.
Pencarian tidak terlalu sulit, karena Ana memberi ruang untuk keleluasaan tanganku. Kupilin lalu kuusap. Gerakan itu terus menerus secara bergantian.
Ana yang tadi diam saja sekarang badannya terasa lasak. Bahunya bergoyang-goyang terus. Aku tentu saja khawatir, perselingkuhan tanganku ini bakal membangunkan Dewi. Tapi Ana kelihatannya sudah turun kesadaran lingkungannya.

Tanganku tiba-tiba ditarik menjauh dari teteknya. Aku segera berkesimpulan bahwa Ana tiba-tiba waras kembali otaknya. Aku turuti saja dengan melemaskan tanganku. Tapi tangan Ana tetap saja memegang tanganku. Aku merasa ada gerakan bahwa Ana mengubah posisi tidurnya. Telapak tanganku merasa menyentuh kulit lembut dan dari analisa data di otakku. Tangan ini menyentuh kulit perut.
Aku segera memindai posisi tanganku tepatnya berada dibagian apa? Memang benar, telapak tanganku menemukan pusat (udel). Ana melepas tanganku dan aku dibiarkan sendiri mencari jalan. Aku segera mengerti bahwa Ana sudah mengangkat dasternya dan memposisikan tanganku untuk mencari jalan yang benar.

Arahan itu tentu saja mudah kupahami, tanganku segera merayap ke bawah dan menemukan garis celana dalamnya. Tanganku berusaha merayap terus ke bawah sampai kutemukan bulu-bulu halus. Jangkauanku kini maksimal, padahal target belum tercapai. Ana rupanya paham, dinaikkannya badannya sedikit dan kini jari-jariku bisa mencapai belahan memeknya. Ternyata memeknya sudah basah, sehingga jari tengahku dengan mudah menyusup ke dalam dan menemukan clitoris yang sudah mengeras.
Ini tentu saja membantuku menemukan sasaran yang tepat.
Aku lalu memainkan jari tengahku. Ana yang kini telentang, pinggulnya mengikuti irama sentuhan jari tengahku. Dia menggelinjang, ketika bagian paling sensitifnya tersentuh. Sesungguhnya posisi tanganku kurang nyaman, tapi aku mencoba terus bertahan, paling tidak sampai Ana puas. Aku kurang bisa memperkirakan waktu, karena gelap dan tanganku terasa pegal sekali. Aku merasa lama sekali aku mengorek kemaluan Ana ini sampai kemudian dia menjepit tanganku dan memeknya berkontraksi. Dia puas dan setelah usai kontraksinya tanganku ditariknya keluar.

Aku turuti saja dan tanganku memang pegel dengan posisi itu tadi. Dia melepaskan tanganku sementara membenahi dasternya yang terangkat tinggi. Aku menempatkan posisi tanganku pada posisi yang paling nyaman.

Ana membawa tanganku agar berada di posisi di bawah lehernya dan menerobos kebelakang punggungnya. Aku bagaikan memeluk dua wanita sekaligus. Mereka berdua puas dan tertidur, sementara aku cenggur makin parah.
Tapi kutentramkan hasratku, dan itung-itung pengorbanan untuk investasi masa depan.

Paginya aku terbangun karena mereka berdua menciumi pipiku sambil mengucapkan terima kasih lalu mereka keluar kamar. Aku berkesimpulan jalan sudah terbuka, tinggal aku mengatur bagaimana melanjutkan alur yang sudah terbangun. Mereka berdua sebenarnya tahu kalau aku punya cewek yang setiap Minggu selalu aku benam di kamarku. Tapi nampaknya itu tidak menghalangi keakraban mereka denganku.
***

Di satu malam minggu, Ana pulang ke rumah orang tuanya di Kebon Jeruk dan Dewi tetap tinggal di kost, karena rumah orang tuanya di Bandung. Malam itu otomatis Dewi tidur gabung denganku. Kami memuaskan diri masing-masing sampai berkali-kali. Aku lupa berapa ronde yang kami mainkan, sampai paginya dia masih bermain sekali lagi sebelum kembali ke kamarnya.

Penyelinapan Dewi, sama sekali tidak diketahui oleh penghuni kost yang lain. Jadi kami menjalankan akting biasa-biasa saja di depan teman-temannya. Setelah aku berkesempatan memompa Dewi di lain kesempatan ketika Dewi menginap di rumah saudaranya, Ana lah yang menyelinap ke kamarku. Kami juga memuaskan diri sampai pagi. Kedua bersahabat ini benar-benar tangguh di ranjang.

Aku tidak mengorek keterangan apakah hubungan mereka denganku yang demikian intim itu diketahui masing-masing, atau mereka melakukan peran diam-diam. Aku ingin menikmati saja hidangan yang tersedia, tanpa repot-repot menyelidik. Toh nanti bakal ketemu juga jawabannya, tanpa aku bertanya.

