Aku terlahir dari keluarga yang
sederhana. Saat aku kelas 2 SD, ibu memutuskan untuk bercerai dengan ayah. Alasannya
karena tabiat ayah yang suka berselingkuh. Ibu akhirnya memutuskan untuk
menjadi TKW. Awalnya aku tinggal dengan nenek dari ibu, tapi dua tahun
kemudian, aku ikut ayah karena nenek meninggal. Aku tinggal bersama orang tua
ayah karena ayahku sering kerja keluar kota sebagai sopir sebuah perusahaan.
Ayah sudah menikah lagi dengan
wanita muda, tapi hanya bertahan kurang dari setahun. Kemudian saat aku kelas 5
SD, dia menikah lagi dengan wanita yang sudah mempunyai anak. Aku sempat dibawa
ayah pindah, tapi kembali, saat aku masuk kelas satu SMP, mereka berpisah lagi.
Akhirnya, saat di pertengahan kelas dua SMP, kembali ayah menikah. Kali ini
bersama wanita tanpa anak, sebut saja namanya bu Siti, wanita alim dan
berjilbab yang berusia hampir 30 tahun.
Aku kembali dibawa ayah, karena bu Siti punya rumah dan hanya tinggal sendirian. Bu Siti di mataku merupakan wanita yang baik dan murah senyum. Saat pertama ketemupun, aku sudah akrab dengannya, karena dia sangat berbeda dengan dua ibu tiriku sebelumnya yang kadang mengajakku bicara hanya jika ada ayah saja. Bu Siti sangat memperhatikan keperluanku, bahkan sangat detail. Dari pelajarang sampai makan pun sering kali dia ingatkan. Sungguh, aku melihatnya sebagai wanita sempurna pengganti ibuku.
Karena bu Siti punya usaha
sendiri -jualan makanan ringan yang dia buat lalu dia titipkan di toko-toko-
dia dengan leluasa memberiku uang jajan, bahkan sering kali berlebih. Dia hanya
menyuruhku untuk menabung kalo ada sisa uang jajan.
Empat bulan pertama perkawinan
mereka, sungguh kelihatan bahagia. Tapi kemudian ketika ayah jadi sering keluar
kota. Bu Siti kelihatan sering sedikit murung, apalagi jika ditinggal agak
lama. Tapi biasanya ketika ayah kembali, kemurungannya seperti sirna. Sungguh, lama-lama aku
bisa merasakan bahwa dia sangat kesepian kalau ditinggal ayah. Tapi di depanku,
dia selalu berusaha bersikap tanpa masalah. Bahkan kadang, tak jarang jika dia
jenuh, dia mengajakku ke kota, sekedar makan bakso atau membelikanku pakaian. Sungguh
aku bahagia dengan perhatian beliau.
Sampai akhirnya, ketika aku
liburan kenaikan ke kelas tiga SMP, kulihat bu Siti kembali murung karena ayah
pergi sudah hampir empat hari. “Ayah
memang pulangnya kapan, bu?” tanyaku.
“Katanya semingguan,” jawab bu Siti.
“Ibu jangan murung aja, kan ada
aku yang menemani disini.” kataku.
Bu Siti tersenyum, ”Nanti malam
tidur di kamar ibu lagi ya?” katanya.
Aku mengangguk. Kadang memang
ketika ayah pergi, aku tidur di kamar ayah. Aku tidur di lantai, sementara
ibuku di ranjang. Malam itu, saat hendak memejamkan mata, kulihat bu Siti
gelisah di atas ranjangnya. Dia sudah melepas jilbabnya, bisa kulihat rambut
hitamnya yang lurus sepunggung. Aku kasihan kepadanya, tapi aku tak bisa
melakukan apa-apa.
Esok harinya, badanku sedikit
demam, tapi aku kembali menemani beliau. Sebelum tidur, kami sempat berbincang. ”Kamu dingin
nggak di lantai? Kalo nggak, tidur di kamar kamu aja.” katanya.
