Kami bangun sekitar jam 4 sore.
Aku menggeliat dan merasakan batangku kesakitan karena dijepit dalam vagina sempit
mbak Nia, tetangga depan rumahku. Karena aku meringis dan membuat gerakan
menarik batangku, membuat mbak Nia terbangun juga, dengan meringis ia membuka
matanya.
“Ada
apa, Mal?“ tanya wanita cantik beranak satu itu dan kemudian tersenyum
menggodaku.
“Sudah, mbak, jangan menggodaku lagi.“ selorohku dengan nakal sambil mencoba
menarik batangku yang ngaceng sedikit demi sedikit. Tapi bukannya melepas, Nia
malah makin menggodaku dengan memajukan pantatnya, mengejar penisku agar tetap
menancap dalam di liang vaginanya.
“Sudah, mbak... aku sudah capek.“ pintaku sambil meremas-remas
payudaranya yang sebesar kepalan tangan. Benda itu terasa hangat dan empuk
sekali.
“Emang kamu mau kemana?” tanya mbak
Nia, kembali memejamkan mata menikmati sentuhanku.
“Kan sudah sore, mbak... aku
harus pulang, nanti istriku curiga.” kataku sambil menggelitik pinggang rampingnya.
Sudah sejak siang aku berada disini, dan sudah tiga kali dia kupuaskan.
“Santai aja, bilang aja sama
Indah kalau kamu lagi kerja bantu aku bersih-bersih rumah. Nanti aku kasih uang
biar dia tidak curiga.” balas mbak Nia dengan kembali membuka matanya karena
geli aku gelitik.
”Suami mbak bagaimana, sebentara
lagi kan dia pulang dari pabrik?” tanyaku memastikan.
Mbak Nia melirik jam di dinding,
”Iya ya, gawat kalau sampai ketahuan.” dia akhirnya berusaha melepaskan penisku
dengan menarik pantatnya, dan aku dengan cepat juga menjauhkan selangkanganku.
Saling meringis dan memekik, alat kelamin kami akhirnya terlepas. Batangku
memerah karena sesiangan diremas dan dijepit dalam lubang mbak Nia yang sempit.
Mbak Nia bangkit dari ranjang dan
duduk di depan cermin, ia menyisir rambutnya yang panjang sepunggung dengan
tubuh masih tetap telanjang. Di luar, terdengar suara Fahri, anaknya yang sudah
berusia 7 tahun, yang baru pulang dari mengaji di Musholla.
”Jam berapa bang Samad pulang?”
tanyaku sambil memperhatikan pantulan buah dadanya yang montok di kaca cermin.
Putingnya tampak mencuat mungil kemerahan, kontras dengan warna kulitnya yang
putih kekuningan.
”Jam 5,” jawab mbak Nia pendek.
Samad adalah nama suaminya, sekaligus lawanku main catur di malam hari.
Dari dada, mataku turun ke bokongnya
yang mantap. Benda itu tampak sangat bulat dan besar. Melihatnya, aku jadi terangsang
kembali. ”Masih lama dong, mungkin masih sempat untuk kita main cepat.” kataku,
lalu dengan gemas bangkit dari ranjang dan langsung memeluknya. Kulingkarkan tanganku
di depan dadanya untuk meremas-remas kedua bukit buah dadanya yang membusung
indah.
“Apaan sih, Mal! Katanya udahan,“
protes mbak Nia dengan mencegah tanganku yang ingin bergerak lebih jauh
menjarah selangkangannya.
“Nggak tahu, mbak. Lihat mbak
telanjang gini, aku jadi pengen lagi.” bisikku sambil semakin nakal meremas-remas
buah dadanya.
”Ehm, tapi bentar aja ya?” mbak Nia
tak melarangku, justru malah membuka pahanya lebar-lebar, membuat tanganku yang
sudah antri disana segera melesak masuk untuk mengorek-orek liang vaginanya.
”Lima menit juga udah cukup,
mbak.” kuelus-elus belahannya hingga benda itu perlahan melembab dan membasah.
”Ahh... Mal!” Akibat
rangsanganku, mbak Nia bangkit gairahnya. Dia langsung membalikkan tubuhnya yang
montok dan memegangi penisku yang sudah menegang untuk diremas serta dikocoknya
penuh nafsu.
Aku meringis dan melenguh
menikmatinya. “Mbak, ehmm... enak!“ erangku gemas. Aku langsung berdiri tegak,
dan mbak Nia yang mengerti maksudku segera membungkuk. Dia membuka mulutnya dan
melahap batang coklat itu. Batangku diemutnya dengan rakus, ia terus menyedot
dan menjilatinya hingga benda itu menjadi sangat licin dan basah. Aku hanya
bisa meremas kedua buah dadanya sebagai pelampiasan rasa nikmatku. Benar-benar
sore yang menggairahkan.
Tak lama kemudian, mbak Nia
menyelesaikan tugasnya. ”Gantian, Mal. Jilati punyaku!” bisiknya dengan
tersenyum. Ia membuka pahanya lebar-lebar, memberikan vaginanya yang sudah
merekah merah kepadaku.
Aku langsung jongkok dan menjilatinya.
Benda itu terasa mulai basah akibat rangsangan birahi. Klitorisnya yang mungil
aku jilati dengan cepat, membuat mbak Nia meringkik dan mencakar bahuku. ”Mal,
ughhhh... teruus... aah... aah… enaak!“ erangnya semakin menggebu.
Pelan vagina itu menganga makin
lebar, memperlihatkan lubang kawinnya yang siap untuk kumasuki. Semakin kupermainkan,
semakin membesar lubang itu, sehingga aku tahu inilah saat yang tepat untuk
segera menyetubuhinya.
“Balik, mbak... nungging!“
perintahku yang disambut senyuman nakal olehnya.
Setelah dia menungging dengan
berpegangan pada meja rias, aku langsung memposisikan batangku tepat di
lubangnya yang sudah memerah dan basah itu. Kutekan perlahan, kutusuk dengan
penisku dari belakang. Kami meringis keenakan ketika batangku mulai melesak
masuk.
“Mal, pelan-pelan aja, jangan
dipaksa.“ erang mbak Nia yang menggigit bibirnya.
Namun bukannya pelan, aku malah
menambah tenaga untuk memasukkan batangku, membuat wanita cantik yang hobi
berkebun itu memegang kaca rias dengan kuat dan menggigit bibirnya semakin
keras. Setengah jalan, kutarik penisku dan kumasukkan lagi dengan paksa.
Burungku terasa sakit sekali, demikian pula dengan mbak Nia yang menggeleng-gelengkan
kepalanya tak tahan. Entah kenapa, dari belakang seperti ini, vaginanya terasa
seret sekali. Padahal tadi waktu posisi normal terasa lancar-lancar saja,
bahkan cenderung longgar karena dia sudah pernah melahirkan.