Dalam usiaku yang 20 tahun, aku memang dikaruniai kelebihan, yaitu muka yang manis (kata cewek-cewek) badan yang atletis (padahal jarang olahraga) dan kesehatan yang baik. Aku selalu berusaha menjadi anak manis dan sebisa mungkin menjauhkan diri dari kesan anak yang kurang ajar. Cool, istilah yang sering cewek-cewek sebutkan mengenai perilakuku.

Aku kurang jelas umur Dewi dan Ana, tetapi dari jenjang pendidikannya kuterka mereka lebih tua setahun atau sebaya denganku. Dewi kulitnya agak gelap, rambutnya keriting, badannya ramping dan teteknya kecil (ukuran 32 mungkin).
Sedang Ana bodinya rata-rata saja, teteknya mungkin agak besar, tetapi tidak terlalu mencolok. Mukanya manis dan rambutnya hitam lurus.
Kami sering tidur bertiga di kamarku. Tidak setiap kali kami bertiga selalu melakukan aktivitas sex, kadang-kadang ya hanya tidur biasa saja. Yang membedakan dari situasi yang pertama, adalah aku selalu diminta tidur diantara mereka berdua. Kalau pun kami melakukan aktivitas sex ketika mereka berdua di sampingku, aku hanya melakukan raba-rabaan, tanpa coitus. Dan itu selalu dimainkan tanpa sepengetahuan Dewi. Ana tau tapi Ana berusaha menyembunyikannya dari Dewi. Mungkin itu kode etik diantara mereka.
***
Hampir setahun aku menetap di rumah kost itu, dan penghuninya nyaris masih tetap seperti yang dulu. Tempat kos ini memang enak dan tentram, Pemiliknya janda yang kutaksir usianya sekitar 40 tahun. Tidak terlalu cantik, tetapi manis dan kelihatan sekali dia berasal dari Jawa. Dia memliki wajah keibuan yang berwibawa. Badannya tidak gemuk seperti umumnya wanita diusia 40 tahunan. Dia tinggal sendiri di rumah itu.

Aku makin akrab dengan cewek seisi rumah itu. Kalau malam minggu kadang-kadang mereka mengajakku berkumpul di ruang tengah di rumah induk. Dari sekedar ngobrol sampai kadang-kadang main kartu remi.

Penghuni baru adalah Mbak Ratih yang kutaksir usianya sekitar 27 atau 28. Dia masih single, badannya agak gemuk dan putih. Dia tipikal wanita Jawa banget.

Suatu malam ketika aku tidak kebagian ikut main kartu dan Mbak Ratih sibuk merajut kruistik, dia menselonjorkan kakinya di sofa ke dekatku. “Dik, mbok mbak dipijetin kakinya daripada bengong,” katanya.

Permintaannya segera aku penuhi dengan memijat-mijat kakinya. Aku memang cukup piawai memijat, karena ketika aku masih tinggal di rumah orang tuaku, ibuku sering meminta aku memijat kakinya. Selain itu aku pernah belajar pijat refleksi dari teman yang bekeja di pijat refleksi dan akupresur. Selanjutnya aku mengoleksi buku-buku mengenai seni dan cara memijat.

Pertama-tama aku menekan titik syaraf di telapak kakinya. Kadang-kadang Mbak Ratih menjerit ketika titik syaraf tertentu kutekan. Kalau sudah begitu aku mulai membual, ”Wah, mbak ini kelihatannya ada gangguan di ginjal lah atau di pencernaan, atau di hati.” Padahal aku kurang tau pasti. Ini hanya kira-kira saja dari yang kuingat-ingat ketika membaca buku-buku akupuntur atau buku pijat. Aku kalau iseng memang suka membaca buku seperti itu.
Namun yang kuingat benar adalah simpul syaraf birahi. Bagian ini aku berusaha menghafal benar letaknya di sebelah mana. Jadi di tengah pijatan refleksiku, aku iseng menekan-tekan simpul birahi mbak Ratih, di dekat mata kakinya.
“Aduh, dik, rasanya nyer-nyeran kalau situ yang ditekan,” katanya. Aku cuek saja seolah tidak memahami apa yang dimaksud nyer-neran itu. Padahal aku tahu pasti, itu adalah nyer-nyer di liang vaginanya.

“Mbak, kalau ada lotion, aku bisa urut betisnya biar uratnya lemes.” kataku.

“Ada, dik, tolong ambilkan di meja dekat tempat tidurku,” katanya.

Aku segera bangkit dan kembali dengan body lotion. Aku menseriusi pijatan itu bukan karena aku rajin, tapi aku ingin merangsang mbak Ratih melalui pijatanku.

Mbak Ratih berhenti menyulam, dan menikmati pijatanku. “Ternyata kamu jago mijet ya, dik. Ototku yang kaku jadi lemes semua,” katanya.

Kenikmatan pijatanku membuat spontanitas Mbak Ratih keluar begitu saja dan dia nyerocos terus tentang kepintaranku. Ini tentu saja menggugah perhatian cewek-cewek lain yang sedang main kartu.
“Aku daftar ah, minta dipijeti juga,” kata Nia. Yang lainnya latah langsung ikut-ikutan minta dipijat juga. Sampai semuanya pada minta dipijat.