”Nggak apa-apa, bu. Nggak dingin
kok.” jawabku. Dari maghrib hingga hampir jam 10 malam, hujan memang turun
tanpa henti. ”Ibu kok masih gelisah?” tanyaku kemudian.
“Ah, nggak apa-apa. Biasa aja
kok.” katanya. ”Ya udah, kamu tidur di atas aja, daripada masuk angin.” ucapnya
lagi.
Aku menurut. Dia sempat
membelai-belai rambutku saat aku bertanya, “Bu, kenapa sih kalo ayah gak ada,
ibu suka resah?” tanyaku.
”Kamu nggak akan ngerti,” katanya.
”Pasti ibu kesepian ya? Kan ada
aku, bu, masa masih sepi?” kataku bodoh.
Dia tersenyum dan melingkarkan
tangannya di pundakku. Usapannya sungguh sangat menghangatkan, sampai tak sadar
aku mulai merapatkan badanku ke tubuh montoknya dengan posisi tengkurap. Oh ya,
hampir lupa ngasih tahu, ibu tiriku ini punya tetek dan pinggul yang besar. Aku
baru menyadari setelah sering tidur sekamar dengannya. Sekarang bisa kurasakan
tonjolan payudaranya yang empuk itu mengganjal lembut di dada dan bahuku.
”Dingin ya?” tanya bu Siti
ramah, sama sekali tidak berusaha untuk menarik atau menjauhkan tubuhnya.
”Iya,” sahutku pendek.
Bu Siti kemudian mendekapku
erat. Sungguh, entah kenapa, tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Apalagi saat
dia mengusap punggungku dan makin menekan tonjolan payudaranya ke bahuku. Tanpa
sadar aku mulai memeluk pinggangnya.
”Kamu suka ibu peluk gini?” katanya.
”Iya, bu. Suka.” jawabku polos.
Dan makin kudekap erat pinggulnya. Kuusap-usap bulatan bokongnya yang bulat dan
padat dengan jari-jariku. Lama-lama kudengar nafas bu Siti mulai berat dan tidak
teratur. Aku dapat mendengar debaran jantungnya yang berdetak semakin cepat karena
wajahku sangat dekat dengan dadanya.
“Duh, ibu jadi kangen ayah,” katanya
setengah mendesah.
”Kan ada aku, bu.” kataku sambil
kurapatkan wajahku di bulatan buah dadanya. Perlahan kurasakan tangan bu Siti
mengusap pantatku. Aku makin deg-degan. Entah sadar atau tidak, dia malah
meremas selangkanganku.
”Masih nggak enak badan?” tanyanya
sambil mengusap-usap burungku yang mulai terbangun.
”Udah nggak gitu, bu.” jawabku,
lalu merintih keenakan. ”Eghhh,”
”Kenapa kok gemetaran, takut ya
dipeluk ibu?” tanyanya menggoda.
”Bukan, bu. Gemetar karena dingin.”
jawabku sekenanya, malu untuk bilang kalau aku lagi menikmati belaian tangannya
di batang penisku.
”Ya sudah, sini masuk selimut
ibu.” katanya kemudian. Dia pun membagi selimutnya yang lebih tebal dibanding
selimutku. Tubuhku semakin bergetar saat kakiku bersentuhan dengan kakinya, tangannya
masih setia mengelus pantat dan selangkanganku. Kemudian tangan itu kurasakan
mendorong pinggulku, tapi aku agak bertahan, tetap tengkurap di atas tubuh
semoknya.
”Kenapa, takut? Ini supaya kamu nggak
sesak aja.” katanya sambil tersenyum.
”Nggak, bu.” jawabku pendek. Aku
menyadari bahwa kemaluanku ternyata sudah berdiri tegak, kaku dan keras sekali.
Ini semua akibat usapan tangan bu Siti. Malu
kalau dia sampai mengetahuinya, dengan cepat aku beringsut, sedikit agak
menjauh darinya. Kurasakan tangannya mengejar, ingin kembali mengusap dan
mengelus batang kontolku. Aku sedikit bergerak agak menjauh lagi, lalu kuambil
bantal dan menutupkannya ke depan celanaku.