”Pindah ke kasur aja, Mal.” dia
meminta ke posisi biasa.
Tapi aku tidak menyerah. ”Buka
pahanya lebih lebar, mbak.” bisikku sambil meremas-remas bulatan payudaranya
yang menggantung indah. Diantara semua wanita yang pernah kutiduri, payudara mbak
Nia berukuran paling kecil, tapi tetap saja aku menyukainya.
Setelah dia melakukan
perintahku, penisku mulai masuk mili demi mili saat aku mendorongnya kembali.
Dan beberapa detik kemudian, akhirnya amblas seluruhnya ke dalam lubang vagina mbak
Nia yang sempit dan hangat.
“Mal, tahan dulu. Hmm... aku ingin
merasakan sebentar… enak, Mal!“ serunya dengan mengerling dan tersenyum nakal.
“Boleh gerak sekarang?” tanyaku
saat melihat dia sudah mulai rileks.
“Iya, tapi pelan dulu.“
sahutnya.
Aku langsung bergerak dengan
memajukan pantatku, kemudian memundurkannya. Penisku terasa seret, namun aku
langsung meludahi tanganku lalu kuoleskan ke batangku agar bisa lebih lancar. Lalu
aku menusukkannya lagi. Kini batangku lumayan lancar untuk maju mundur.
“Aah... aah… ohh... enak, Mal!“
erang mbak Nia gemetaran.
Kami berpacu dengan cepat karena
dikejar waktu. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah lima, ternyata
sudah lebih dari 15 menit aku menyetubuhinya. Kami saling melenguh dan merintih.
Kuremas buah dada mbak Nia yang bergelantungan indah saat aku sudah tak tahan
lagi. Kulihat dari cermin, mbak Nia memandangku dengan mesra sambil tersenyum,
sesekali menggigit bibirnya, lalu merem melek keenakan saat aku mempercepat sodokanku.
“Mbak, gimana? Aku nggak kuat
nih.“ teriakku dengan terus menyodok dan menggenjot pinggulnya, kuremas lagi
buah dadanya yang pas seukuran telapak tanganku semakin keras.
“Iya, sama! Aku juga bentar lagi...”
balas mbak Nia tak mau kalah.
Bunyi kecipak alat kelamin kami
terdengar semakin nyaring memenuhi seisi kamar. Beberapa detik kemudian, saat batangku
sudah hampir muncrat, vagina mbak Nia menjepit dan mencekiknya hingga aku urung
memuntahkan spermaku. Justru mbak Nia yang orgasme duluan.
”Mal, aku dapet!“ teriaknya dengan
merem-melek menikmati sodokanku. Tubuhnya menegang kaku lalu berkelonjotan saat
cairan cintanya yang panas dan licin menyiram batang penisku. Tubuh montok mbak Nia
berkeringat membanjir.
Sementara dia terengah-engah
menikmati sisa-sisa orgasmenya, aku terus menghujamkan penisku dalam-dalam untuk
menjemput puncak birahiku. Dan tak lama kemudian, aku pun menyusulnya. Tubuhku menegang
kaku saat penisku memuncratkan semua isinya.
“Mbak, aku… aah… ahh...” dengusku
dengan badan kelojotan dan akhirnya lemas menindih mbak Nia di punggungnya,
kursi menjadi tumpuan kami berdua.
Berpelukan, kami diam menikmati
orgasme cepat di sore hari yang sepi itu. Aku lalu bangun dengan sempoyongan dan mencabut
penisku, lalu kembali rebah di ranjang dengan penis masih basah oleh air mani. Mbak
Nia bangun juga dan kemudian ikut tiduran di ranjang memelukku.
“Makasih, Mal…“ ucapnya dengan mencium
bibirku gemas.
“Sama-sama, mbak.“ balasku sambil
memeluknya. Kuremas-remas lagi buah dadanya yang membusung indah itu.
Tak lama, mbak Nia bangun dan
berjalan menuju kamar mandi yang ada di belakang rumahnya. Ia cuma membalut
tubuhnya yang telanjang dengan handuk. Saat dia membuka pintu, aku bersembunyi
di belakang lemari agar siapapun yang ada di ruang tengah tidak melihat
kehadiranku, cuma buat jaga-jaga saja.
Mbak Nia mandi tak begitu lama.
Waktu sudah hampir menunjukan pukul lima sore saat dia kembali masuk ke kamar
sambil membawa handuk basah. Istri bang Samad itu mengelap penisku yang masih
belepotan air mani dengan penuh perhatian. Setelah bersih, ia menyuruhku untuk
memakai pakaian kembali. Sementara aku memakai celana rombeng dan kaos dekilku,
mbak Nia juga mulai menutupi tubuhnya. Ia mengambil CD dan bra di lemari dan
mulai memakainya. Kubantu dia sambil tanganku bermain di pantatnya yang bulat
dan sekal. Mbak Nia hanya tersenyum saja melihat ulahku, dan kembali meneruskan
berdandan, bersiap-siap menyambut kedatangan suaminya.
Aku pulang lewat pintu belakang.
Sebelum berpisah, mbak Nia sempat melumat bibirku dengan rakus, lipstiknya
menjadi luntur dan terasa manis di lidahku. Dengan bersemu merah, mbak Nia
tersenyum. ”Sampai jumpa besok ya, nanti kukabari kalau pas bang Samad lagi
nggak ada di rumah,” ujarnya sambil meremas penisku dari luar celana.
“Iya, mbak. Aku tunggu.“ kubalas
perbuatannya dengan meremas pelan kedua bongkahan payudaranya.
Saat itulah, terdengar suara
motor menderu di halaman. Bang Samad sudah pulang!! Aku segera beranjak, tidak
ingin dipergoki oleh lelaki berkumis tebal itu.
“Mal, sini dulu.“ tapi mbak Nia menahan
tanganku. Saat
aku berbalik, ia menyelipkan segenggam uang ke sakuku. “Sudah, kamu boleh pergi sekarang. Sampai jumpa
lagi ya!” bisiknya.
“Oke, mbak. Terima kasih ya.“
balasku dengan melambai dan segera pergi meninggalkan tempat itu.
***
Di rumah, Indah langsung
mengamuk begitu melihat kedatanganku. ”Ngapain pulang? Kenapa nggak tidur aja
sekalian di rumah mbak Nia.” ia menyindir.
”Maaf, sayang. Banyak yang harus
kukerjakan. Aku juga nggak nyangka kalau sampai sesore ini.” memang salahku,
hanya pamit untuk bantu mengangkat lemari ke dalam rumah, aku malah baru balik
setelah 3 jam berlalu. Siapa yang nggak curiga coba?