“Kalau satu orang 100 ribu, lumayan untuk bayar kos dan jajan gue,” kataku bercanda.

“Wooo, matre nih,” kata mereka beramai-ramai.

“Enggak kok, gratislah,” jawabku sambil tersenyum.

“Dik, badanku kok jadi pegal ya, kamu bisa mijat badan juga kan?” kata Mbak Ratih. Padahal bukan karena kakinya dipijat lalu badannya jadi pegal. Tapi kayaknya dia minta diservis pijat seluruh badan, karena dianggap aku mengerti urat. ”Sorry ya, aku mau pijat dulu ke kamar, dengan cah bagus ini,” kata Mbak Ratih sambil menggandengku ke kamarnya.

“Woo curang, mau dikuasai sendiri,” kata cewek-cewek yang lain. Aku cengar-cengir saja. Habis posisiku jadi serba salah sih.

Aku masuk kamar mbak Ratih.
Entah sengaja apa nggak, pintunya kemudian ditutup. “Aku telentang atau tengkurep, dik?” kata mbak Ratih bertanya.

“Tengkurep aja dulu, mbak,” jawabku. Aku kembali memijat kakinya, dari mulai telapak kaki sampai ke paha. Dia kelihatannya tidak perduli kalau dasternya sudah terangkat tinggi sekali sampai menampakkan celana dalamnya. Aku sengaja memainkan pijatan erotisku, terutama di bagian paha sebelah dalam.
“Aduh, dik, enak tapi geli,” kata Mbak Ratih setiap kali kusentuh pahanya sebelah dalam. Pahanya menggairahkan karena besar dan putih. Aku tau dia sudah terangsang dengan pijatanku, tetapi aku pura-pura biasa saja. Pijatanku beralih ke pantat dan punggungnya. Bagian ini masih tertutup daster.
“Mbak, punggungnya mau diurut pakai krim juga apa enggak?” tanyaku. ”Tapi dasternya mbak lepas dulu biar ngurutnya bisa rata.”
”Oh gitu, kamu tidak malu kan melihat tubuhku?” katanya lalu bangkit melepas dasternya.

“Kok saya yang malu sih, mbak? Kan mbak yang buka baju,” sahutku.

Mbak Ratih menyisakan celana dalam dan BH-nya lalu kembali telungkup. Pijatanku mulai dari bagian bahu. Aku mengambil posisi mengangkangi badan mbak Ratih. “Aduh, enak, dik. Kamu pintar ya, coba dari dulu ngomong kalau kamu bisa mijet.” katanya. Badannya diliputi lemak yang cukup tebal. Aku tidak memaksa dia untuk membuka BH-nya, biar saja, nanti bakal terbuka dengan kemauannya sendiri. Ini untuk menghindari kesan bahwa itu bukan dari kemauanku.

Meski tertutup BH tapi telapak tanganku bebas menelusuri bagian belakang badannya di balik tali BH sampai ke samping dan menyentuh bagian pinggir teteknya. Aku tentunya berlagak sebagai pemijat professional. Setelah bahu dan punggung, kini pijatanku mengarah ke bongkahan pantatnya yang bahenol. Mulanya aku memijat dari luar celananya, tapi pengurutan tanganku sesekali menerobos di bawah celana dalamnya dan menekan-nekan titik erotis di bagian pantatnya. Mbak Ratih mulai mendesis-desis menandakan dia makin terangsang.
“Aduh, dik. Enak, dik. Aku jadi merinding saking enaknya.” katanya.

Aku diam saja dan pijatan mulai mengekploitir bagian pantat dan pangkal paha, di bagian ini rangsangan yang dirasakan perempuan pasti makin tinggi. Jariku sudah berhasil mencapai belahan pantatnya dan hampir menyentuh kemalauannya. Mbak Ratih sudah tidak perduli dengan jamahanku, birahinya mulai tinggi sehingga kesadarannya mulai rendah. Pada posisi terangsang yang tinggi aku minta dia telentang. Mbak Ratih pasrah dan telentang sambil menutup mata. Aku mulai lagi dari bahu, untuk melemaskan bagian itu. Perlahan-lahan lalu turun ke bawah mendekati bongkahan susunya. Susunya memang sangat besar.

“Mbak, maaf ya, apa bagian ini mau dipijet juga apa nggak?“ kataku sambil menangkupkan tanganku di susunya dari luar BH.

“Kamu bisa mijet susu? Susuku nggak pernah dipijet, enak apa nggak ya, dik?” kata Mbak Ratih.

“Ya dicoba dulu, mbak.
Nanti baru tau rasanya,” kataku.