”Kenapa?” tanyanya.
”Nggak apa-apa, bu.” kataku.
”Kok bergeser, kenapa hayo?”
tanyanya lagi.
Karena tidak punya alasan, dan
malu untuk mengatakan yang sebenarnya, aku akhirnya kembali merapatkan tubuhku
kepadanya. Tangan bu Siti kurasakan hendak menarik dan mengambil bantalku. ”Jangan,
bu.” kataku mencegah.
”Emang kenapa?” tanyanya.
”Nanti aku kedinginan.” ah,
alasan yang sungguh bodoh.
”Ya udah sini, ibu peluk.” sambil
berkata begitu, tangannya tiba-tiba menyelusup ke dalam bantal hendak memelukku,
dan... ”Ooh!” desisnya saat menyenggol benda keras yang ada di baliknya.
Kurasakan mukaku pedas dan
memerah. ”Eh, maaf, bu.” hanya itu yang bisa kurasakan.
”Nggak apa-apa, nggak usah malu.
Burung memang suka bangun kalau udara dingin. Makanya rapetin ke ibu biar
anget. Nggak apa-apa kok,” katanya lirih.
Agak sedikit ragu, kuikuti sarannya
hingga posisiku sekarang agak sedikit menyamping tapi sangat rapat ke tubuhnya.
Kembali tangan bu Siti bergerak untuk meraba pantatku, tapi kali ini dengan
sedikit meremas. ”Burungmu masih tegang?” tiba-tiba dia bertanya.
”I-iya, bu.” jawabku. Entah
sudah seperti apa mukaku saat itu. Apalagi saat kemudian kurasakan tangannya mulai meraba
bagian kemaluanku. Celana boxerku yang tipis makin memperjelas bentuk kontolku
yang bangun.
”Boleh ibu pegang?” tanyanya.
Aku hanya diam. ”Kan sudah dari
tadi ibu pegang,” rutukku dalam hati. Tapi aku cuma mengangguk, memberinya ijin
untuk berbuat apa saja pada tubuh kecilku.
Dia tersenyum, kemudian
menyelusupkan tangannya ke dalam boxerku. ”Ih, keras amat!” katanya, campuran
antara kaget dan gemas. Aku hanya tersenyum.
”Sini, lebih rapat.” katanya
lagi. Aku mengangguk, kemudian perlahan, kurapatkan tubuhku hingga kemaluanku menempel di perut bu Siti.
Hangat sekali rasanya. Sesaat kami terdiam, bu Siti masih terus mengusap dan
mengelus-elus penisku dari dalam celana. Kurasakan jari-jarinya begitu lembut
dan hangat membungkus batang kontolku. Aku hanya bisa mendesah dan mengerang
menikmatinya.
Masih dalam lindungan selimut,
bu Siti membimbingku. Ia melepas genggamannya sejenak di batang kontolku untuk kemudian
meraih tangan kiriku dan meletakkan di atas bongkahan pantatnya. Setelah itu
dia meraba pantatku dan menariknya hingga makin rapat ke daerah kemaluanya. Satu
kakinya kemudian kurasakan naik di pahaku.
”Nggak apa-apa, kamu nurut aja.”
katanya.
”I-iya, bu.” jawabku bingung,
memang siapa juga yang mau nolak? Meski tidak mengerti apa yang dia inginkan,
tapi aku akan mengikuti permainannya.
Kemudian kurasakan tangan bu
Siti mulai menurunkan celana bagian samping kiriku, sesaat kemudian dia menarik
bagian tengah, hingga aku tahu, kontolku sudah berada di luar sekarang. “Bu?” kataku
gemetar saat kurasakan ujungnya menyundul tepat di depan kemaluan bu Siti yang
masih terbalut celana dalam. Tapi aku tahu, bagian itu sudah sangat basah dan
hangat.
”Kenapa? Takut?” tanyanya tanpa
rasa bersalah.
