Rabu, 19 Februari 2014

HAREM 3

Punya banyak sasaran genjotan kalau di alam khayal rasanya nikmat banget, tapi mengalaminya di alam nyata tidak begitu. Meski aku sudah menelanjangi mereka, tetapi aku tetap menjaga perasaan mereka, sehingga aku menjaga diri untuk tidak mengambil inisiatif. Aku berusaha tampil lugu, bahkan cenderung culun.

Kelihatannya mereka masing-masing tau kalau aku sudah bermain di antara sesama kolega. Tapi karena konvensi, atau perjanjian yang tidak tertulis, mereka saling menjaga perasaan.

Namun ada hal-hal yang tidak bisa mereka tutupi atau tidak sadar melakukannya. Aku sering kali dilendoti dan diciumi (walaupun hanya di pipi). Entah kenapa setiap hari di awal pertemuan mereka selalu menciumku.

Aku jadi merasa rikuh kepada Juli, Ita dan Niar. Mereka tentunya tidak bisa seakrab teman-temannya yang pernah aku timpa. Mohon juga dipahami, aku tidak pula berusaha bernafsu menggarap mereka bertiga. Apakah jika aku bisa menggarap semua wanita di tempat kost ini aku bisa menepuk dada sebagai jagoan. Mau pamer ke siapa, lantas apa pula manfaatnya. Kurasa itu hanya kesombongan yang tidak bisa dibanggakan.

Sesungguhnya aku tidak ingin membeda-bedakan atau mengkotak-kotakkan pertemanan di rumah ini, antara yang sudah kugarap dengan yang belum. Aku berusaha akrab dengan semuanya tanpa membedakan mereka. Cewek-cewek di rumah ini masing-masing punya kelebihan, meski pun cantik dan ayunya berbeda-beda. Aku jamin lelaki siapa pun kalau disuruh memilih satu diantara mereka untuk dipacari pasti bingung. Sebab memang semuanya menarik.

Juli, Ita dan Niar termasuk gadis-gadis yang gila kerja. Di usia mereka sekitar 25 tahun, mereka mungkin sedang berada di jenjang karir yang menjanjikan. Dari penampilannya, terlihat gaji mereka cukup besar. Dulunya mereka kuliah di akademi sekretaris yang kuceritakan diawal kisah ini, tetapi karena merasa betah, sampai setelah bekerja pun mereka tetap bertahan di kos-kos ini.

Di antara ketiga orang ini, Ita lah yang mempunyai kelebihan daya tarik. Susunya besar sekali, seperti tidak seimbang dengan tubuhnya yang cenderung kurus. Temanku orang Jawa menyebutkan penampilan Ita sebagai Wongso Subali (Wong e Ora Sepiro, Susu ne sak Bal Voli / Orangnya tidak seberapa, tetapi payudaranya sebesar bola Voli). Kulitnya tidak putih cenderung sawo matang. Tingginya sekitar 160, cukup tinggi bagi rata-rata cewe melayu. Namun di balik kelebihannya itu, dia mempunyai kekurangan. Ketiaknya baunya kurang sedap, seperti bawang mentah. Apalagi kalau dia berkeringat, satu ruangan seperti terpenuhi oleh bau ketiaknya. Cewek-cewek yang kebetulan berada di ruangan itu, sebentar-sebentar menggesekkan hidung. Tapi Ita sepertinya tidak merasa, dia menjadi penyebab sumber polusi udara.

Mungkin tidak ada yang berani menegur, Ita. Masalah itu rasanya terlalu sensitive. Untungnya Ita tinggal di kamar sendiri, tidak berbagi (share) dengan yang lain. Kalau dia joinan sekamar dengan orang lain, pasti temennya mabuk kepayang.

Aku berpikir keras mencari cara untuk menyampaikan kekurangannya itu. Kesulitan yang kurasakan adalah Ita orangnya agak tertutup dan cenderung pendiam. Dia lebih sering mengurung diri di kamarnya daripada ngrumpi.

Suatu hari kami keluar dari rumah bersamaan menuju halte bus. Jaraknya halte memang tidak begitu jauh, karena ada jalan pintas melalui gang. Kami ngobrol tanpa isi, tetapi menjelang sampai halte aku melontarkan, “Ta, sebenarnya gue pengin nyampein sesuatu yang sangat penting untuk kamu.”

“Apa sih, sekarang aja kenapa?“ jawabnya dengan wajah penasaran.

“Ntar aja lah, Ntar malam di rumah, pokoknya penting banget buat kamu,” kataku. Meski dia berkali-kali mendesak agar aku menceritakan secuil info yang akan aku sampaikan nanti, tapi aku tetap bertahan bahkan menambahkan kata-kata yang makin bikin dia penasaran.

Kami berpisah, karena bus kami masing-masing berbeda jurusan. Di dalam bus aku seperti orang melamun.
Sebenarnya bukan melamun, tetapi sedang menyusun kata-kata yang nanti akan kusampaikan ke Ita. Aku pun masih belum menemukan kata pembuka.

Aku pulang agak telat, jam 8 malam aku baru sampai di rumah. Ita rupanya sudah sampai duluan. Dia melihatku sekelebat, ketika aku hendak naik ke kamarku. Aku diburunya dan dia mengekoriku ikut masuk ke kamar.

“Mau ngomong apaan sih? Gua jadi nggak tenang kerja seharian, gara-gara lu,” Ita mengkomplain.

”Sebenarnya bagi gue nggak terlalu penting, tapi buat kami rasanya penting banget.“ Wah, ini kata-kata tidak pernah kupikirkan sebelumnya, kok meluncur begitu aja, kataku dalam hati. “Gini lho, Ta, kamu ini kan cakep, seksi, montok lagi,” kataku menggoda.

“Ya, terus kenapa?” katanya sambil matanya melotot seperti mau menelanku.

“Tapi ada kekurangan kecil yang sangat mengganggu,” kataku lalu aku diam.

“Apaan sih? Bikin orang tambah penasaran,” katanya.

“Aku mau jujur, tapi kamu mesti janji jangan marah dan jangan tersinggung ya, karena ini demi kamu juga,” kataku. Ita makin kesal, tapi dia berjanji tidak akan marah padaku. “Terus terang ya, kamu ini punya kelemahan di bau badanmu, rasanya sih bersumber dari sini,” kataku menunjuk ketiaknya.