Tapi aku juga tidak salah-salah
amat. Kalau saja mbak Nia tidak punya ’tanda’ itu, aku pasti juga tidak akan
menidurinya. Namun begitu tahu kalau dia pernah jadi korban Juragan Karta, aku
jadi tergoda untuk memanfaatkannya. Apalagi mbak Nia juga sangat cantik dan
seksi. Di usianya yang masih 33 tahun, dengan anak satu, tubuhnya masih tampak
begitu montok dan sempurna. Bikin penisku langsung ngaceng begitu dia telanjang
di depanku. So, jadilah aku menginap di rumahnya hingga jam lima sore. Tiga kali
menyetubuhinya, dua kali aku menumpahkan sperma di vaginanya, dan satu kali di atas
buah dadanya. Meski ujung-ujungnya dapat omelan dari Indah, aku tidak kecewa.
Indah sudah akan nyerocos lagi,
tapi langsung terdiam begitu kuperlihatkan uang jasa dari mbak Nia. 50ribu,
lumayan untuk ongkos angkat lemari, hehehe...(tawa setan!)
”Sini, buat beli beras!” dia
langsung menyambar dan menyimpannya ke dalam dompet.
Menghela nafas lega, aku pun
segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
***
Malam ini adalah malam peringatan
terakhir kematian juragan Karta; malam yang ketujuh. Seperti biasa, aku hadir
disana untuk memberikan doa pada lelaki tua itu. Sambil duduk bersila, kuedarkan
pandangan ke arah dapur, memperhatikan satu per satu perempuan yang ada disana,
mencari yang cantik dan menarik yang sekiranya bisa kutiduri.
Ada Linda, korbanku yang
pertama. Dia masih gigih merayuku agar memuaskannya lagi karena sampai sekarang
suaminya masih belum pulang. Juga Bu Sofi dan Bu Martin, dua STW ganjen yang
masih kelihatan cantik dan menarik di usia mereka yang sudah hampir setengah
abad. Di barisan muda ada Reni, Atik dan Silvi, tiga ABG yang masih ada
hubungan keluarga dengan juragan Karta. Aku berniat menggilir mereka satu per
satu kalau memang sudah tidak ada lagi yang menarik. Lumayan, bisa dapat daun
muda gratis, itung-itung bulan madu lagi, hehehe...
Tapi sebenarnya yang menjadi
incaran utamaku adalah Mitha, istri kelima sang juragan, yang sampai malam ini
tidak pernah kulihat batang hidungnya. Kemana gerangan gadis cantik itu?
Padahal istri-istri yang lain sudah bisa kutiduri, tinggal dia yang belum. Kalau saja dia muncul,
dengan ilmu peletku, akan kubawa dia ke ranjang dan kuentot semalaman. Pasti
akan nikmat rasanya bisa merasakan tubuh sintalnya yang padat dan putih mulus
itu. Uh, membayangkannya sudah membuat penisku ngaceng tak karuan.
Wanita-wanita yang lain tidak
perlu dibahas, rata-rata sudah pada tua dan berumur. Ada Mak yem dan Yu Darti,
juga Budhe Rini dan Yu Tonah. Tidak ada yang menarik, pada keriput semua. Boleh
juga sih kalau buat selingan, tapi mending nunggu kejutan macam mbak Nia tadi
siang, tidak kuketahui, tapi tahu-tahu bisa diajak tidur. Enak banget.
Mudah-mudahan saja istri-istri cantik di kampung ini banyak yang seperti itu.
Aku bakal bahagia dan senang sekali. Ahahaha!
Tawaku langsung berhenti
begitu mataku tertumbuk pada sekelompok ibu-ibu yang sedang saling bercanda di pojokan rumah.
Beberapa orang yang kusebutkan di atas juga berada di situ, namun mataku lebih
tertuju pada wanita berjilbab warna abu-abu yang sedang digandeng mesra oleh
suaminya. Aku mencoba mengenalinya. Benar, dia Indriani, atau biasa kupanggil
mbak Indri. Tapi anak-anak di kampung memanggilnya Bu Ustad karena dia memang
istri Ustad Jafar, salah satu tokoh agama yang suka ngajar ngaji pada anak-anak
kecil.
Malam ini, sang ustad akan
memberikan tausiah. Biasa, di hari peringatan yang ketujuh, ada sedikit ceramah
untuk mengingatkan kita agar tidak lupa dengan kematian, juga untuk memintakan
maaf bagi almarhum kalau misal punya salah pada tetangga sekitar. Saat Ustad
Jafar masuk ke dalam rumah untuk menunaikan tugasnya, aku segera beranjak untuk
mengikuti mbak Indri pulang ke rumahnya. Inilah kesempatanku.
Semua ini diawali dua hari yang
lalu, saat aku baru pulang dari rumah Inez. (Baca Sang Penggali Kubur 2) Tiba
di rumah, kulihat Indah sedang berbincang akrab dengan mbak Indri. Sudah lama
aku mengagumi istri ustad Jafar itu; selain cantik, dia juga kalem dan baik
hati. Tipe istri idaman lah pokoknya. Meski sehari-hari dibalut jilbab lebar dan baju
panjang, aku bisa meyakinkan kalau dia sangat seksi sekali. Payudaranya tampak
menonjol indah, begitu juga dengan paha dan bokongnya. Ditunjang postur tubuh
yang tinggi langsing, dia jadi tampak begitu menarik.
Ketika aku mendekat, mbak Indri
tampak terkejut melihatku. “Oh, Mal, baru pulang? tanyanya sambil berlaku cukup
sopan, menyalamiku hanya dengan bersentuhan ujung jari, tidak sampai saling
menempel.
“Iya, mbak. Banyak pekerjaan.“
kataku enteng dengan sebentar memandangi kesintalan tubuhnya.
Mbak Indri yang tidak curiga
dengan ulahku, meneruskan obrolannya dengan Indah. ”Sudah saya gosok pake
sabun, tapi tetap nggak mau hilang.” katanya.
Indah tampak berpikir sejenak
sebelum menyahut. ”Mbak sih enak, bisa ditutupi pake jilbab. Lha saya,
kemana-mana jadi bahan gojlokan orang, dikira habis main sama suami. Terpaksa
saya tutup pake bedak tebal.”
Mbak Indri tertawa. ”Tapi
repotnya, mas Jafar jadi curiga. Dikira saya habis macam-macam sama laki-laki
lain. Terpaksa saya jelaskan panjang lebar, pake nangis segala malah.”