“Ya sudah kalau gitu,” katanya lalu bangkit membuka BH-nya. Kini terpampang sepasang susu yang cukup besar. Pijatanku dimulai dari bagian pinggir, dengan gerakan halus. Bagian ini paling sensitif, sehingga aku tidak boleh ceroboh. Pentilnya tampak mengeras, dan sesekali aku memilin.
“Maaf ya, mbak, ini untuk merangsang syaraf supaya lemes,” kataku mengesankan keahlian professional. Aku minta dia menarik nafas ketika kupilin putingnya lalu pelan-pelan menghembuskannya saat kurengkuh kedua susunya dari samping.

“Aduh, dik, rasanya jadi nggak karuan, merinding semua badanku,” katanya menyamarkan rasa rangsangan yang tinggi.

“Mbak, geli itu adalah bagian dari cara mengaktifkan syaraf untuk bekerja normal,” kataku membual. Setelah puas meremas tetek mbak Ratih, aku mulai turun ke perut. “Mbak sering pipis, ato kalau batuk dan ketawa suka keluar pipis dikit ya?” kataku bertanya.

“Iya, dik.
Kamu kok tahu?” katanya kagum. Dia makin percaya.

“Ini lho, mbak, perutnya agak turun dikit,” kataku sok tau.

Aku lalu menekan bagian bawah perutnya untuk kusorong ke atas. Gerakan yang sangat pelan dan hati-hati ini tampak dia nikmati sekali. Mbak Ratih tampaknya sudah percaya penuh pada keahlian pijatanku, sehingga tidak perduli lagi kalau jembutnya ada yang keluar dari celananya. Dari perut aku mulai menelusur ke bawah sampai menyentuh jembutnya, tapi tentunya dengan gerakan memijat. Dia pasrah saja. Aku mengesankan pijatanku terganggu oleh celana dalamnya.
“Dik, buka saja kalo itu mengganggu. Kamu tidak malu kan?“
”Ya terserah, mbak, tapi memang sebaiknya dibuka biar tuntas mijetnya,” kataku sungguh-sungguh.

Mbak Ratih tidur telentang telanjang bulat. Aku jadi leluasa, dan kini aku berusaha merangsangnya agar dia makin tinggi lagi nafsunya.
Untuk mengesankan tidak berbuat kurang ajar, aku minta ijin tanganku masuk ke bagian memeknya.
“Mbak, maaf ya, jariku agak masuk ke dalam untuk mijet lubang pipisnya supaya nggak beser (sering kencing),“ kataku.

“Iya, dik, terserah. Pokoknya aku segar dan enak,” katanya.

Ini hanya taktikku saja untuk meraba clitoris dan G-spotnya. Mana mungkin lubang pipis bisa dipijet. Jari tengahku perlahan-lahan masuk ke vagina mbak Ratih sementara jempol mencari posisi clitoris. Mbak Ratih sudah tidak bisa menahan desisan dan erangan karena rangsangan hebat. Dua bagian paling sensitif kini aku rangsang. Tidak sampai tiga menit dia mengerang panjang sambil menjepit kakinya. Mbak Ratih mencapai dua orgasme sekaligus, orgasme clitoris dan G-spot.

Setelah kontraksinya selesai, kucabut jariku dari kemaluannyanya. Jariku belepotan cairan vaginanya yang banjir. Dia telentang lemas. “Aduh, dik, kamu memang benar-benar pintar. Kamu apa nggak ngaceng nggarap aku seperti ini, kok kelihatannya tenang-tenang saja?” katanya takjub atas ketenanganku.

“Ya ngaceng, mbak.
Masih muda masak nggak greng? Tapi aku kan menghormati mbak, jadi mana berani kurang ajar,” kataku kalem.

Mbak Ratih kelihatannya jadi merasa berhutang setelah dipuaskan. “Sudah, gantian kamu kupijat. Lepas semua bajumu.” katanya sambil berusaha membuka semua pakaianku.
Aku turuti semua kemauannya sampai aku akhirnya bugil. Disuruhnya aku telentang dan tangannya segera menggenggam penisku. Di kocok sebentar lalu dia mengambil posisi di antara kedua kakiku. Diciuminya sekitar alat vitalku dan aku menggelinjang kegelian. Dia lalu melahap batangku dan dihisapnya kuat-kuat. Dijilatinya seluruh bagian vitalku sampai ke lubang matahari.

Aku yang dari tadi sudah terangsang berat, tidak mampu menahan desakan ejakulasi. Ketika akan meletus, aku berusaha mengangkat mulut Mbak Ratih tetapi dia bersikeras tetap mengulum penisku. Aku tidak mampu membendung, maka pecahlah ejakulasi di mulutnya. Dia menelan semua air maniku, sehingga diakhir ejakulasiku aku merasa sangat geli dan ngilu.