Ita tertunduk. “Iya, Jay, aku sudah berusaha dengan berbagai cara bahkan pakai bedak badan yang anti bau badan, tapi gak berhasil juga. Aku malu jadinya, Jay, ama kamu. Tapi anyway, aku terima kasih, kamu berani terus terang begitu, kamu tau nggak caranya untuk ngilangi bau ketiakku ini?” tanyanya.

Aku menjelaskan bahwa aku dulu juga menghadapi masalah seperti itu.
Aku kemudian menggunan tawas yang kuusapkan setiap kali selesai mandi. Ketika sedang mandi, aku selalu membawa handuk kecil untuk menggosok bagian ketiak sampai terasa benar-benar bersih. Aku meminta Ita mengikuti caraku.

“Tawas kayak gimana sih, belinya dimana tuh?” katanya.

Aku lalu menjelaskan bentuk tawas yang seperti es batu, dan belinya di toko kembang di Senen biasanya ada. Aku menawarkan diri untuk membelikan satu untuk dia. Ita senyum-senyum.
“Terima kasih ya, Jay, kamu ternyata sahabatku yang penuh perhatian.” katanya sambil mencium pipiku.

“Aduh, aku mabuk nih,” sambil menjatuhkan diri telentang ke tempat tidur.

“Hah, kenapa?” katanya terheran-heran.

“Bau ketiak,” kataku serius.

“Sialan lu, dasar brengsek,“ katanya lalu keluar kamarku.

Anjuranku rupanya dituruti, sampai seminggu kemudian aku bertemu lagi di rumah. Ketika berpasasan kami sama sama berhenti. Aku langsung berusaha membaui badannya dan hidungku menuju ke kesalah satu ketiaknya. Tidak terasa ada bau.
“Ah, lu ngapain sih, bikin orang risih aja,” katanya sambil mendorong badanku.

“Sekarang nggak terasa ada bau bawang lagi, Ta,” kataku setengah bercanda.

“Iya nih, kayaknya reseplu berhasil, resep murah tapi hebat juga ya, Jay,” katanya.

Sejak saat itu Ita sudah tidak menjadi sumber polusi di rumah kami. Teman-teman ceweknya saling bergunjing. Juli yang hari itu melihat aku membaui ketiaknya menanyakan aku apakah itu karena aku memberinya obat. Kuakui bahwa aku yang menegurnya soal bau ketiak.
Kristin yang duduk di samping Juli langsung menanggapi, “Emang kamu terus terang ngomong ama dia? Gila, lu nekat amat,” katanya.

Mbak Ratih tanya, “Trus, dia gimana reaksinya?”

“Ya dia malu, tapi nggak marah kok,” kataku.

Ita sejak keberhasilan itu makin dekat denganku. Aku bahkan sering dijadikan tong sampah untuk mengeluarkan isi hatinya. Aku sering digelandang ke kamarnya hanya untuk jadi pendengar. Kadang kadang dia menangis dan bersandar di dadaku sambil meluapkan kekesalannya. Meski aku lebih muda, tapi kalau menghadapi situasi seperti ini harus berperan sebagai laki-laki dewasa, sok tenang, sok kalem dan berlagak sebagai pengayom.

Kalau dia bersandar di dadaku, tidak bisa lain, teteknya juga menghimpit badanku. Rasanya kenyal sekali dan tebal. Biasanya nih sekali lagi umumnya, kalau perempuan tidak merasa malu payudaranya tersentuh laki-laki maka dia merasa laki-laki itu sangat dekat dengan dirinya.

Kalau dia menangis di dadaku maka aku hanya bisa mengelus-elus rambutnya dan mencium dahinya. Itu saja tidak lebih. Aku tidak berusaha mencari kesempatan dalam kesempitan. Ini membuat Ita jadi makin dekat denganku, sampai kadang kadang dia memeluk tanganku sampai tanganku menekan susunya. Dia kelihatannya mengabaikan saja susunya tertekan, atau mungkin juga dia sengaja, yang mana yang benar aku cari jawabannya nanti.

Suatu hari aku ditariknya ke teras ke depan rumah. “Jay, aku mau minta tolong banget ama kamu, bisa nggak?“ katanya.

“Nggak,“ kataku berusaha bermuka serius.

“Ah, jangan gitu dong, serius nih,” katanya.

“Minta tolongnya apa? Belum tau aku sudah dikasi pilihan menjawab,” kataku.

“Lu emang susah, nggak bisa serius orangnya,” kata Ita sambil bermuka merajuk.

“Ada apa, tuan putri, apa ketiaknya bau lagi? Kayaknya sih sekarang malah wangi.” aku menggoda.

“Aku minta tolong lu nemenin gue menghadiri pesta perkawinan sahabat gue, tapi pestanya di Lampung, lu bisa kan? Kita berangkat hari Sabtu pagi, pulang lagi hari Minggu sore,” katanya.

“Kamu kan orang Lampung, kok pulang kampung minta dikawal?” jawabku.

“Rumah gue di Metro, masih jauh dari Bandar Lampung. Lagian kalau gua pulang ke rumah, repot terlalu jauh dan gak bisa nyampe di Jakarta lagi hari Minggu. Pokoknya lu tau bereslah, semua biaya gue yang tanggung,” katanya sungguh-sungguh.

“Gue mau lihat agenda gue dulu apa ada acara nggak sabtu sama minggu besok,“ kataku berpura-pura serius.

“Gaya lu kayak pejabat Negara aja, pake periksa agenda. Udahlah, bisa ya?” Ita setengah memaksaku.

Aku memang tidak ada acara dan tidak ada kuliah sejak Jumat sampai Minggu. Sebenarnya aku tidak keberat
an, tetapi rikuh jugalah ama temen-temen kost kalau aku pergi mengawal Ita. Aku minta kepergian kami dirahasiakan. Aku beralasan ke Bandung dan Ita ke Lampung. Ita kemudian mengubah rencana kami berangkat Jumat siang. Dia beralasan ada beberapa hal yang mau dicari di Bandar.