Indah terpana, ”Sampai
segitunya? Mas Kemal saja nggak tanya macam-macam, dikira cuma noda biasa.” dia
melirik ke arahku. Terpaksa kupalingkan mukaku yang lagi asyik memandangi
tonjolan daging di dada mbak Indri.
”Meski seorang Ustad, mas Jafar
kan cemburuan, In.” jelas mbak Indri.
Aku yang sudah mengerti arah
pembicaraan mereka mencoba untuk nimbrung. ”Noda di leher itu ya?” tanyaku
sambil kembali melirik nakal ke arah busungan dada istri ustad Jafar itu.
”katanya banyak ibu-ibu yang juga mendapatkannya.”
”Iya, nggak tahu darimana.
Tahu-tahu saja muncul.” jelas mbak Indri, matanya melirik ke arahku.
”Mbak juga kena?” tanyaku
memastikan.
”Iya, saya baru tahu kemarin.”
Jawabannya itu langsung
membuatku sesak nafas. Bayangkan: wanita yang selama ini kukagumi, yang
terkenal alim dan baik hati di kalangan tetangga, bisa kutiduri dengan ilmu
peletku. Hebat juga juragan Karta, bisa mendapatkan wanita seperti ini semasa
hidupnya. Entah bagaimana itu terjadi, lain kali saja kutanyakan, kalau kami
sudah berdua di atas tempat tidur. Hehehe...
Yang jelas sekarang, aku harus
menyusun rencana kalau mau menikmati tubuhnya yang mengundang air liur itu. Tidak
bisa kulakukan saat ini karena ada Indah yang mengawasi kami berdua, meski
kulihat nafas mbak Indri sudah mulai berat dan putus-putus, bahkan mukanya yang
cantik itu sudah merah padam dan berkeringat dingin. Beberapa kali matanya
melirik ke arahku, mencoba berkomunikasi (atau meminta?) meski dia berusaha
sekuat tenaga untuk memalingkannya kembali.
Aku tersenyum melihatnya, ilmu
peletku sudah mulai bekerja rupanya. Tidak ingin menyiksanya lebih jauh, akupun
segera pamit ke dalam untuk mandi.
“Mal, kapan-kapan bisa ke rumah?
Ada genteng di dapur yang bocor.” kata mbak Indri sambil membenahi jilbabnya.
Gerakannya sangat provokatif sekali, seperti ingin memamerkan tonjolan buah
dadanya yang sedari tadi menjadi santapan mataku.
“Hmm, ya saya usahakan
secepatnya, mbak.“ kataku menjawab, yang disambut anggukan darinya.
“Besok aja, mas.” kata Indah.
”Besok aku sudah disuruh mbak
Nia bantu-bantu angkat-angkat barang. Habis itu nyari rumput sampe sore.”
jelasku.
”Kalau lusa?” mbak Indri
bertanya, tampaknya dia sudah tidak sabar untuk segera berduaan denganku. Hanya
karena kadar keimanannya yang tinggi, yang membuatnya tidak langsung menubrukku
saat itu juga. Tidak seperti korban-korbanku selama ini.
Aku berpikir sejenak. ”Hmm,
mungkin bisa.”
”Ya udah, besok aja.” tegas mbak
Indri.
Aku pun mengangguk dan segera
berlalu ke belakang.
***
Tapi malamnya, Linda menemuiku.
Selain meminta jatah sekali lagi -kami lakukan di kebun di belakang rumahnya-
ia juga mengabarkan kalau lusa ada arisan di rumahnya.
”Trus, apa hubungannya denganku?”
aku bertanya tak mengerti.
”Apa kamu nggak pengen main sama
ibu-ibu yang lain? Banyak lho yang nanyain kamu!”
Aku terhenyak dengan ucapannya.
”Si-siapa saja?”
”Ada Bu Sofi, Bu Martin, juga
mbak Yulinar. Dan terutama Inez, begitu kukasih tahu kalau aku sudah tidur
denganmu, dia langsung bilang kalau pengen juga.” jelas Linda, tidak tahu kalau
aku sudah meniduri Inez siang tadi.
”Ehm, begitu ya?” aku mencoba
mempertahankan kepura-puraanku.
”Iya, Mal. Entahlah, semua
ibu-ibu sekarang lagi pada ngomongin kamu, tanpa sepengetahuan bapak-bapak
tentunya.”
Aku tersenyum. ”Kalau aku sih
nggak masalah, Lin. Siapa sih yang nggak mau tidur sama wanita lain selain
istrinya, asal Indah nggak tahu hal ini.”
”Tenang, dia jarang ikut arisan
kok. Jadi, kamu mau datang kan?” tanya Linda memastikan.
Aku mengangguk mantab. ”Pasti
donk.”
Linda langsung menjerit dan
mencium bibirku dengan antusias. ”Trims ya, Mal. Ibu-ibu pasti gembira
mendengar hal ini.” setelah itu dia segera berbalik dan pergi meninggalkanku.
”Cuma gitu, mbak?” aku bertanya
heran dengan tingkahnya.
”Iya, sampai ketemu besok lusa.
Aku harus mengabarkan ini pada ibu-ibu.” Linda melambaikan tangannya.
Kupandangi goyangan pinggulnya
yang tadi kuciumi, kunikmati hingga ia hilang di pintu dapur. Menggelengkan
kepala, masih tak percaya dengan keberunntunganku, aku kembali ke warung Yu
Narti.
”Aku kira kamu mati digigit ular
di kebun,” sinis Gani yang menungguku. Kami memang sedang main catur saat aku
pamit untuk kencing sebentar, padahal aku menyelinap ke rumah Linda setelah
wanita itu memberi kode dengan berpura-pura belanja membeli gula.
”Sudah malem, tapi masih ramai
saja disini...” sapa seseorang yang baru datang.
Semua orang serentak memberi
salam dan menyapanya. Dari suaranya yang berat dan bijak, tanpa menoleh pun aku
sudah tahu kalau itu pasti ustad Jafar.
Saat itulah, kesadaran
menghantam otakku. Bukankah aku sudah janji pada mbak Indri untuk datang ke
rumahnya lusa nanti, kenapa aku malah membuat janji dengan Linda di hari yang
sama? Bodoh! Benar-benar bodoh! Spontan aku menepuk kepalaku sendiri.
”Sudah, nggak usah pake berlagak
frustasi gitu. Bilang saja kalau mau nyerah.” ejek Gani. Saat itu memang giliranku untuk
main, dan rajaku terjepit.
Bingung menentukan pilihan, aku
pun menggerakkan pion tanpa berpikir. Gani tertawa terbahak saat bisa skak mat
di giliran berikutnya. Aku hanya tersenyum kecut menanggapinya. Bagiku, kalah
main catur bukan apa-apa dibanding harus memilih tidur dengan siapa lusa
nanti!!