Batangku masih tegang, mbak Ratih dengan segera menuntun barangku masuk ke liang vaginanya.
Dia mengambil posisi di atasku dan melakukan gerakan maju mundur. Batangku yang masih keras sehabis ejakulasi mulai menurun kekerasannya. Namun Mbak Ratih cukup piawai, dia berusaha mempertahankan batangku agar tetap berada di dalam vaginanya. Dia menghentikan gerakannya lalu melakukan aksi kontraksi. Batangku yang hampir melemas total jadi urung karena merasa dipijat oleh liang vaginanya. Rangsangan kedutan liang vagina mbak Ratih luar biasa, sehingga batangku mulai mengeras lagi.
Merasa kekerasan batangku memadai dia mulai melakukan gerakan maju mundur lagi, sampai batangku keras mendekati sempurna. Mbak Ratih mulai bergerak liar dan dia tiba-tiba ambruk memeluk diriku. Vaginanya berkedut menandakan dia mencapai puncak. Aku dimintanya berganti posisi. Setelah aku di atas gantian kini aku menggenjot mbak Ratih sambil mencari posisi yang memberi rangsangan paling maksimal terhadap kemaluannya. Setelah memperhatikan responnya, aku bertahan di satu posisi itu. Tidak sampai lima menit mbak Ratih menjerit lirih sambil menahan gerakanku, dia dapet orgasme lagi. Aku masih belum merasa tanda-tanda. Kini aku memusatkan perhatian pada rangsangan maksimalku untuk segera mendapat orgasme. Aku menggenjot cepat.
Mbak Ratih malah teriak, ”Dik, kasari aku, dik. Kasari!”
Aku makin liar menggenjot tubuhnya, aku merasa titik tertinggi sudah makin dekat. Mbak Ratih kelihatannya juga hampir nyampe. Pada satu titik aku akan segera meledakkan laharku dan ketika akan kucabut malah ditahan sama mbak Ratih. Rupanya dia merasa tanggung sebab juga akan muncak, Akhirnya kami nyampe berbarengan. Aku istirahat sebentar, lalu kembali berpakaian.

Aku diciumi Mbak Ratih seperti anak kesayangannya. “Dik, kamu hebat banget, jangan kapok yo, kelihatannya kalem, tapi luar biasa pinter.”

Aku hanya senyum-senyum, lalu keluar meninggalkan Mbak Ratih.
***
Selesai mengurut Mbak Ratih, kutinggalkan kamarnya. Dia tidur pulas. Badannya yang tadi pegal, sekarang mungkin sudah lemas. Mungkin juga luar dan dalam sudah melemas. Untuk menuju kamarku, aku harus melalui ruang tengah rumah kost-kostan ini. Di situ ada televisi cukup besar. Jam di dinding sudah menunjukkan jam satu malam, tapi masih ada suara TV. Kulongok Nia masih nonton sendirian.

Karena mulutku asem dari tadi nggak merokok, inilah kesempatanku ngrokok sambil nemenin si Nia nonton TV. Aku berjingkat pelan dengan langkah tanpa suara dan mencolek bahu Nia. Dia menoleh ke arah yang salah, ketika dia melihat ke arah sebaliknya, dia kaget.
“Sialan, lu, ngagetin gua,” katanya. “Nah lho, lu apain si Ratih, lama bener?” tambahnya sambil bernada curiga menggoda.

“Ya mijet lah,“ sahutku.

“Mijet, apa mijet?” tanyanya menyelidik.

“Ya mijet aja,” kataku sambil menyalakan rokok lalu duduk di sebelahnya.
“Bagus filmnya?” tanyaku.

“Seru nih, mau tidur jadi nanggung,” katanya. “Jay, masih kuat mijet gue kan?” katanya berharap.

“Sepuluh lagi juga masih,” kataku menyombongkan diri. Padahal jujur aja aku sudah lemes.

“Kalau gitu tolong dong, bahuku dipijet, “ katanya sambil mengubah posisi.

“Tunggu ya, kuhabiskan dulu rokok ini,” kataku. Selesai merokok, kuraih bahunya lalu aku mulai melancarkan pijatan. Nia ini orangnya manis.. Badannya lembut sekali dan rambutnya wangi. “Wah, boleh juga ini kugarap,” batinku. Perasaan lemes tadi jadi hilang berganti semangat berbalut penasaran.

“Kaku banget nih ototnya, gak pernah dipijet kali ya?” ujarku.

“Iya, aku udah lama nggak pernah pijet lagi, biasanya kalau di rumah aku punya langganan sih,” katanya. Nia kutaksir umurnya sekitar 24 tahun. Dia sudah selesai kuliah, dan sekarang bekerja di salah satu kedutaan asing.

Leher dan bahunya mulai lemes. Kini aku menekan-nekan punggungnya, dia menggeliat-geliat merasakan nikmatnya pijatanku. Sesekali dia bersendawa. “Wah, masuk angin nih, kalau dikerok pasti merah,” kataku asal kena.

“Emang lu bisa ngerok, gue sih hobi banget dikerokin,” katanya.

“Itu sih enteng,” kataku.

“Bener nih, tolong dong kerokin gue,” katanya.

“Disini?” tanyaku.

“Ya enggaklah, di kamar gua noh,” katanya sambil berdiri menarik tanganku. Rumah sudah sepi dan gelap. Aku digelandang masuk ke kamar Nia. Dia menyewa kamar sendiri. Kamarnya rapi dan baunya harum.