Kami sampai di Lampung sekitar jam 7 sore dan Ita berinisiatif mencari penginapan. Aku tidak mengenal Bandar Lampung, sehingga Italah yang berinisiatif mencari tempat penginapan. Ia mencari Hotel di tempat resepsi perkawinan temannya. Kami akhirnya mendapat kamar di hotel yang lumayan bagus. Kalau tidak salah hotel bintang empat. Ita hanya mengambil satu kamar untuk kami tempati berdua, tetapi tempat tidur di kamar kami hanya ada satu berukuran king size.
“Kamu kok tidak pesan kamar yang 2 bed, kalau begini kan kita kaya berbulan madu?” kataku.

“Ah, nggak apa-apa lah, hotel ini penuh. Syukur kita masih kebagian kamar, lagian ama kamu aja kok, kan kamu itu adikku,” katanya.

“Aku takut ketularan baunya,” kataku.

“Sekarang udah nggak lagi, weeeei… Sialan lu, ngeledek terus,” katanya sambil melempar bantal.
“Sekarang kita mandi, siapa duluan, lu apa gue?” katanya.

Aku memilih mandi dulu karena agak tersesak bab. Setelah menyulut rokok aku segera masuk kamar mandi mencuci bath tub dan mengisinya dengan air hangat. Aku melampiaskan hajat sambil menunggu air penuh di bath tub. Setelah selesai dan air penuh aku mulai berendam. Pertama airnya tidak terlalu panas, karena aku tidak tahan. Setelah semua terendam, aku tambahkan air panas sampai sangat hangat. Nikmat sekali rasanya berendam di air panas. Entah kenapa batang jadi bangun ketika direndam. Aku jadi menerawang, apa kejadian yang bakal terjadi nanti malam, aku tidur satu bed dengan Ita yang bertetek besar. Rasanya bakal ada peristiwa penting nanti malam. Sejauh ini aku belum pernah mencumbu Ita, meskipun dia sudah sangat dekat dengan ku. Misalnya ia tidak risih lagi menekan susunya ke badanku atau ke lenganku. Aku selama ini aku cool aja.

Sedang enak-enaknya menghayal, tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Ita muncul dengan daster berwarna pink. Buset dah, aku lupa menguncinya. Aku jadi kikuk juga sebab sedang telanjang bulat di dalam bak mandi. Ita berdiri di samping bak sambil ngomel, “Mandinya lama amat sih? Aku udah kebelet pipis, nggak kuat lagi nunggu,” katanya sambil terus menurunkan celana dalamnya dan langsung duduk di toilet.
Aku tidak menyaksikan pemandangan apa-apa, karena dia menurunkan celana dalam tapi masih tertutup oleh dasternya. Suara mendesis nyaring sekali terdengar,. ”Buset, siulannya kenceng bener,” kataku.

Mendengar guruanku, dia malu, lalu segera menggelontorkan air agar suara pipisnya samar dengan gelontoran air. “Dasar lu adik bandel, bikin gue malu aja.” katanya.

“Apa gue nggak lebih malu telanjang begini?” kataku.

“Enak ya ngerendem begitu, kok gue jadi pengen mandi juga ya?” katanya sambil mencelupkan tangannya di bak mandi. “Ih, kok bangun sih tuh barang, lagi ngayalin gue ya? “ katanya setelah tangannya usil masuk ke bak mandi dan menggenggam barangku. Aku tidak menyangka, sehingga terkejut dan senang juga kemudian.

Ita melepas celana dalamnya sambil duduk di toilet lalu berdiri menyangkutkan di gantungan baju. Dia lalu mengangkat dasternya yang ternyata sudah tidak mengenakan BH lagi. Tanpa ada rasa rikuh dia berdiri menghadapku dalam keadaan bugil. Susunya memang ukuran ekstra large dan putingnya seperti terbenam di dalam gumpalan daging.

Dia mencelupkan kaki satu persatu lalu membungkuk untuk meraih air bagi menciprat-cipratkan tubuhnya. “Ih, panas bener sih airnya? Ntar telor lu mateng baru tau rasa,“ katanya sambil tersenyum.

Posisinya yang membungkuk menghadapku membuat kedua payudaranya menggantung seperti pepaya Bangkok terhidang di depan mataku. Aku dalam posisi duduk di dekat keran, sedang Ita mengambil posisi dihadapanku. Dia pelan-pelan merendahkan badannya sambil cengar-cengir menahan panasnya air. Sampai posisi duduk , teteknya masih terpampang didepanku. Air bak kurang tinggi untuk menenggelamkan susu besar yang seperti pelampung itu.

Ita masih menciprat-cipratkan air panas ke badannya dan meraup mukanya. Ia lalu pelan pelan menurunkan badannya sampai tinggal mukanya saja yang diatas air. Gerakkannya itu menjadikan kakinya menyelusup ke bawah kakiku dan bagian vitalnya menerjang pantatku. Batangku jadi terangkat muncul ke atas air setengah tiang.
“Wah, teropong kapal selamnya muncul tuh, mau mengamati musuh ya, musuhnya ada di bawah kok,” kata Ita santai.

Dipegangnya batangku lalu ditarik kearahnya, akibatnya badanku jadi lengser kebawah. Pantatku bersetumpu di atas tetek Ita, dan punggungku bersandar di atas kemaluannya dengan jembut yang lumayan lebat. Nikmat sekali rasanya berendam di air hangat dengan cewek yang teteknya super besar.
Setelah berendam sekitar 10 menit aku kemudian berdiri untuk bersabun. Pertama aku menyabuni diriku sendiri. Ita ikut bangkit dan celakanya dia minta aku menyabuni dirinya. Aku meski dalam keadaan siaga satu, karena batangku terus menegang, dengan gaya cool mulai menyapukan tangan dengan sabun. Dimulai dari bahu, turun ketangan kanan, lalu kiri dan… mulai lah menyabuni teteknya kiri kanan. Susunya kenyal banget. Aku permainkan dengan meremas, tetapi tanganku tidak muat. Setelah itu turun ke bawah sampai ke perut lalu aku minta ia berbalik badan. Punggung dan pantatnya giliran berikutnya sampai turun ke kaki, lalu kuminta berbalik lagi kini kaki bagian depan lalu naik ke bagian vitalnya. Kugosok jembutnya sampai berbusa lalu aku menyelipkan jariku ke memeknya. Dengan gerakan mendadak jari tengahku menyelinap ke dalam lubangnya lalu segera kucium jari itu.
“Bau sabunnya kalah sama bau anumu,” kataku mengejek.
Ita gusar dan malu, “sialan lu, memek gua gak bau lagi, sok tau lu,” katanya sambil ikut meraih memeknya sendiri lalu menciumnya.