***
Aku sudah akan menghubungi Linda
sehabis acara tahlil untuk memberitahunya kalau aku tidak bisa datang di acara
arisan ibu-ibu besok. Biar saja dia kecewa. Aku lebih berat meninggalkan tubuh
montok mbak Indri, aku sudah tidak sabar untuk mencicipinya. Ibu-ibu sih
gampang, masih bisa diantri di lain hari.
Tapi ternyata, keberuntungan
masih berpihak kepadaku. Melihat mbak Indri yang pulang sendirian ke rumahnya,
sementara ustad Jafar memberi tausiah di rumah juragan Karta. Aku melihat ini
sebagai kesempatan dalam kesempitan. Kenapa tidak kutiduri saja dia sekarang? Dan besok bisa pesta
seks bareng Linda dan ibu-ibu!!! Ini namanya ’sekali mendayung, dua-tiga pula
terlampaui.’
Tersenyum puas, aku pun segera
beranjak dan pamit pada jamaah tahlil yang lain. ”Mau kemana, Mal? Habis
senyum-senyum, langsung pergi.” tanya mbah Narto yang duduk di sebelahku.
”Mau ngecek kandang kambing
sebentar, mbah. Kayaknya tadi lupa tidak kugembok.” kataku memberi alasan.
”Kamu balik apa nggak?” tanya
mas Supangat.
”Nggak tahu, mas. Lihat nanti
saja.”
”Kalau nggak, biar nanti aku bawakan
nasimu.” rumah mas Supangat memang bersebelahan denganku, hanya selisih tiga
rumah.
”Eh, nggak usah repot-repot,
mas.” aku tersenyum.
”Sudah, cepat pulang sana. Nanti
keburu kambingmu hilang.” seru mbah Narto.
Mengangguk, aku pun mengucapkan
salam dan pergi dari tempat itu. Di ujung gang, sempat kulihat mbak Indri
berjalan sendirian dan berbelok ke arah rumahnya. Berjalan agak memutar, aku
mengikutinya. Dia sudah masuk ke dalam rumah saat aku sampai di depan rumahnya.
Tetangga
kiri kanan tampak sepi, aman! Semua pada sibuk dan ngumpul di rumah juragan
Karta.
Aku terus melangkahkan kaki
hingga sampai di pintu depan. Kuketuk pintu itu perlahan-lahan. ”Iya,
sebentar.” sahut mbak Indri dari dalam. Terdengar langkah kakinya yang berjalan cepat ke
balik pintu. Sebelum membuka, dia mengintip sebentar dari jendela di sebelah
pintu. Dia tampak terkejut saat melihatku.
”Lho, kamu, Mal. Ada apa?”
tanyanya tanpa mempersilahkanku masuk.
“Saya ada perlu sama, mbak.”
jawabku sambil memasang senyum ramah.
“Tapi suamiku lagi nggak ada di
rumah,” kilahnya. Tampak berat antara memilih menjadi seorang istri yang baik,
atau menuruti hawa nafsunya yang perlahan mulai menggelegak begitu melihatku.
“Hanya sebentar, mbak.” aku
terus membujuk.
”Tapi...” mbak Indri masih ragu.
”Apa tidak bisa dibicarakan disini saja?” usulnya kemudian.
”Apa begitu adab menerima tamu?”
kataku memprotes. Kuat juga iman perempuan ini, kalau perempuan lain, pasti
sudah menghambur ke dalam pelukanku begitu melihatku. Memang pantas dia menjadi
istri seorang ustad.
”Iya, tapi... apa kata orang
nanti. Ustad Jafar lagi nggak ada di rumah.” ia terus berkilah.
”Orang yang mana?” kutunjukkan
rumah tetangga yang kosong kepadanya. ”Lagian, kan masih ada anak mbak, kita
tidak cuman berdua.”
”Ehm, anakku lagi liburan ke
rumah neneknya.” jawab mbak Indri lirih.
Wah, kebetulan sekali! seruku
dalam hati. ”Ayolah, mbak. Saya cuma pengen ngobrol, curhat masalah rumah
tangga.”
”Kalau pengen dapat jalan
keluar, ngobrol saja sama pak Ustad.” ia terus mengelak. Di sisi lain, keringat
dingin mulai menetes di permukaan dahinya, wajahnya juga semakin memerah. Mbak
Indri segera mengusapnya sambil menghembuskan nafasnya kuat-kuat untuk mengusir
gairahnya yang semakin kuat mencengkeram. Tapi tentu saja dia tidak berhasil!
”Ini tentang masalah perempuan,
mbak. Dan hanya kepada perempuan lah bisa saya sampaikan.” sahutku terus
bersikeras.
Mbak Indri, tampak berpikir
sejenak penuh pertimbangan.
”Ayolah, mbak. Saya cuma ingin
bicara, tidak ada maksud apa-apa.” kataku sambil menatapnya tajam, memandangi
kemontokan dan kesintalan tubuhnya hingga membuatnya makin gugup dan kebingungan.
Dia tidak berani menatap mataku, bahkan
wanita itu sampai menutupi bagian dadanya yang membusung indah agar tidak terus
kupelototi.
“Awas ya, jangan sampai kamu berbuat
kurang ajar kepadaku!!“ lontaran kata-kata pedas darinya kuanggap biasa saja. Yang penting tangannya
mulai bergerak untuk membuka kunci rumah.
“Iya, mbak. Percaya deh sama saya.“
sahutku dengan nada datar, dan segera masuk ke dalam rumahnya begitu dia
membukakan pintu.
“Aku harap ini masalah penting,
Mal.” balas mbak Indri, dia mempersilahkanku untuk duduk di ruang tamu.
“Pasti, mbak. Ini soal masalah
seks!!” kataku dengan berbisik sampai membuatnya terdiam dengan menutup
mulutnya karena terkejut, makin menambah kecantikan wanita berjilbab ini.
“S-seks? A-apa maksudmu?!” Dia terlihat
tidak tenang duduk di dekatku, tangannya diremas kuat-kuat. Sepertinya, ilmu
peletku sudah mulai berhasil menguasai dirinya. Terlihat dari gemuruh nafasnya yang
menjadi tak karuan, sambil sesekali matanya melirikku dan mengusap keringat di
dahinya yang mengucur semakin deras.
“Iya, aku ingin sekali ngeseks
sama mbak!” kuberikan senyumku kepadanya, mulai berusaha menggodanya. Pelan, kusentuh
tangannya agar dia lebih termakan oleh ilmu peletku. Dan benar saja, selepas
tangannya kusentuh, mbak Indri tidak protes lagi. Ia diam saja saat jemari
tangannya yang lentik kuremas-remas dengan pelan. Bahkan perlahan, dia membalas
dengan melirikku nakal dan tersenyum, tanpa berusaha menyingkirkan tangannya
dari genggamanku.