”Nggak kok, bu. Nggak apa-apa.” jawabku
dalam bingung.
”Kalau gitu sini, rapetin ke
badan ibu.” katanya. Aku hanya mengangguk. Tangannya kemudian bergerak,
membimbingku agar membantu melepas celana dalamnya. Saat benda itu sudah turun
hingga ke dengkul, kembali kurasakan kehalusan kulit paha dan bokongnya saat bu
Siti menyuruhku untuk mengusap-usapnya lagi.
Bu Siti sendiri memegang
kemaluanku dan menariknya merapat ke tubuh sintalnya. Kali ini bukan kain yang
kurasakan, tapi seperti bulu-bulu halus yang sungguh licin dan hangat. Mataku
pura-pura aku pejamkan saat tangannya mulai menggerakkan batang kontolku hingga
kurasakan kemaluanku itu melalui sesuatu yang makin lama makin terasa hangat
dan basah. Tubuhku bergetar, aku sadar apa yang telah dia lakukan, tapi aku tak
kuasa untuk menolak. Karena jujur, aku juga menikmati dan menginginkannya.
Akhirnya, sebagian kontolku
telah masuk ke lubang yang sangat sempit dan lengket itu. Hangat, geli, dan
nikmat kurasakan, apalagi saat tangan bu Siti mulai menekan pantatku, membuatku
batangku makin melesak dan menusuk semakin dalam. Sesekali dia menggerakkan pinggulnya
perlahan agar kontolku bisa lancar menerobos liang vaginanya. Saat sudah masuk
seluruhnya, bu Siti mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur, sedangkan aku
cuma diam, tak tahu apa yang harus kulakukan.
Jepitan memek ibu tiriku itu
kurasakan begitu nikmat, hingga tak lama kemudian kurasakan suatu aliran hendak
memancar keluar dari batang penisku. “Bu,”
kataku perlahan.
”Kenapa?” tanyanya, masih terus menggenjot dan menggoyang tubuh
sintalnya.
”Nggak tahu, kayak ada yang mau keluar,” jawabku.
”Nggak apa-apa, keluarin aja.” katanya sambil mengecup pipiku penuh rasa
sayang.
Tanpa sadar, kudekap tubuh mulus bu Siti erat-erat, dan tiba-tiba kontolku
berdenyut hebat. Kurasakan aliran panas keluar dari benda itu, sungguh sangat nikmat
rasanya, begitu luar biasa. Berkali-kali semprotanku itu memancar deras,
mengisi liang kemaluan ibu tiriku itu hingga menjadi semakin basah. Bu Siti
sendiri berhenti menggoyang, dia menekan penisku dalam-dalam hingga saat
kontolku kutarik keluar, tidak ada sedikit pun cairan yang tertumpah.
Lima menit kami berpelukan erat, hingga akhirnya kurasakan bu Siti
merapikan celanaku dan memasukkan kembali burungku yang sudah melembek dan
melemah. Masih di balik selimut, dia kemudian bangkit dan melepas celana
dalamnya. Kulihat bokongnya yang bulat dan putih mulus saat dia berjalan keluar
untuk pergi ke belakang karena dasternya masih berada di atas pinggang. Tak
lama, dia kembali dan memberiku minum. Setelah kuhabiskan air es itu, kembali aku
tengkurap dibalik selimut tebal, bu Siti berbaring di sampingku. Kami terus
diam, mungkin selama satu jam lebih, tapi aku tak bisa tidur. Saat berbalik, kulihat
bu Siti masih duduk menyandar di tembok.
“Ibu belum tidur? Ini selimutnya.” kataku sambil hendak memberinya
selimut yang kupakai.
”Nggak usah, ibu cuma belum ngantuk.” jawabnya. ”Maafkan ibu ya?”
tambahnya kemudian.
“Nggak apa-apa kok, bu.” kataku.
”Kamu nggak marah? Ibu hanya rindu ayah,” jelasnya.
”Buat apa marah? Aku malah
merasa enak kok, aku juga nggak akan bilang sama ayah.” jawabku.