“Benerkan, bau sabunnya ilangkan? Yang ada bau kecap ikan,” kataku kembali mengejek.

“Eh iya, bener juga,” katanya malu.

Aku lalu kembali menyabuni memeknya sampai ke lubang pantatnya. Bagian penting itu terbelai, akibatnya Ita mendesis. “Oooiii sedapnya,” katanya sambil meraih badanku dan memeluknya.
Badan kami licin sekali dan karena air untuk kami berendam tadi aku buang akibatnya bak mandi juga jadi sangat licin. Khawatir jatuh aku mengajak Ita untuk pelan-pelan duduk. Badan kami masih berselemak sabun tetapi air sudah mengering. Aku menawarkan untuk kami saling melakukan body massage.
“Gimana caranya?” kata Ita.

Ita kuminta tidur telentang dan aku tengkurap diatasnya. Aku meluncur ke atas dan ke bawah. Menggosokkan batang dan jembutku ke perut dan dadanya. Setelah itu aku mengambil posisi telentang di bawah badannya dengan posisi kepala berlawanan arah. Aku kembali meluncur ke atas dan ke bawah, sehingga batang dan jembutku menyapu dan mengganjal pantat dan punggungnya.
“Iiiih, sedapnya, merangsang banget ya?” kata Ita sambil terus mendesis.

Ita kemudian kuminta mengubah psosinya jadi tengkurap. Sehingga kami berhadapan tetapi dengan arah kepala yang berlawanan. Aku kembali menaik dan menurunkan badanku mengganjal tubuhnya. Ita tidak tinggal diam, dia juga ikut melakukan gerakan berlawanan. Batangku kadang-kadang terselip diantara kedua pahanya lalu terlepas lagi, tapi tidak sampai terpeleset masuk ke dalam lubang vaginanya.

Posisi ini membuat nafsuku tambah tinggi sehingga akhirnya aku tidak mampu menahan desakan ejakulasi. Aku tak kuasa menahan sehingga cairan putih hangat lepas dan menyapu ke badan Ita.
“Yahhh, kamu nggak kuat ya?“ katanya ketika merasa batangku berkedut diantara kedua susunya.

“Enak banget sih, dan susumu itu yang buat pertahanan gua jebol,” kataku.

Kami lalu mandi berbilas dan mengeringkan badan dengan handuk. Aku digandengnya keluar kamar mandi. Kami berdua jalan dalam keadaan bugil. Aku di dorongnya hingga jatuh telentang di kasur. Aku yang merasa lemas setelah tembakan tadi, tidur telentang pasrah. Ita mengambil inisiatif dengan menindih badanku. Dia mencium bibirku dan kami lama sekali berpagutan.
Ita melepas ciumannya dari mulutku dia turun ke bawah dan menghisap pentilku. Rasa geli dan nikmat menjalar ke seluruh tubuhku. Ita terus meluncur ke bawah dan sekitar kemaluanku diciuminya dengan rakus. Batang dan zakarku tidak diciumnya, tetapi dia turun menciumi paha lalu kedua lututku. Aku merasakan kegelian yang amat sangat sampai aku menggelinjang. Mengetahui aku kegelian dia mengarahkan ciumannya ke atas dan batangku menjadi sasarannya kemudian. Batangku yang masih setengah sadar di lahapnya dan dihisapnya. lalu dijilatinya. Kaki ku ditekuk dan jilatannya turun ke kedua buah zakarku lalu turun lagi lidahnya mengitari lubang matahari.

Aku menggelinjang nikmat. Dia kembali mengulum batangku sampai menjadi sadar dan tegak penuh. Kuluman Ita sungguh canggih, sehingga aku kelojotan merasa nikmatnya. Untungnya tadi sudah mencapai puncak, sehingga aku mampu menahan diri agar tidak buru-buru muncrat lagi.
Ita membalikkan badanku dan aku dimintanya berganti peran menyerang dirinya. Aku segera paham dan memulai tugasku dengan mencium leher lalu kedua payudaranya. Agak sulit rasanya menghisap pentilnya karena terbenam. Kutelateni menghisap pentilnya sampai akhirnya keduanya mencuat keras.

Puas dengan menjilat dan meremas kedua susunya aku turun ke perut lalu ke memeknya. Bulu lebat dan keriting membuat aku agak sukar menemukan belahan memeknya. Dengan bantuan kedua tanganku, kusibak dan lidahku menyerbu ke belahan itu. Aku memulainya dengan menjilati sekitar bibir luar, bibir dalam lalu mengarah ke clitorisnya.

Memeknya yang tadi kering setelah kuhanduki, kini sudah basah lagi oleh cairan pelumas vaginanya. Baunya wangi seperti bau sabun. Saat lidahku menggapai clitorisnya Ita menggelinjang dan pinggulnya bergerak liar. Aku jadi sulit mengkosentrasikan jilatanku. Aku lalu menahan kedua pahanya agar tidak liar.

Serangan ujung lidahku berkosentrasi pada clitoris Ita yang sudah makin mencuat. Dia mendesah-desah dan tidak sampai lima menit dia tumbang dengan orgasmenya yang pertama. Dia minta aku berhenti mengoralnya karena katanya barangnya ngilu. Aku bangun dan duduk bersimpuh diantara kedua kakinya. Jari tengah kanan pelan-pelan kucolokkan ke vagina Ita. Kucolok-colok ke lubang basah itu dan aku seperti sebelumnya dengan para wanita, mencari benjolan G spot. Tombol G spot Ita mudah ditemukan, sehingga kini gerakan jariku berkosentrasi pada tombol itu. Gerakan halus mengusap g spot itu membuat Ita kembali mendesis. Dia lalu tidak hanya mendesis tetapi mengangkat angkat pinggulnya. Usapanku jadi meleset. Aku minta Ita menahan gerakannya agar dia merasa lebih nikmat.