“Kerokannya pakai apa, Jay?” tanyanya.

“Pakai garpu kalau ada,” candaku.

“Hah, gila lu, nih pakai koin aja,” katanya.

“Ya pakai inilah, tapi jangan pakai balsem, pakai lotion aja,” kataku.

“Lho biasanya aku pake balsem, tapi ya terserah lu deh,” katanya sambil menyodorkan koin dan hand body lotion.
Ada maksud tersembunyi makanya aku menyarankan pake balsem. Mudahlah kalian menebaknya.

“Nia, aku nggak bisa ngerok kalau kamu pake daster gitu. Dengan segala hormat, kamu harus buka dasternya,” kataku.

“Paham, bos, paham. Sabar napa,” katanya sambil berdiri membelakangiku membuka dasternya. Dia ternyata nggak pake BH. Daster tadi ditutupkan ke teteknya lalu dia tidur telungkup.

Aku mulai beraksi mengerok punggungnya yang putih mulus. Hasil kerokanku memang merah bahkan cenderung merah tua. Dia ternyata masuk angin serius. Tadinya kukira dia hanya masuk angin bohong-bohong saja.

“Wah, ini sih masuk angin berat, pasti semua badanmu pegel-pegel ya?” kataku.

“Emang bener sih, malah rasanya rada panas dingin gitu, kayak orang mau demam,” katanya.

Sekitar 15 menit, selesai sudah semua punggungnya dikerok.
Aku menawarkan untuk dipijet sekalian biar otot-ototnya gak kaku. “Emang kamu nggak capek habis mijet mbak Ratih? Kalau kuat sih dengan senang hati dong,” katanya.

Aku mengambil posisi menduduki pantatnya yang bahenol, “Sorry ya, aku duduki,” kataku.
Kenyal bener pantat si Nia. Aku mulai melancarkan pijatan serius.
Dia terus menerus melontarkan pujian mengenai nikmatnya pijatanku sambil sesekali berkomentar, “Ya, ya, situ pegel banget. Aduh, kamu kok pinter, tau urat segala sih?” katanya.

“Kakinya mau sekalian dipijet apa, gimana?” tanyaku.

“Aduh, mau dong. Kebetulan kakiku pegel bener,” katanya.

Aku memulai dari telapak kaki, mencari simpul-simpul syaraf. Beberapa simpul aku tekan, dia menjerit kesakitan. Disini aku mulai lagi membual kalau beberapa organnya agak terganggu.

Satu simpul erotis aku tekan, dia menjerit. “Aduh, apaan tuh, kok sakit banget?” katanya.

“Jangan tersinggung ya, aku boleh terus terang nggak?“ pancingku.

“Iya, ngomong aja terus terang, kok pake nanya tersinggung segala,” katanya sambil meringis kesakitan.

“Bener ya? Ini simpul syaraf kalau sakit ditekan, mungkin nih, sekali lagi mungkin, lu rada frigid, atau dingin ama cowo. Nggak usah dijawab kalo malu,” ujarku.

“Eh, lu kok tau aja sih? Sejak gua putus ama pacar gua yang dulu, gua jadi benci ama cowo, makanya gua rada kurang suka aja kalau ada cowo deket-deketin gua. Wah, lu ternyata jago beneran nih, gua jadi nggak bisa nutup-nutupin rahasia nih. Eh, tapi sekarang udah gak sakit lagi kok, mencetnya dipelanin ya,” katanya.
Padahal aku makin keras menekannya. Kalau rasa sakitnya berkurang, berarti dia mulai cair dan bisa bergairah lagi. “Yang begituan jangan ditahan-tahan, lu bisa migren sampe mata lu merah sebelah,” kataku.

“Eh, gila, lu! Bener juga, gua suka migren. Kalau lagi kambuh, ampun sakitnya. Eh, dimana tuh syarafnya, bisa diilangin nggak penyakit gua yang suka kambuh itu?” katanya.

“Asal lu ijinin gua coba, sebab titik syarafnya tidak hanya di kaki tapi juga di pantat, tangan dan di bawah perut, dan di punggung.” kataku.

“Tolong dong sekalian, gua pasrah aja deh ama lu, kayaknya lu udah pakar banget sih,” dia mengharap.

Aku mulai memainkan titik-titik syaraf yang merangsang sambil juga titik syaraf migren. Sekitar 10 menit titik migren sudah mulai lemes, kini tinggal syaraf perangsangan yang aku mainkan. Ketika bagian pantat aku tekan-tekan dan beberapa titik di paha di bagian dalam, dia mulai mendesis.
“Gila lu, gua jadi konak, udah lama gua nggak ngrasain kayak gini, lu apain sih gua? Lu kerjain kali ya?”

“Tadi kan gua udah minta ijin, akibatnya kalau syaraf frigid di terapi kalau berhasil yang dingin jadinya panas, ya udah kalo gitu gua brenti aja sekarang,” kataku menantang.