Dia tersenyum. ”Kamu sendiri, kenapa
belum tidur?” katanya.
”Nggak tahu, bu. Nggak ngantuk
juga. Nungguin ibu tidur dulu aja,” jawabku.
”Iya, makasih.” katanya.
”Ibu jangan murung, kan sekarang
ada aku disini.” kataku sok dewasa.
Dia tersenyum. Bu Siti kemudian
meraba-raba punggungku yang tengkurap, lalu pantatku, dan juga pahaku. Tiba-tiba
wajahnya mendekati wajahku dan kemudian mengecup bibirku. Aku hanya tersenyum saat
tangannya mulai masuk ke balikboxer dan meremas pantatku. Aku diam dan
membiarkannya.
”Ibu belum ngantuk,” katanya.
”Aku temani kok, bu.” jawabku,
masih tak mengerti kalau ibu tiriku masih belum tuntas tadi. Dadaku kembali
berdegup kencang saat perlahan tangannya mulai menarik turun celanaku. Aku
menurut, dan dengan cepat, tubuhku sudah setengah telanjang sekarang. Masih
berbalut selimut, boxerku sudah luruh jatuh ke lantai. Dengan gemas, bu Siti meremas-remas
dua bongkahan pantatku. Ia memijitnya sambil sesekali menyenggol buah zakarku. Hingga ketika sudah tak
tahan, ia pun akhirnya ikut masuk ke dalam selimut.
Jantungku terasa berdebar saat
dia membalikkan tubuhku. Aku menurut saat kaosku dia tarik. Aku akhirnya
telanjang dalam selimut. Aku tahu, bu Siti pun mulai melucuti pakaiannya hingga
kami sama-sama telanjang, kemudian wajahnya masuk dalam selimut. Kurasakan
kecupan di dadaku, lalu pusarku, hingga akhirnya kurasakan mulutnya mulai
menghisap batang kontolku yang sudah sedikit menegang lagi. Tak lama, dia
merapatkan tubuhnya di atasku, kemudian dia kembali mencium bibirku.
“Kita lakukan lagi ya?” tanyanya.
”I-iya, bu.” jawabku senang.
”Kamu di atas ibu, mau gak?” tanyanya.
Aku mengangguk.
Aku pun bergerak saat tubuh molek
bu Siti terbaring di sampingku. Perlahan dia meregangkan kakinya saat aku telah
berada di atas tubuhnya. Satu tangannya kurasakan memegang kontolku, dan
perlahan mengarahkannya ke lubang kemaluannya. Kembali kurasakan nikmat saat
kontolku mulai masuk ke lubang sempit itu. Saat sudah tenggelam seluruhnya, dia
menaik-turunkan pinggangku dengan tangannya. Dia begitu sabar dan telaten
mengajariku bersetubuh. Lama-lama, akupun mulai bergerak sendiri, menggenjot
tubuh sintalnya dengan tusukan penisku.
”Oh, nikmatnya! Ehsss... enak!” desah
bu Siti.
Aku terus menggenjotnya hingga
peluh mengucur deras di dahiku. Bu Siti mengusapnya. ”Kamu capek nggak?” tanyanya.
”Enggak, bu.” jawabku sambil
terus menggenjotnya. Setengah jam lebih aku berada di atas tubuhnya, sampai
akhirnya.... akupun mengejang, dan kembali kusemprotkan cairan kenikmatanku.
”Bu, jangan bilang ayah ya?” kataku
dengan nafas tersengal karena nikmat.
“Ya nggak lah, nanti pasti ibu
yang disalahin.” katanya.
Malam itu, hingga pagi tiba, kami
tidak bisa tidur. Kami terus bermain dan bermain. Tak bosan-bosannya aku naik
ke atas tubuh bu Siti, menggenjot tubuh mulusnya, dan menumpahkan spermaku di
dalam lubang kemaluannya. Satu kali aku moncrot di dalam mulutnya, saat ibu
tiriku itu asyik mengulum penisku setelah dia orgasme. Yah, aku akhirnya
berhasil mengantarkannya ke nikmat persetubuhan. Dia tampak bahagia sekali,
begitu juga dengan aku.