“Aduh, kok enak banget sih, Jay, lua apain gua?” katanya sambil menggigit bibir bawahnya. Dia berusaha melawan nikmat yang menjalar dari dalam vaginanya, tapi belum dua menit dia mengeluh panjang dan berusaha mengapit kedua kakinya, namun terhalang oleh tubuhku. Kedua tangannya meraih bantal lalu ditutupkan ke mukanya dan dia menjerit sekuat-kuatnya dibawah bantal.
Bersamaan dengan itu, Ita ejakulasi sampai mengenai hidung dan mulutku. Kujilat cairan itu di bibirku terasa agak asin dan kental.
Orgasmenya panjang dan Ita kemudian jatuh terkulai. Badannya bagai tak bertulang.
“Aduh, badan gua lemes banget,” katanya seperti orang ngantuk.
Sementara dia lemas aku tegang. Tanpa minta izin dan mengatakan sesuatu aku segera mengarahkan batangku menuju lubang vaginanya. Dalam posisi bersetumpu kaki terlipat, batangku kutekan pelan menyeruak vaginanya. Lubang memeknya terasa sempit, meskipun banjir. “Aduh, Jay! Pelan-pelan, Jay,” katanya.

Aku dengan sabar menekan penisku masuk kedalam gua nikmat itu. Setelah tenggelam seluruhnya aku mulai melakukan gerakan maju mundur. Sensasi menyaksikan gerakan maju mundur batangku ke dalam memeknya membuat aku sangat terangsang. Apalagi Ita mulai mendesis dan bergumam, ah uh au uh.

Aku makin bersemangat, tetapi karena posisiku sulit lama-lama jadi kurang nyaman kemudian aku mengubah posisi menindih badannya. Aku bertumpu di kedua lutut dan kedua sikuku. Pada posisi ini aku leluasa memompa badan Ita. Aku tidak perduli lagi apa dia nikmat atau tidak, tetapi aku berkonstrasi pada kenikmatan diriku. Semakin cepat kupompa, semakin dia mengerang. Belum aku sampai pada puncak Ita sudah menarik rapat badanku dan dia kembali berkedut bagian dalamnya. Ita kembali menikmati orgasme yang dahsyat.
“Aduh, aku rasanya gak kuat nglawan kamu, Jay,” katanya. Aku diam saja dan kembali menggenjot, karena pencapaianku tadi tanggung.
Aku kemudian menjelang puncak dan beberapa saat akan mencapai puncak kutarik batangku keluar dan air maniku kulepas di atas perutnya. Aku rebah disampingnya dan badanku terasa lelah. Kami tertidur entah berapa lama sampai terbangun karena merasa dingin. Aku bangun dan ke kamar mandi mengambil handuk kecil membasahinya dengan air hangat. Handuk itu kusapukan ke tumpahan maniku di perut ita, setelah aku sebelumnya membersihkan penisku dengan air dan sabun. Kami kembali tidur di bawah selimut. Bed cover yang tadi terhampar sudah kumasukkan ke dalam lemari.
Belum lima menit aku berbaring, Ita bangun. “Jay, laper ya,” katanya. Aku juga merasakan yang sama. Ita kemudian bangun dan ke kamar mandi. Dia kedengarannya mencuci alat vitalnya dan juga mungkin sekalian pipis.

“Kita cari makan diluar yuk, di hotel kurang enak, di dekat sini ada ayam goreng yang enak,“ katanya.

Kami lalu berkemas. Ita mengenakan celana jean, kaus hitam dan dibungkus lagi dengan jaket. Sementara aku kembali mengenakan jean yang kukenakan tadi hanya mengganti T-shirt. Kami turun dan keluar hotel. Sekitar 5 menit jalan menyeberang, kami menemukan tempat ayam goreng yang dimaksud Ita. Jam sudah menunjukkan 11 malam, tetapi warung tenda ayam goreng itu ramai sekali.

Perut kenyang badan terasa hangat. Keinginan sex sudah terpenuhi, apalagi yang kurang. Sekembali kami ke Hotel Ita mengajakku duduk di coffe shop. Disitu ada live music. Ita menawarkan bir yang tentu saja tidak bisa kutolak..
Nikmat sekali cairan bir itu membasahi kerongkonganku. Kata orang nikmatnya minum bir itu adalah pada tegukan yang pertama. Ternyata memang benar. Satu botol besar kuhabiskan berdua dengan Ita, namun dia hanya minum segelas.
“Gaul juga anak ini,” batinku.

Ita menawariku tambah dengan satu botol kecil bir hitam. kata dia bagus untuk stamina. Menyimak stamina, aku lalu menyetujuinya. Rasa pahit bir hitam itu menjadi nikmat karena syaraf perasaku terpengaruh hasutan ’demi stamina’.

Kami kembali ke kamar sekitar jam satu malam. Mata mulai mengantuk dan lelahnya badan yang tadi tidak terasa kini menumpuk. Mataku seperti sudah mau terkatup saja. Sesampai di kamar aku melepas celana jean dan t shirt, tinggal celana dalam lalu menyusup ke dalam selimut. Ita masih sibuk di kamar mandi. Aku segera terlelap. Mungkin ada satu jam aku tertidur lalu terjaga karena merasa dipeluk Ita. Dalam keadaan antara tertidur dan sadar aku merasa Ita memelukku dalam keadaan telanjang di bawah selimut. Susunya yang besar menekan badanku dan jembutnya yang tebal menempel di pahaku.

Situasi itu membuatku pelan-pelan kembali tersadar dan bangun seutuhnya. Penisku pelan-pelan bangun, tetapi badanku lelah sekali. Apalagi pengaruh bir tadi mengendap di otakku. Aku kembali jatuh tertidur.

Entah sudah berapa lama aku tertidur sampai aku merasa badanku dingin oleh tiupan AC.
Kamar telah gelap, cahaya hanya ada dari lampu di gang di depan kamar mandi. Aku membuka sedikit mataku dan memperhatikan sekeliling. Ita ternyata sedang menyedot batangku. Dia tidak tahu kalau aku sudah terbangun. Aku berusaha menahan reaksi rangsangannya dengan menahan suara agar disangka masih tidur.

Karena sedotan yang maut, barangku jadi keras sempurna. Ita lalu bangkit dan didudukinya batangku. Pelan pelan diarahkan batangku ke dalam mekinya sampai ambles sepenuhnya.