“Eh, jangan-jangan. Nggak pa-pa, gua nikmati koq, lu terusin aja. Gua masih banyak ingin berkonsultasi ama lu, jangan marah yaa,” dia merayu. “Kepala gua sekarang kok jadi pusing sih, kayak penuh gitu lho, badan gua juga rasanya kayak merinding-merinding, kenapa sih gua ini?” ujarnya sambil menggeliat-geliatkan badannya.
Aku tahu Nia berusaha melawan rangsangan dirinya sendiri. Selama titik-titik sensual aku serang terus, dia bakalan makin konak. Aku menekan-nekan pantatnya. Dia mendesis-desis, entah sadar atau tidak tapi disertai pula dengan gerakan pantat ke kiri dan ke kanan. Kemudian dia kuminta telentang. Aku kembali mulai dari bahu. Nia masih malu sehingga teteknya masih ditutupinya dengan dasternya. Kubiarkan saja dia mempertahankan rasa malunya. Tapi aku yakin nanti akan dia buka atas kemauannya sendiri. Pijatanku mulai ke bawah di seputar teteknya, mulai kuurut dengan gerakan halus, naik turun, kadang melingkar dan sesekali naik sampai ke putingnya.

“Aduh, Jay, enak banget,“ Dia jadi tidak perduli bahwa penutup teteknya sudah tidak berfungsi lagi, sebab semua teteknya sudah menyembul keluar. Teteknya bulat padat dan cukup gembung, pentilnya kecil dan aerolanya tidak lebar, berwarna coklat muda.

“Maaf ya, Nia, ini untuk melancarkan peredaran darah sekitar toketmu, kalau dia menggumpal, bisa-bisa menjadi tumor. Aku mau kurang ajar dikit nih untuk mengaktifkan semua saraf di dadamu, kuterusin apa boleh?” tanyaku serius sambil berhenti memijat.

“Apa aja deh terserah, gua udah pasrah banget ama lu,” katanya sambil terengah-engah.

Putingnya aku sentuh dengan jari telunjuk lalu aku putar-putar dengan gerakan halus. “Rasa geli yang kamu rasakan itu ibarat mengaktifkan aliran listrik di semua syaraf yang bersimpul di puting. Jadi dengan rasa geli ini semua syaraf jadi tergugah dan aliran darah di sekitarnya makin lancar,” ini asli aku ngarang, sebab sebenarnya ini hanya trikku untuk lebih merangsang dia. Dan Nia rupanya mempunyai kelemahan di putingnya. Dia tidak mampu menahan rangsangan jika putingnya disentuh-sentuh.

“Aduh, Jay, sumpah gua jadi kepengen, gua jadi pusing. Aduh, gimana ini? Tolongin dong gua, Jay,” katanya memelas.

“Sabar ya, sayang, kita selesaikan dulu ini.” kataku. Pijat urutku mulai turun ke bawah. Bagian perutnya aku urut pelan lalu turun terus sampai ke pangkal pahanya. Jariku bebas menelusup ke bawah celana dalamnya. Dia sudah membiarkan saja aksiku meski seluruh permukaan mekinya sudah terjamah. Aku berlagak repot dengan celana dalam itu, sehingga Nia kemudian meloloskan celana dalamnya. Urat malunya udah kendor. Terpampanglah memek dengan bulu halus yang rapi dengan gundukan yang cukup gemuk. Aku kagum dengan bentuk memek Nia yang menggairahkan ini. Mungkin inilah yang disebut ’turuk mentul’.

“Bagaimana, masih pusing?” tanyaku.

“Iya, Jay, gimana dong?” katanya.

“Wah, ini simpul sarafnya sulit tempatnya, karena adanya di tempat yang paling rahasia,” kataku sambil berhenti mengurut.

”Dimana sih?” katanya mendesah.

“Di dalam sini,“ kataku sambil menepuk memeknya. “Kalau kamu ijinkan gue urut juga biar pusingnya hilang, tapi itu terserah kamu, aku sih ikut apa yang kamu mau,” ujarku dengan nada dingin.

“Iya, boleh-boleh. Please, dooooong,” katanya mengiba.

“Maaf ya,” aku minta ijin lalu jempolku menekan clitorisnya dan aku putar-putar lalu perlahan-lahan jari tengahku menyusup ke dalam liang vaginanya mencari titik G-spot.

G-spotnya sudah menyembul menandakan dia sudah sangat tinggi terangsang. Ibarat pria kalau dikocok sedikit saja pasti muncrat. Dia menggelinjang hebat ketika dua simpul sarafnya yang paling peka aku mainkan. Baru sekitar dua menit aku melakukan aksi itu, dia sudah mengerang dan akhirnya melengking panjang sambil menjepit kedua kakinya. Tapi tertahan oleh badanku yang berada di antara kedua kakinya. Kulepas jempolku dari posisi sentuhan ke clitorisnya, sementara jari tengah masih tetap berada di dalam. Liang vaginanya berkedut dan tiba-tiba memancar cairan agak kental sampai sekitar jarak sepuluh cm. Nia orgasme disertai ejakulasi. Pancarannya sekitar 4 sampai 5 kali seirama dengan kontraksi otot di dalam vaginanya. Nia lalu tergolek lemas.
“Aduh, Jay, seumur-umur gua baru ngrasain ini, gua tadi ngompol ya.” tanya Nia dengan mata yang terbuka sedikit dengan pandangan sayu.