Jam lima pagi, baru aku tertidur.
Sementara bu Siti keluar untuk mandi dan membersihkan tubuhnya. Kukira setelah
itu dia akan tidur juga, tapi saat aku bangun jam dua siang, kulihat bu Siti tidak
ada di sampingku. Masih dengan tubuh telanjang, kudatangi dia di dapur.
Kudengar suara senandung merdunya dari sana. Kulihat ibu tiriku itu sudah rapi
dengan baju terusan panjang dan jilbab lebar seperut. Dia tampak sibuk menyiapkan
makan siang.
”Makan dulu aja, mandinya nanti.”
katanya sambil tersenyum. Aku tidak membantah. Bu Siti tertawa saat melihat
burungku yang menciut sebesar jempol kaki. ”Itu capek banget kayaknya, nggak
bangun sama sekali.” tunjuknya.
Aku mengangguk malu. ”Iya, bu.
Capek habis disuruh melek semaleman.” candaku. Dan kami tertawa berbarengan.
Selesai makan, aku langsung
mandi. Keluar dari kamar mandi, saat masih basah dan mengenakan handuk, aku melintas
di dekat bu Siti yang duduk di dekat meja makan. ”Maafkan ibu ya?” katanya.
“Maafkan apa, bu? Ibu nggak ada
salah kok.” jawabku santai.
“Gara-gara ibu, kamu jadi korban.”
katanya.
”Saya nggak merasa jadi korban
kok, bu.” kataku, hanya kata-kata itu yang terlintas di pikiranku.
Tiba-tiba tangan bu Siti meremas
handuk yang menutup kemaluanku. Aku hanya diam, dan tak lama, kontolku mulai
bereaksi. ”Ibu mau lagi?” kataku.
”Ah, nggak juga. Kalau kamu?”
tanyanya.
”Terserah ibu,” jawabku.
Tiba-tiba handukku ia lepas. Bu
Siti terus memandangi kontolku yang kini sudah mengacung tegak. ”Ibu sudah
salah, bulu kamu aja masih tipis, tapi kamu harus mengalami hal ini.” katanya.
”Nggak apa-apa, bu. Aku suka kok.”
jawabku, lalu kudekatkan kontolku ke mulutnya. Dia tersenyum, dan perlahan mulai
mengulum dan menjilatnya. Bu Siti setuju saat aku mengajaknya masuk ke kamarku. Akhirnya, kembali sore
itu aku menggenjot tubuh mulusnya.
Kami terus melakukannya, siang
dan malam. Hingga dua hari kemudian, ayah pulang. Aku lebih banyak diam di
kamarku daripada takut ayah melihat hal aneh, karena aku masih merasa risih dan
bersalah karena sudah bercinta dengan istrinya. malam harinya, aku tak dapat
tidur. Aku
tahu pasti, sekarang bu Siti pasti sedang bergumul dengan ayah, karena sejak
jam sembilan, mereka sudah masuk ke kamar.
Senin, saat sekolah baru mulai, hari
baru sekitar jam lima pagi ketika aku selesai mandi. Ayah masih terlelap karena
kemarin pulangnya agak malam. Baju seragam telah kupakai. Aku lalu pergi ke
dapur hendak mengambil minum. Kulihat bu Siti telah selesai membuat nasi
goreng. “Kamu kok banyak diam, kenapa?” tanyanya.
”Nggak apa-apa, bu.” jawabku.
”Bilang aja, kita kan sudah
janji nggak ada rahasia-rahasian.” katanya.
“Nggak, bu. Cuma, anu...” kataku
terputus. ”Nggak ah, nanti aja.” kataku kemudian. Aku lalu masuk ke kamarku. Sesaat
kulihat bu Siti mengikutiku. Aku sedang merapikan tasku saat perlahan kurasakan
tangannya mengusap pundakku, kemudian tangannya yang lain meraba daerah
kemaluanku.