Dia mengendalikan persetubuhan dengan gerakan-maju mundur kadang kala naik turun. Sesekali batangku terlepas karena dia terlalu hot menaikkan badannya. Tapi ia segera kembali memasukkan batangku ke dalam tubuhnya.
Aku tetap bertahan pura-pura tidur. Mungkin 15 menit atau mungkin lebih, Ita mulai mencapai orgasmenya. Sementara aku karena gaya gravitasi merasa mampu bertahan lama. Barangku tetap tegak sempurna, sementara Ita sudah berkedut-kedut. Setelah istirahat hampir 5 menit Ita kembali menggenjot batangku. Dia ternyata tangguh juga. Pemandangan di depanku sulit untuk diabaikan, tetek yang bergoyang adalah atraksi sangat menarik. Aku mengintip guncangan tetek besar dihadapanku.
“Kalau aku tidak berperan pura-pura tidur, pasti sudah kuremas-remas gumpalan daging besar itu. Tapi apa boleh buat, aku sudah memilih peran tidur.”

Ita kembali bersemangat memompa apalagi menjelang orgasmenya dia bergerak tidak karuan. Aku jadi spaning juga hingga mendekati titik orgasmeku. Karena aku pura-pura tidur maka aku tidak boleh bereaksi, sehingga aku pasrah saja ketika akhirnya ejakulasi lepas di dalam memeknya. Kedutan ejakulasiku menambah semangat Ita karena rupanya dia juga orgasme dan rubuh memelukku.

“Ih, kamu sadis deh, pura-pura tidur lagi, sampai aku cape menggenjot,” katanya.

“Abis enak banget sih, lagian kenapa juga gak bangunin aku dulu baru adekku,” kataku sambil tersenyum.

Ternyata sudah jam 7 pagi. Kamar kami gelap karena korden tertutup rapat. Kami lalu mandi berdua dan berkemas untuk turun menikmati breakfast. Badanku terasa segar dan ringan.

Selesai breakfast kami kembali ke kamar. Hari itu tidak ada acara, kecuali jam 7 malam nanti menghadiri resepsi perkawinan temannya.
Ita mengajakku jalan-jalan ke kota. Kami makan siang di restoran Padang. Aku penggemar makanan enak, masakan Padang ini rasanya nikmat sekali, melebihi yang pernah kumakan di Jakarta. Selesai menyantap dua piring nasi, Ita menyarankan aku untuk mencoba teh telur. Kata dia bagus untuk meningkatkan vitalistas pria. Teh yang diaduk bercampur telur tampak sangat berbusa. Panasnya teh tidak lagi terlalu terasa, tetapi rasanya seperti teh susu dan gurih telur.
“Lumayanlah untuk mengisi stroom,” kataku dalam hati.

Kami kembali ke hotel untuk istirahat. Maksudnya memang istirahat, tetapi kejadiannya malah bekerja keras. Kami terlelap kembali dan bangun menjelang pukul 6 sore. Kami lalu berkemas untuk menghadiri acara perkawinan teman akrab Ita.

Tidak ada yang istimewa dalam acara pesta perkawinan itu. Aku kurang berselera, mungkin karena lelah setelah berkali-kali bertempur.

Minggu pagi kami mempersiapkan diri untuk kembali ke Jakarta Sebelumnya masih ada pertempuran seru satu ronde. Disebut seru karena panjang dan heboh. Dia tergolong wanita yang berisik jika melakukan hubungan intim. Sepanjang perjalanan aku hanya tidur saja. Anehnya sejak berangkat dari Lampung sampai kembali ke Jakarta, penisku tidak sekalipun bangun mengeras, meskipun dalam keadaan terdesak kebelet pipis. Tiba di Jakarta sudah sore dan aku menunda kepulangan ke tempat kos sekitar 1 jam.
***
Setiba aku kembali ke rumah kost aku disambut bagaikan tamu besar. Kebetulan para penghuni sedang berkumpul di kamar tengah. Aku disambut dengan bertubi-tubi ciuman. Mereka rasanya terlalu berlebihan karena ketiadaan diriku di tempat itu hanya 2 malam mereka rasakan ada sesuatu yang hilang.

Aku tertidur di kamar mungkin dari jam 5 sore. Rasanya ngantuk sekali dan lelah. Entah berapa lama tertidur sampai merasa ada orang yang masuk di kamarku. Kamar gelap gulita, karena tadi aku tidak sempat menyalakan lampu. Aku tidak bisa melihat siapa yang masuk ke kamarku.

Tiba-tiba lampu dinyalakan dan ternyata 2 cewek sudah ada di kamarku. Mereka adalah Dewi dan Ana dengan baju tidur daster dan Dewi mengenakan kaus serta celana boxer.
“Wah, pangeran kita kecapean nih,” kata Ana.

Mereka minta izin untuk menginap lagi di kamarku. Mereka takut karena tadi siang habis melayat temannya yang meninggal karena kecelakaan. Katanya wajah temannya selalu terbayang-bayang.
“Ada-ada saja cewek-cewek ini,” pikirku.

Lampu kembali dimatikan dan kamar jadi gelap gulita. Malam ini cuaca panas sekali, karena mau hujan tetapi tidak jadi. Untung aku tidur hanya mengenakan celana pendek, sehingga tidak terlalu gerah.

Ana mengipas dadanya dengan menarik-narik bajunya. Dia juga merasakan kegerahan. Dewi mengipas-kipaskan telapak tangannya. Mereka bertanya apa aku punya kipas. Aku bilang tidak ada, karena tidak pernah terlintas dipikiranku untuk melengkapi kipas di kamar. Kalau mau ada majalah atau koran, tapi dalam keadaan gelap gini aku susah mencarinya apalagi aku tidur diapit.

Entah pikiran darimana aku iseng melontarkan ide, agar kami bertiga tidur telanjang aja. Aku pikir sebenarnya wajar saja, aku sudah sering melihat Dewi telanjang, ketika dia tidur di kamarku tatkala Ana pulang kampung. Ana juga sudah pernah kulihat dia telanjang juga ketika dia diam-diam menyelinap ke kamarku, manakala Dewi menginap di rumah saudaranya di Ciledug. Mereka berdua juga pernah bahkan berkali-kali melihat aku telanjang di kamar ini. Masalahnya aku belum pernah secara bersamaan melihat mereka berdua telanjang bersamaan di depanku.

“Siapa takut?“kata Ana. Dewi pun rupanya tidak keberatan. Sambil tiduran mereka mencopoti bajunya dan aku pun memelorotkan celanaku. Posisiku yang diapit dua cewek begini tentu memacu aliran darah untuk berkumpul di penis, sehingga tegang mengacung. Tadi yang kucemaskan sejak kembali dari Lampung sekarang sudah terjawab.