“Iya, itu tadi kamu mencapai orgasme sempurna.
Gimana, sekarang masih pusing?” tanyaku.

“Wah, sekarang plong banget rasanya, dunia tambah terang kelihatannya. Cuma badanku jadi lemes banget, ngantuk sekali.”

“Ya udah, tidurlah,” lalu aku membantu menyelimuti badannya.

“Tunggu, Jay, rasanya ibarat makan sudah kenyang tapi kurang mantep kalau nggak makan nasi,”

“Apa laper mau makan nasi?” tanyaku bingung.

“Bukan, sini deh, Jay.” tanganku ditariknya dan aku terduduk, lalu dia bangun memeluk badanku sembari menariknya tidur diatas badannya. Nia lalu dengan ganas sekali menciumi seluruh wajahku lalu dia menyosor mulutku.
Aku dibawanya berguling sehingga dia sekarang menindih tubuhku. Nia duduk di atas badanku lalu dia memohon. “Jay, mau kan tolongin aku sekali lagi aja,” katanya mengiba.

“Apa pun yang tuan putri kehendaki, hamba siap, tuan putri,” kataku sambil tersenyum.

“Jay, puasin aku lagi yaaaaaa?” katanya sambil menarik t-shirtku ke atas lalu dia beralih duduk dan dengan sekali sentak ditariknya celana pendek dan celana dalamku, sehingga lepaslah kekangan penisku hingga benda itu segera mengacung ke atas.
Nia lalu menyergap batangku dan dilumatnya habis dengan penuh nafsu. Dia menjilati semua bagian kemaluanku seperti anak-anak menjilat ice cream horn. Aku pasrah dan menutup mata. Dua ronde sebelum ini membuat aku mampu bertahan dan menenangkan kobaran nafsuku.

Nia sudah tidak sabar lagi lalu jongkok di atas burungku dan dengan panduan tangannya dituntunnya batangku masuk ke dalam lubang vaginanya. Perlahan-lahan sampai semua tertelan habis. Nia melakukan gerakan naik turun. Posisi ini sebenarnya kurang membuat dia bergerak bebas dan cepat melelahkan, makanya tidak lama kemudian dia mendudukiku dan melakukan gerakan maju mundur. Nia kelihatannya memposisikan sentuhan penisku ke pusat-pusat saraf kenikmatannya, baik itu clitoris dengan dibenturkan ke permukaan jembutku maupun G-spot dengan batangku.
Dia berjuang dengan gerakan maju mundur sekitar lima menit mungkin sebelum akhirnya mengerang dan ambruk ke badanku. Nafasnya tersengal-sengal. Vaginanya berkedut cukup lama, meskipun makin lama makin jauh tenggang waktu gerak kontraksinya.
“Aduh, enak banget, Jay, makasih ya,”

“Aku belum bisa membalas terima kasih kembali,” kataku sambil tersenyum.

Nia tidak mengerti, dia mengernyitkan dahinya. Aku tidak memberi kesempatan dia berpikir panjang , aku segera membalikkan posisi sehingga di tidur telentang dan aku menindihnya. Setelah posisi agak leluasa aku mulai menggenjot dengan gerakan lambat dan konstan.
“Aduh, Jay, cepet dikit donk, aku udah terasa diujung nih.” rintihnya.
Aku tidak menuruti kemauannya, sehingga dia tertunda-tunda pencapaian orgasmenya. Sampai titik dimana aku sudah merasakan rangsangan hebat aku segera mempercepat genjotanku dengan menabrak-nabrakkan gumpalan memeknya keras-keras.
“Aku nyampe! Aku nyampe, aaaaaaa!” erangnya.

Mendengar itu, aku makin terangsang dan meletuslah spermaku menyemprot liang memeknya. Aku tidak sempat menarik keluar karena pantatku ditahan tangan Nia dengan tarikan yang kuat sekali. Aku telentang terbujur disampingnya. Nia memelukku.
“Jay, kamu tadi sama mbak Ratih gini juga ya?” tanya Nia.

“Ah, itu kode etik, nggak bisa diceritakan.
Apa mau permainan ini aku ceritakan ke orang lain juga?“ tanyaku.

“Sorry, aku terbawa perasaan. Iya deh, aku paham. Btw, aku thanks banget ama kamu ya.“ katanya.

Aku bangkit kembali berpakaian dan kuselimuti Nia. Sebelum keluar kamarnya kukecup keningnya, “Bobo ya, sayang,” kataku singkat yang sepertinya klise, tapi jika dilantunkan pada saat yang tepat, dia menjadi mantera yang ampuh.

0 komentar:

Posting Komentar