”Ibu kangen,” bisiknya sambil
meremas-remas kemaluanku.
”Jangan, bu. Nanti ketahuan ayah.”
bisikku takut.
”Dia bangunnya siang,
kelelahan sehabis main semalam suntuk sama ibu.” kata bu Siti nakal.
Mendengarnya, kontolku langsung menegang. ”Sini,” katanya mesra. Perlahan dia
bergerak ke balik pintu kamarku, aku mengikutinya. Tangannya kemudian menarik
turun resletingku, dan kembali, aku hanya diam. Bu Siti menarik kontolku
keluar, dia tersenyum saat melihatnya sudah kaku dan keras.
”Mau nggak?” tanyanya
sambil menjilati batangku hingga basah kuyup.
Aku mengangguk. Bu Siti kemudian
menarik gamisnya ke atas, menjepitnya di perut, dan kemudian perlahan menurunkan
sedikit celana dalamnya hingga ke dengkul. Dia bersandar di pintu,
membelakangiku. Bisa kulihat memeknya yang tembem menguak lebar. Ada sedikit
sisa sperma ayah disana. Kuusap-usap perlahan benda itu sambil aku
mempersiapkan penisku.
”Ibu masih kurang habis
digarap ayah habis0habisan semalam?” tanyaku polos. Tanganku meremas-remas
sebentar bulatan payudaranya.
”Ayahmu cuma mau menang
sendiri, nggak ngerti kebutuhan ibu. Sudah, cepat masukkan. Nanti kamu
terlambat ke sekolah.” katanya sambil mengangkangkan kakinya semakin lebar.
Perlahan, di balik pintu
kamarku, aku mulai menusukkan kontolku, dan saat sudah amblas seluruhnya,
segera menggerakkannya maju mundur dengan cepat. Bu Siti mengimbangi genjotanku
dengan memutar pinggulnya berlawanan arah dengan tusukanku. Kami terus
melakukannya walau dengan sedikit ketakutan karena ayah lagi ada di rumah. Tapi
ketenangan bu Siti menenangkanku. Dan sensasi main dalam suasana seperti
benar-benar luar biasa. Tak lama, akupun mulai merintih. Pejuhku rasanya sudah
mau muncrat.
Segera kudekap tubuh
montok bu Siti, dan... ahh! ahh! kutahan nafasku berbarengan dengan keluarnya
air maniku. Begitu juga dengan bu Siti, dia juga menyemburkan cairan
kenikmatannya. Memeknya terasa begitu penuh sekarang. Saat kucabut penisku, cairan itu
meleleh keluar membasahi paha dan betis bu Siti, beberapa bahkan ada yang
menetes di lantai. Kami tertawa berbarengan saat melihatnya. Begitu puas,
begitu nikmat.
“Sarapan enak di pagi
hari.” bisik bu Siti nakal. Aku tersenyum dan mengecup pipinya. “Kalau nanti kamu
mau lagi, bilang aja, jangan diam aja.” katanya, seolah tahu keresahanku.
”Nanti kita cari waktu dan tempat yang pas.” dia menurunkan kembali gamis
hitamnya dan merapikan jilbabnya yang awut-awutan.
Kami keluar dari kamar.
Bu Siti meneruskan acara memasaknya, sedangkan aku, setelah sarapan dan mencium
tangannya, segera berangkat ke sekolah.
Sejak itu, kami makin dekat. Saat
ayah tak ada di rumah, bukan lagi masalah bagi bu Siti. Bahkan merupakan
anugrah baginya, juga bagiku. Kami tidak sungkan lagi untuk saling meminta dan memuaskan.
Aku sendiri sangat menikmatinya, siapa juga yang tidak senang bisa meniduri
wanita cantik dan molek macam bu Siti. Yang menurut pandangan orang luar sangat
alim dan lugu, tapi ternyata nakal dan liar soal urusan ranjang.
END
0 komentar:
Posting Komentar