Aku tidak tahu kemana mereka melempar pakaiannya, yang kurasa kulitku sudah bersinggungan dengan kulit juga baik di kanan, maupun di kiri. Dewi memelukku di sebelah kanan, dan Ana juga memelukku di sebelah kiri. Kedua tanganku yang mereka tindih jadi memeluk keduanya di kiri dan kanan.
Udara gerah tidak membuat rasa makin gerah meski dipeluk. Pikiranku lebih terpusat pada rangsangan dipeluk dua makhluk perempuan telanjang.
Mulanya tangan mereka hanya mengelus-elus dadaku, tetapi Dewi mulai merayap kebawah dan menggenggam batangku yang sedang keras. Tangan Ana pun juga merayap ke bawah dan bertemulah dua tangan dari mahluk yang berbeda. Kedua tangan itu berbagi tempat mencengkeram batangku.
Aku sudah tidak memperhatikan tangan siapa ada dibagian mana. Yang kurasakan seluruh bagian kemaluanku diremas-remas.
Aku mencium mulut Ana. Ana membalas dengan sedotan dan permainan lidah yang hot. Selepas itu aku berpaling dan berganti mencium Dewi. Dia juga tidak kalah hot, karena mungkin sudah terbakar birahi. Ana yang kutinggal, dia bangkit dan mengambil posisi di antara kedua kakiku. Ana mengulum penisku. Tangan kiriku yang leluasa segera menggamit memek Dewi dan meremas-remas lalu memainkan clitorisnya. Menerima serangan di clitoris, Dewi melepaskan ciumannya . Dia mengubah posisi telentang. Aku berusaha membebaskan tangan kananku dari tindihan Dewi dan tangan kanan mendapat tugas baru menggantikan peran tangan kiri.
Dewi semakin tinggi terangsang karena clitorisnya aku putar-putar dengan jari tengahku. Dewi kemudian bangkit dan duduk bersimpuh dengan kedua lutut dilipat. Dia duduk menghadap ke wajahku dan memeknya di aturnya dekat ke mulutku. Aku tahu, Dewi ingin dioral. Dewi memang paling senang dioral. Dia pernah memujiku bahwa oralku jauh lebih enak dari yang dilakukan pacarnya. Pacarnya katanya suka menggigit karena gemas. Kalau sudah begitu rangsangan jadi sirna berganti rasa sakit katanya. Sementara aku dipujinya mengerti menyentuh tempat yang tepat dan gerakan lidahku katanya lebih halus.

Kedua tanganku memeluk paha kiri kanannya membantu posisi Dewi agar dia bisa menempatkan memeknya tepat di hadapan mulutku. Dewi duduk agak condong kebelakang. Kedua tangannya menopang kebelakang.

Sementara aku sedang memusatkan perhatian mengoral Dewi, aku tidak terasa Ana mengoralku lagi. Aku merasa tangannya mencengkeram batangku dan beberapa saat kemudian Ujung penisku dipadukan dengan gerbang memeknya. Sambil mengoral aku mengira-kira posisi Ana menyetubuhiku. Setelah dia melakukan gerakan aku baru bisa memastikan bahwa Ana bukan membelakangiku. Mungkin dia duduk bersimpuh juga. Gerakannya yang kurasakan adalah maju mundur, sehingga penisku serasa diperah.

Mereka berdua saling mendesis. Aku tidak bisa bergerak, karena menahan berat badan kedua cewek. Gerakan Ana makin terasa hot, sementara oralku ke Dewi juga semakin terfokus pada clitorisnya. Pada posisi ini sebenarnya aku ingin memasukkan jariku ke memeknya, tetapi tidak ada ruang untuk tanganku. Jadi hanya lidahku saja yang bermain di memek Dewi. Dewi tiba-tiba berhenti menggelinjang, mungkin dia sedang memusatkan diri menjelang orgasme. Benar juga sesaat kemudian dia mengeluh panjang sambil menarik kepalaku merapat ke memeknya. Bukan hanya mulut yang terbekap, hidungku juga tertutup gundukan memek Dewi yang berambut keriting. Setelah kedutan orgasmenya agak reda aku berusaha melepaskan mulut dan hidungku dari bekapan Dewi. Aku hampir kehabisan nafas.

Ana yang makin hot memompa. Sementara Dewi mengubah posisinya tidur telentang disampingku. Sepertinya dia ingin beristirahat setelah mencapai puncak kenikmatan. Ana masih terus menggenjot. Mungkin sudah 5 menit sejak Dewi tadi orgasme baru Ana mendapat Orgasme.

Sementara aku belum apa-apa. Masalahnya hari-hari sebelumnya aku sudah kenyang dengan Ita, sehingga nafsuku tidak menggebu-gebu. Aku lebih mampu menahan diri. Apalagi posisiku di bawah, maka aku makin bisa bertahan lama.

Setelah mencapai orgasme, Ana menjatuhkan diri telungkup di atasku sejenak. Setelah itu dia bergeser tidur telentang disampingku. Meski gelap, aku bisa juga melihat sosok Ana yang tadi mengadukku diatas. Tidak terlalu jelas memang, tetapi dengan bantuan ilmu kira-kira, adegan yang berlangsung di atas badanku cukup jelas terlihat.

Mungkin Dewi juga melihat Ana mengadukku. Buktinya setelah Ana turun dari badanku, aku ditariknya agar menindih badannya. Aku segera paham apa yang diinginkannya. Dia ingin disetubuhi juga. Tanpa melakukan foreplay lagi aku segera manancapkan penisku ke memek Dewi. Kenikmatan orgasme Dewi yang pertama tadi mungkin belum sirna, karena begitu kugenjot dia langsung mendesis dan agak mengerang. Aku mencari posisi yang paling bisa merangsang organ Dewi. Setelah kudapatkan posisi itu dengan membaca respon yang ditunjukkannya aku bertahan di posisi itu. Cukup 5 menit saja Dewi sudah mendapatkan orgasmenya. Dia memelukku erat-erat, sampai semua orgasmenya terlampiaskan.

Setelah reda kucabut batangku dan aku kembali ke posisi semula tidur telentang diantara mereka berdua. Belum habis aku menikmati jeda istirahat, Ana pula sekarang yang merengkuhku agar menindih dirinya. Dia mungkin terangsang menyaksikan adegan permainanku dengan Dewi.