”Mal?” hanya itu kata-kata yang
keluar dari bibir mungilnya, sebelum kubungkam dia dengan ciumanku yang lembut
dan hangat. “Sshhh... ahh...“ desisnya dengan suara yang bergetar pelan, tanda
kalau sudah mulai diamuk birahi.
Sambil terus mencium bibirnya,
segera kutarik tangan mbak Indri menuju ke pelukanku. Wanita berjilbab ini
seolah menolak, tapi tidak terlalu frontal, hanya sekedar memberitahukan kalau
dia malu untuk melakukan ini.
”Mal,” dia kembali memanggil
namaku saat kutangkup belahan pantatnya yang bulat besar dan kuremas-remas dengan
penuh nafsu. ”Kau mau apa? Aku ini istri ustad, Mal!” ia mengingatkan untuk
terakhir kali.
”Memang kenapa? Apa tidak boleh
seorang istri ustad menikmati kenikmatan duniawi?!” kataku sambil menarik
tangannya. Perlahan mbak Indri mengikuti hingga aku bisa mendekap tubuh
sintalnya serta meremas-remas buah dadanya yang membusung indah.
“Jangan, Mal! Aahh... jangaan!!”
tolak mbak
Indri dengan suara semakin pelan.
Tidak peduli, karena sudah
terlanjur keenakan, kuremas buah dadanya semakin keras. Tanganku menyilang di
depan gundukan payudaranya hingga membuat wanita pengajar ngaji ini mendesah-desah
tak karuan. “Mal, ahh... jangan! Kenapa kau lakukan ini?! Sshhh... aghhhh!!”
Tanganku semakin nakal. Rasa
buah dada mbak Indri yang empuk dan kenyal makin membuatku kesetanan. Aku
benar-benar menyukainya. Aku ketagihan dibuatnya. Segera kususupkan tanganku ke
balik baju lengan panjang warna abu-abu yang dikenakannya, dan meremas-remas lembut
buah dadanya yang masih terbungkus BH putih tipis.
”Ahh... ini maksiat, Mal! Maksiat!
Hentikan! Ahhh...”
rintihnya sedikit terpekik. Tangannya berusaha mencekal tanganku yang berusaha menyusup
ke dalam cup behanya.
Tapi tentu saja penolakannya
yang setengah hati itu dengan mudah kutepis. Kuturunkan cup behanya hingga
gundukan payudara mbak Indri yang mulus dan besar terburai keluar. Benda itu
terlihat begitu putih dan bening, sangat sempurna dengan kulit yang halus tanpa
cacat, yang dihiasi oleh semburat urat kehijauan di seluruh permukaannya.
Ditambah tonjolan puting mungil yang berwarna coklat kemerahan, jadilah benda
itu begitu indah dan menarik, sangat menggoda birahiku.
“Akan kupuaskan mbak malam ini,”
janjiku kepadanya sambil mendesakkan selangkanganku ke belahan pinggulnya, sementara
tanganku mulai meremas-remas lembut bulatan buah dadanya hingga membuat mbak Indri
terpejam-pejam karena keenakan.
“Mal, sshhh... k-kita
seharusnya... ahhh! T-tidak boleh... uhhh! M-melakukan ini... hmph!” desisnya
sebelum terdiam oleh lumatanku pada bibir tipisnya.
Pelan dia menyambut ciuman.
Bibir kami saling bertemu dan berdecap seirama, lidah kami saling membelit dan
menghisap, sebelum tiba-tiba mbak Indri menarik kepalanya dan memandangku dengan
perasaan bingung bercampur nikmat.
”Ada apa, mbak?” tanyaku sambil
merapikan jilbabnya yang acak-acakan.
“B-bagaimana kita b-bisa
melakukan ini, Mal?” tanyanya dengan kesadaran yang sudah hampir habis.
”Tidak usah dipikirkan, mbak. Kita nikmati saja malam
ini.” sahutku sambil kembali meremas-remas payudara mulusnya.
”Iya, ehsss... tapi...” mbak
Indri menggelinjang saat kupencet kedua putingnya dan kupilin-pilin ringan
dengan dua jariku.
”Sudah, jangan banyak omong
lagi, nanti keburu pak Ustad pulang.” potongku cepat. ”Cepat lepas celanaku, kontolku
sudah ngilu nih pengen keluar.” rayuku
yang disambut dengan anggukan kepala olehnya.
”Iya, keburu pak Ustad pulang.”
dan dengan jawaban ini, resmilah sudah mbak Indri yang alim ini jatuh ke dalam
pelukanku.
Sementara dia sibuk membuka
resleting celanaku, kuremas terus bulatan payudaranya. Benda itu makin terasa
padat dan kenyal, putingnya juga makin mencuat ke atas, menunjukkan kalau si
empunya sudah terangsang berat. Saat sudah telanjang, kudorong tubuh montok
mbak Indri hingga ia telentang di sofa. Berdiri di depannya, kuperlihatkan
batangku yang mengacung tegak kepadanya.
”Gede banget, Mal.” bisiknya
parau. Dia mendelik, matanya melotot tajam menatap penisku yang
terangguk-angguk gagah di depan hidungnya.
”Mbak suka?” tanganku turun untuk
melepas bajunya. Mbak Indri awalnya menolak, ia malu untuk telanjang di
depanku. Tapi setelah kupaksa terus, ia akhirnya menyerah dan membiarkanku
membebaskan tubuh sintalnya dari kungkungan baju panjang yang ia kenakan.
”Mbak adalah korbanku yang
paling sulit,” kataku keceplosan sambil kembali meremas-remas tonjolan buah
dadanya. Entah kenapa, aku begitu menyukai benda itu. Bahkan kalau bisa, ingin
aku mengirisnya dan membawanya pulang agar bisa kupegangi setiap hari!
”K-korban apa?” tanya mbak Indri
tak mengerti. Ia berusaha melindungi buah dadanya dengan tangan agar aku tidak
terus menerus menjamahnya, namun segera kusingkirkan. Aku tidak ingin
kenikmatanku terganggu.
“Ehmm, bukan apa-apa.” aku
berkata cepat, dan... ”Jilat kontolku, mbak!“ perintahku untuk mengalihkan
perhatiannya. Kutekan kepala mbak Indri yang masih tertutup jilbab agar lebih
mendekat ke batang kontolku.
”A-aku tidak pernah m-melakukannya,
Mal.” tolaknya halus.
”Coba aja dulu. Pegang, mbak.
Kocok pakai tangan!” rayuku yang dijawab
dengan kocokan pelan tangan mbak Indri. Kubiarkan ia mengurut batangku sementara
aku memegangi payudaranya yang luar biasa indah; tidak besar-besar amat namun
cukup montok juga, putih dan sangat segar sekali dengan puting berwarna merah agak
besar.
“Susumu seger, mbak.“ kataku
dengan menarik celana dalamnya, kulucuti istri ustad Jafar itu sampai telanjang
bulat, aku hanya menyisakan jilbabnya saja. Mbak Indri hanya menatapku dengan
nafas tak karuan. Kutekuk kedua kakinya agar aku bisa masuk ke dalam
selakangannya. Tapi ketika aku hendak membungkuk, tangan kanan mbak Indri menahan
tubuhku.
“Jangan, Mal. Jijik...“ bisiknya
malu-malu.
“Sudahlah, mbak. Kalau mbak
nggak mau jilat punyaku, biar aku saja yang jilat punya mbak.“ kataku sambil menarik
tangannya. Kusaksikan vaginanya benar benar luar biasa indah; jembutnya tipis
dan rapi, lubangnya menyempit, alur bibir vaginanya masih tampak utuh, warnanya
merah muda, makin ke dalam makin terang. Tak tahan, aku langsung menjilatinya sambil
tanganku kembali meremas-remas kedua buah dadanya sampai membuat mbak Indri merintih,
melenguh dan mendesah tak karuan.
Kugali terus vagina perempuan yang
sudah termakan gairah birahi itu, kujilati vaginanya yang sempit. Mbak Indri menggelinjang
bak cacing kepanasan, geliat tubuhnya di sofa kian keras dan liar. Badannya
sudah basah oleh keringat dingin yang membanjir keluar. Merasa kepanasan, ia
berniat untuk melepas jilbabnya, tapi aku langsung menahan tangannya, ”Jangan,
mbak. Pakai terus jilbab mbak.” pintaku.
Mbak Indri memandangku dengan
mata sayu, giginya menggigit bibirnya bawahnya gemas, tak kuat menahan
kenakalanku yang makin kuat meremas-remas buah dadanya. Melihat kepasrahannya,
aku kembali menunduk dan menjilati lubang vaginanya. Mbak Indri langsung melenguh
dan memejamkan matanya. “Uuuh... sshhh... shhhh... hhhhh... mmhhh.. Mal, geli!!“
desisnya dengan kepala mendongak.
Sementara aku terus menjilati
lubang sempit di selangkangannya yang sudah membasah parah. Lubang itu aku sibakkan
dengan lidah, yang kanan aku gigit-gigit kecil, membuat mbak Indri merintih dan
menggeliat tak karuan. Sementara daging sebelah kiri gantian aku sedot-sedot
nikmat, sehingga wanita berjilbab ini semakin terbuai oleh nafsu birahinya.
“Maal... ahhhh... aku nggak kuat
lagi... aaahh... sudah... uhhh... masukin aja... aaaah...“ lenguh mbak Indri
dengan mata tertuju ke selangkanganku, ia memandangi penisku yang tegak
mengeras, memohon agar aku segera menggunakannya untuk menyetubuhi dirinya.
Tapi aku masih ingin menghisap
lubang kencingnya lebih lama lagi, jadi aku terus mengoralnya sampai membuat istri
Ustad Jafar ini terpejam erat dan menggelinjang nikmat penuh kepuasan. “Ahhh...
kamu nakal, Mal...” erang mbak Indri dengan tangan bertumpu pada meja. Begitu
kerasnya ia mendorong sampai meja kecil itu sedikit bergeser.
Lubang senggamanya kuperhatikan semakin
membesar. Kumainkan terus klitorisnya yang menonjol indah dengan lidahku, kujilat
dan kusedot benda mungil itu berulang kali hingga membuat mbak Indri menjerit
tak tahan. “Gila kamu, Mal! Aaaah... aduh... aduduh... sudah, Mal... aku nggak
tahan.“ lenguhnya dengan bola mata memutih tak kuat menahan rangsanganku.
Kumasukkan tanganku masuk ke
dalam lubang memeknya yang sempit, kukorek-korek ke atas dan ke bawah, membuat
jeritan mbak Indri semakin membahana memenuhi seisi rumah. “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah...“
teriaknya dengan sangat kuat, jepitan pahanya kini semakin keras di kepalaku.
Pantang mundur, kumainkan terus klitorisnya sambil tak henti kutusuk-kutusuk
lubangnya, membuat tubuh mbak Indri melenting dan membusung ke atas. Segera kuremas-remas
buah dadanya agar ia bisa segera mendapatkan orgasmenya.
“Auw... aaaaahhh!!!“ erang
wanita berjilbab itu sambil mencengkeram kuat bantalan sofa. Tubuhnya menegang
kaku, kemudian berdebam ke bawah dengan nafas ngos-ngosan. Di bawah, vaginanya
mengucurkan cairan panas yang banyak sekali, sampai membasahi sofa dan
terciprat di bibirku. Kutekan pinggulnya dan kuelus-elus paha mulus mbak Indri,
kemudian kurapikan jilbabnya yang acak-acakan.
Istri ustad Jafar itu memejamkan
matanya dengan tangan menggapai-gapai saat aku kembali merangsangnya pelan-pelan.
Pahanya yang sangat mulus menjadi incaran tanganku. Kuelus mulai dari sana
hingga naik ke pinggang, kemudian terus merambat hingga aku kembali
meremas-remas bongkahan payudaranya yang membusung indah. Lalu kutindih tubuhnya.
Mbak Indri membuka matanya, ia
tersenyum saat melihatku. ”Kamu hebat, Mal. Nikmat sekali. Ustad Jafar tidak
pernah berbuat seperti itu kepadaku.” bisiknya.
”Aku kuberi mbak kenikmatan lain
malam ini. Terimalah ini, mbak.” sambil berkata, kuremas payudaranya dengan
tangan kananku, sementara tangan kiriku memegangi batangku dan mengarahkannya tepat
ke lubang vaginanya.
“Mmmmh…“ desah mbak Indri saat merasakan
ada benda tumpul yang merangsek ingin masuk ke celah selangkangannya.
“Tahan, mbak. Rasakan kontolku.“
kataku sambil terus mendesakkan batangku agar bisa segera menembus belahan
memeknya.
“Ehm... pelan-pelan, Mal.
Sakit!” rintih mbak Indri, namun desakan penisku yang menusuk semakin dalam akhirnya
membuat ia terdiam.
”Aku sudah lama menginginkan
dirimu, mbak...“ kataku yang dijawab dengan ciuman mbak Indri di bibirku.