Aku bukan ingin berlebihan dan menjagokan diriku, tetapi sesungguhnya aku masih tegang bahkan belum ada tanda-tanda mendekati ejakulasi. Inilah kalau terlalu hot bermain sebelumnya dengan Ita. Sebelum marathon bersama Ita, malam-malam sebelumnya setiap malam aku selalu berpindah-pindah kamar. Bisa dikatakan tiada hari bagiku tanpa bersetubuh. Pelayananku di rumah ini cukup banyak mulai dari Bu Rini pemilik kost, Mbak Ratih, Kristin, Ita , Nia dan kedua mereka ini. Kedua mereka ini termasuk paling jarang kutiduri. Dewi mungkin 2 minggu lalu, Ana malah mungkin sebulan yang lalu.

Kembali ke Ana, aku tanpa basa-basi lagi langsung memompa Ana. Seperti juga Dewi aku berusaha mencari posisi yang paling menyenangkan bagi Ana. Setelah mendapat posisi itu, aku tidak perlu bekerja terlalu lama, Ana sudah mencapai orgasme. Dia menghentikan genjotanku dengan menarik badanku rapat-rapat. Batangku menikmati sensasi kontraksi memek Ana dan cairan hangat menyelimutinya. Setelah orgasmenya reda aku kembali istirahat dengan badan basah berkeringat.

Aku berpikir kepada siapa nanti akan kulampiaskan orgasmeku, padahal badanku sudah lelah sekali dari tadi push-up terus. Tapi penisku tidak mau kompromi, dia tetap tegak. Sementara aku masih menerawang, tiba-tiba batangku digenggam.
“Ih, hebat banget nih, belum juga kendor dari tadi,” suara Dewi terdengar. Berarti tangan itu adalah tangan Dewi.

Dia kembali menarik badanku untuk menindihnya. Dia minta disetubuhi lagi. Aku berpikir, Dewi tadi makan apa kok jadi hot banget begini. Dengan sisa tenaga yang ada aku kembali melayaninya. Tapi tubuhku sudah tidak kuat lagi untuk push-up. Kutarik tubuh Dewi untuk berganti posisi menjadi di atasku. Dewi menurut dan mengambil posisi yang nyaman lalu dialah sekarang yang aktif. Dia segera saja mendapat orgasme. Ketika dirubuhkannya badannya ke tubuhku dan otot vaginanya berkontraksi maka aku segera membalikkan badannya dan segera kugenjot. Aku tidak memberinya masa istirahat dan langsung dalam keadaan vaginanya masih berkedut kugencot sekeras-kerasnya. Dewi menjerit tertahan-tahan. Aku begerak makin buas sampai akhirnya dia menjerit keras sekali lalu ditutupkan bantal di wajahnya untuk meredam teriakannya. Dewi kelihatannya mencapai orgasme yang sempurna.

Aku puas tapi belum juga muncrat. Ana yang menonton kami sambil dia duduk bersila memeriksa penisku. “Wuihhh, masih keras juga, hebat amat,” katanya.

Aku ditariknya sehingga terduduk dengan kaki lurus. Aku tidak bisa menduga apa yang dia mau. Ana berdiri dan duduk dipangkuanku sambil memelukku. Memeknya diturunkannya sampai menelan penisku. Dia kembali terangsang melihat Dewi danaku bermain kasar. Apalagi Dewi selama persetubuhan berteriak kecil terputus-putus sampai akhirnya berteriak nyaring.

Ana memaju-mundurkan pinggulnya sehingga menimbulkan efek gerakan mengaduk batangku. Dia mendesis-desis menikmati hunjaman barangku yang masih keras. Makin lama, terakannya makin cepat dan liar karena iramanya jadi tidak menentu, sampai akhirnya dia memeluku keras sekali dan vaginanya berdenyut. Seperti juga Dewi aku tidak memberi kesempatan dia menikmati orgasmenya. Kudorong badannya sampai dia terlentang dan segera kugenjot dengan gerakan-gerakan kasar. Karena diberi waktu beristirahat sambil duduk, tenagaku masih lumayan yang tersisa. Aku terus menghunjam dengan gerakan cepat dan panjang.

Ana tidak lagi mendesis, dia mengeluarkan suara yang tertahan-tahan. Kedengarannya seperti mengucap huruf A ber kali-kali. Irama pengulangan teriakannya seirama dengan gerakanku. Setiap aku menghunjam dia menyebut A. Makin cepat gerakanku makin cepat pula irama teriakannya. Sampai akhirnya dia berteriak panjang tetap dengan suara A. Teriakannya keras membuatku gugup. Karena di dekat situ tidak ada bantal maka kucucup saja mulutnya. Dibekap mulutnya oleh mulutku pun dia masih berusaha berteriak. Tetapi suaranya tidak keluar, teredam oleh mulutku. Aku menciuminya dengan ulah yang ganas sampai dia lemas terkulai.

Sejak tadi perasaan yang menyelimuti diriku adalah kebanggaan sebagai laki-laki yang super. Sekarang berbalik aku cemas, karena burungku tidak juga surut, dan sulit sekali mencapai orgasme. Yang kucemaskan, seandainya batangku tegang terus sampai besok. Kalau dibawa ke dokter, rasanya malu luar biasa. Apalagi menjawab pertanyaan dokter, “Apa keluhannya?”

Ah bagaimana nantilah, yang ada rasa badanku sudah letih luar biasa dengan keringat membasahi semua pori-pori badanku. Aku bangkit dan mencari handuk untuk mengeringkan badanku.

“Hebat amat anak ini ya, tadinya mau kita perkosa, kejadiannya malah kita yang diperkosa,” kata Dewi. Rupanya kedua cewek ini sudah punya rencana ketika hijrah tidur ke kamarku. Pantas aja ketika kutawari tidur telanjang mereka langsung setuju.
“Rasain, punya rencana nggak terus terang, jadinya kalian yang merasa akibatnya,” kataku.

“Biarin aja, enak kok,“ kata Dewi.

Kulihat ana sudah terbujur di posisinya semula malah sudah mendengkur. Aku mengambil posisiku dan langsung mencari PW (posisi uwenak). Sampai keesokan harinya ketika aku bangun mereka berdua sudah tidak ada. Aku segera memeriksa barangku. Dia masih tegang, tetapi sekarang posisinya sedang

0 komentar:

Posting Komentar