“Sudah, jangan banyak omong,
Mal. Cepat setubuhi aku!“ pintanya yang sudah tidak sabar.
“Iya, mbak...” kataku sambil
terus mendesakkan batangku pelan-pelan, membuat mbak Indri menjerit lagi.
“Aduh, kok gede banget sih
punyamu, Mal. Ooh... vaginaku rasanya mau robek.“ jeritnya dengan berusaha menggoyangkan
pinggul untuk mengurangi rasa sakitnya ketika aku menarik dan menenggelamkan
batangku lebih dalam.
“Enak kan, Mbak? kontolku sesak
dalam memek mbak Indri.“ kataku dengan wajah melotot karena keenakan batangku
dijepit oleh vaginanya yang sempit itu.
”Ehsss... Mal!” hanya itu yang
bisa dikeluarkan mbak Indri sebagai jawaban.
“Kugoyang ya, mbak... mbak Indri
nikmati saja.” kataku dengan memandang wajahnya yang masih berbalut jilbab.
“Sesak, Mal... pelan aja
goyangnya.“ rintih mbak Indri saat menatapku mesra.
“Begini?“ aku mulai menghujamkan
batangku, membuat istri ustad Jafar itu mendongak kesakitan.
“Aahh... pelan aja, Mal. Ssssh...
sakit!” jerit mbak Indri dengan nafas ngos-ngosan. Jepitan vaginanya terasa semakin
rapat seiring batang penisku yang meluncur masuk lebih dalam.
“Iya, aku goyang pelan deh... begini?“
kataku sambil menggenjotnya lembut.
”Ehsss... iya, begitu, Mal. Agak
enakan sekarang!” katanya dengan memandangku sayu.
Aku pun meneruskan menggenjot
tubuh sintalnya. Sambil menggerakkan pinggul, kembali kuremas-remas buah
dadanya. Mbak Indri menanggapi dengan memegang kepalaku dan mengajakku untuk
saling berpagutan, kami semakin terbakar birahi.
“Aaaah... memekmu enak, mbak!” desisku
di tengah genjotan naik turun di selangkangan wanita berjilbab ini, kami terus
saling bergerak.
“Mal, ooh... aku juga enak, Mal.
Terus! Aaaah... enak, Mal... ssssh!” erang mbak Indri ketika aku melepas
pagutan kami. Wanita itu ikut menggoyangkan pantatnya mengimbangi tusukanku. Gesekan alat kelamin
kami semakin lancar saja jadinya.
Genjotan demi genjotan terus kulakukan,
sampai mbak Indri terpejam-pejam merasakan sodokanku yang semakin cepat. “Mal, aaaah...
aku nggak kuat lagi, Mal! Ughhh...“ teriaknya dengan suara keras, jilbabnya
sampai menutupi buah dadanya. Segera kuremas-remas buah dada di bawah jilbab
warna abu abu itu, luar biasa sensasi yang kurasakan. Benda itu terasa lembut
dan sangat empuk, juga terus bergerak terus naik turun seiring genjotan yang
aku lakukan.
Tubuh mbak Indri kulihat semakin
melemah. Vaginanya juga semakin lama semakin menyempit dengan cepat. Sepertinya
wanita itu sudah tidak tahan lagi. ”AGHHHHHHHH...!!!” diiringi jeritan keras,
istri ustad Jafar yang alim itupun menegang kaku, matanya memutih, tubuhnya
kejang beberapa kali sebelum akhirnya lemas dan terdiam dalam pelukanku. Wajah
cantiknya tampak penuh keringat, membuat jilbab yang masih ia kenakan sampai
setengah basah.
Kuhentikan sodokanku untuk
memberi waktu bagi mbak Indri menikmati saat-saat orgasmenya. Ketika vaginanya sudah
berhenti memancarkan cairan panas, segera kutarik batangku dan kemudian kukocok
di depan wajahnya. Aku ingin memuntahkan isi penisku di atas wajah cantiknya.
“Aaaah... aaahh... ssshh...“
desisku merasakan ledakan spermaku yang bermuncratan mengenai mata, hidung dan
mulut mbak Indri.
“Ahhh... Mal,“ pekik mbak Indri kaget
tapi tidak menolak. Spermaku keluar banyak sekali, beberapa bahkan menutupi
lubang hidung dan mata sebelah kirinya. ”Aku nggak bisa nafas, Mal.” desah mbak
Indri sambil membersihkan lelehan sperma di hidungnya, akibatnya tangan lentik wanita
itu jadi penuh dengan cairan spermaku sekarang.
“Kita mandi yuk, mbak...
kumandikan mbak Indri.” ajakku yang disambut anggukan kepala olehnya. Segera kutarik
tangannya dan kemudian kubopong tubuhnya ke kamar mandi.
Kumandikan wanita berjilbab itu,
kusabuni seluruh tubuh sintalnya. Demikian pula dia, mbak Indri mengguyur tubuhku
dengan semprotan air, rasa dingin dengan cepat menggelayuti tubuhku, menyegarkan
nafsuku kembali. Dengan telaten kami saling menyabuni, mbak Indri sering
tersenyum ketika mencuci batangku yang kembali ngaceng. Tangannya terkadang
nakal berlama-lama disana. Aku juga ikut nakal dengan menyabuni bagian buah
dadanya yang segar dan ranum itu, kurasakan kelembutan dan keempukannya walau
sudah digunakan menyusui anaknya dua kali. Kami berdua saling berdekapan di
dalam kamar mandi, sesekali kucium pipi dan bibir mbak Indriani. Dia tidak
menolak, bahkan mbak Indri semakin senang dengan kenakalanku.
“Ih, kamu kok cepet banget
ngacengnya, Mal?“ rajuk mbak Indri sambil mengocok pelan penisku.
“Habis tubuh mbak segar banget, bikin
aku nggak tahan lihatnya.“ sahutku dengan gemas, kupalingkan kepalanya dan
kupagut mesra bibir tipisnya.
Mbak Indri menanggapi pagutanku
dengan sangat mesra. “Aku suka sama kamu, Mal. Kamu jantan banget!“ bisiknya dengan
tersenyum.
“Aku juga suka tubuh mbak.
Rasanya sudah nggak sabar pengin nindih dan ngentotin mbak Indri lagi.“ sahutku
sambil memegang pinggangnya.
“Ayo deh, sebelum suamiku keburu
pulang.“ sahut mbak Indri dengan nakal.
Jadilah kami melakukannya
sekali.
Satu jam kemudian, tepat saat
spermaku muncrat memenuhi lubang memeknya, terdengar ketukan di pintu depan.
”Assalamu’alaikum... Mi, Abi pulang.” itu suara ustad Jafar.
0 komentar:
Posting Komentar